Terbakarnya Museum Nasional membuat simbol peradaban Nusantara ini kembali terancam. Sejak puluhan tahun lalu, museum juga tak luput dari aksi kejahatan seperti Kusni Kasdut, dan begundal lainnya.

Oleh SAIFUL RIJAL YUNUS

Menyimