Musnas, Galnas, dan Perpusnas, juga Monas, adalah ”sepotong wajah bangsa” di antara wajah-wajah lainnya. Selayaknya semua serba jelas, terang, terbuka, profesional tata kelolanya.
Oleh SUWARNO WISETROTOMO
Museum, galeri, dan perpustakaan sama-sama menyandang predikat Nasional Indonesia. Museum Nasional (Musnas) Indonesia beralamat di Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 12; Galeri Nasional Indonesia (Galnas) beralamat di Jalan Medan Merdeka Timur Nomor 14; kemudian Perpustakaan Nasional Indonesia (Perpusnas) berada di Jalan Merdeka Selatan Nomor 11. Pada titik tengah terdapat Taman Monumen Nasional (Monas).
Posisi Musnas, Galnas, dan Perpusnas yang berada di ring pertama pusat pemerintahan, khususnya Istana Presiden, tentu bukan sebuah kebetulan. Posisi ini bertumpu pada desain besar yang visioner (oleh Bung Karno, Presiden pertama RI), ingin menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar, berbudaya, dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa besar di dunia.
Kedaulatan seni-budaya perlu tumpuan pada jejak peradaban (Musnas), capaian-capaian kreativitas yang mencerminkan jejak pemikiran serta praktik seni-budaya (Galnas) yang terus bergerak untuk mewangikan jagat seni-budaya nasional di panggung dunia. Dan, perlu ruang yang menyimpan pencapaian literasi bagi perkembangan pengetahuan, sains, seni, dan teknologi (Perpusnas).
Secara sederhana dapat dipahami bahwa ketiganya (Musnas, Galnas, Perpusnas) memanggul tanggung jawab yang tidak sederhana, yakni agar bangsa ini tidak kehilangan orientasi, tidak tuna-sejarah karena sejarah panjang berikut kisah sukses pencapaian-pencapaian warga bangsa yang menggetarkan dapat diziarahi di sebuah gedung penting: Musnas.
Institusi Musnas atau dikenal dengan nama Museum Gajah, pada 2023 menapaki usia ke-245, menjadi museum terbesar di Asia Tenggara. Di sanalah tersimpan ribuan artefak yang dapat digunakan sebagai pintu masuk menyusuri pengetahuan arkeologi, sejarah, etnologi, etnografi, dan geografi.
Tentu saja Musnas tetap terbatas. Setiap kali berkunjung, selalu muncul kecemasan. Misalnya, apakah prasasti-prasasti penting dan indah itu tidak cepat pudar; apakah patung-patung itu tak segera aus (karena diletakkan berimpitan, dan tangan pengunjung dapat sesukanya menjamah); apakah benda-benda berbahan kayu, kain, lontar, dan kertas itu tak segera buram dan aman (karena faktor suhu ruangan, terpaan cahaya, kecermatan perlindungan, dan lain-lain).
Perkara-perkara semacam itu juga dapat dijumpai secara kasatmata pada sejumlah museum di daerah. Misalnya, Museum Tsunami Aceh, Museum Sonobudoyo di Yogyakarta, dan Museum Keraton Sumenep, Madura.
Mungkin karena itulah yang justru memicu inisiasi dan partisipasi warga untuk mendirikan museum. Misalnya, Museum Ulen Sentalu di Kaliurang, Daerah Istimewa Yogyakarta. Atau Museum of the Ordinary Things di Desa Dekso, Kalibawang, Kulonprogo, DIY, yang didirikan oleh arsitek/seniman Eko A Prawoto yang baru saja berpulang pada 13 September 2023 di usia 65 tahun.
Demikian pun Galnas. Dalam kondisi dan situasi terbatas, tetap berupaya menyelenggarakan berbagai pameran seni rupa penting. Sekadar menyebut sedikit contoh: Pameran Seni Rupa Kontemporer Negara-negara Anggota Gerakan Non-Blok (1995) yang diikuti 41 negara; berjejaring internasional dengan tergabung dalam Asian Art Museum Directors Forum (AAMDF) dan menginisiasi pameran internasional berkala SEA+ (South East Asia Plus) (2013); Pameran Nusantara (dua tahunan) yang ditunggu oleh para perupa Indonesia; Pameran Tetap Koleksi dengan membaca ulang konteksnya; Pameran Koleksi Nasional dengan pameran karya-karya koleksi negara yang tersimpan di berbagai institusi baik di dalam maupun luar negeri, termasuk karya-karya monumental di ruang publik (antara lain pameran ”Poros”, 2021); Pameran koleksi ”Piknik 70-an” (9-31 Agustus 2023), karya-karya koleksi bertarikh 1970-an.
Pameran-pameran tersebut penting karena betapa karya seni rupa bertaut erat dengan peristiwa sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Galnas secara profesional menyelenggarakan pameran seni rupa yang mengakomodasi potensi lokal, nasional, dan berjejaring internasional.
Apa yang sudah dikerjakan oleh Galnas tak lepas dari cita-cita besar para pendiri dan pengawal Galnas, antara lain Prof Edi Sedyawati (Dirjen Kebudayaan 1993-1999), sekaligus sebagai komandan Dewan Penasihat Kurator yang beranggotakan Prof AD Pirous, Prof Soedarso, Ir Adhi Moersid, Abas Alibasyah, Hildawati Soemantri, dan Jim Supangkat. Mereka (kini tinggal Prof AD Pirous dan Jim Supangkat) terus mengupayakan mendorong Galnas semakin kokoh, meluaskan jejaring, semakin profesional, mengemban tugas negara sebagai galeri dan museum yang mempresentasikan pencapaian kreativitas seni visual warga bangsa ataupun dunia.
Selain nama-nama itu, penting mengingat nama Kusnadi dan Abas Alibasyah yang memulai menginisiasi koleksi; dan sejumlah perupa Indonesia dengan berbagai cara, karya-karya terbaiknya menjadi koleksi Galnas (hingga kini sudah menyimpan sekitar 1.800 karya). Memahami dinamika Indonesia, antara lain dapat dilakukan melalui karya-karya koleksi Galnas.
Rapat kerja dan koordinasi antara pengelola Galnas dengan Dewan Penasihat Kurator dan Tim Kurator diselenggarakan secara berkala. Dorongan terus disuarakan. Rencana pengembangan dimulai dengan menyelenggarakan kompetisi Grand Design Pusat Pengembangan Kebudayaan Nasional di kawasan Galnas (2012-2013) dan melahirkan pemenang atas nama Happy Marfiana, dan kawan-kawan. Meski rencana itu tidak (belum) menjadi kenyataan, setidaknya mimpi para pendiri dan pengawal Galnas menjadi api semangat kerja para pengelolanya.
Tentu saja, karena berlevel ”Nasional Republik Indonesia” yang terletak di ring satu ”halaman” pemerintahan dan Istana Presiden, sudah semestinya institusi itu diurus secara ekstra-istimewa: tata kelolanya, derajat/level statusnya, pembiayaan/anggarannya, kenyamanan dan kemudahan aksesnya, kelengkapan fasilitasnya, bermutu presentasinya, serta terjamin keamanannya (nihil dari maling, tipu-tipu, air, banjir, dan api).
Bahwa Musnas, Galnas, dan Perpusnas, juga Monas adalah ”sepotong wajah bangsa” di antara wajah-wajah lainnya. Selayaknya semua serba jelas, terang, terbuka, profesional, menjadi suguhan utama bagi warga negara semua lapisan, terlebih bagi tetamu negara, agar semakin respek kepada warga-bangsa-negara Indonesia.
Bahwa kasunyatan mutakhir yang membuat tertegun: Museum Nasional Indonesia terbakar pada 16 September 2023, dan 817 koleksi terbakar. ”Bagaimana aset bangsa itu bisa terbakar, apa penyebabnya, dan mengapa hingga kini tidak juga terjelaskan, termasuk koleksi apa saja yang turut hangus atau tak bersisa” seperti ditulis Tajuk Rencana dan liputan Kompas (20 September 2023) sungguh membuat ngungun.
Dan, Galeri Nasional Indonesia setelah 25 tahun berupaya menyelenggarakan peristiwa seni rupa beragam mutu, berjejaring dengan banyak pihak dengan dada tegak, berupaya percaya diri, menyapa, memanggungkan, dan memaknai para maestro, berupaya maksimal memproduksi pengetahuan (katalog, buku, majalah diupayakan diterbitkan secara layak), kini (konon kabarnya) Galnas hanya menjadi bagian (kecil) dari institusi besar bernama Museum dan Cagar Budaya (MCB) berbentuk badan layanan umum (BLU).
Seperti ada mimpi besar bagi bangsa yang pupus. Kembali meminjam Tajuk Kompas dengan pilihan diksi yang tepat, semua peristiwa itu ”… menjadi kemarahan ’sunyi’ … .” Semoga Perpusnas dan Monas baik-baik saja. Sepotong wajah bangsa penuh kabut.
Suwarno Wisetrotomo, Dosen di Fakultas Seni Rupa dan Pascasarjana, Asisten Direktur 1 Pascasarjana ISI Yogyakarta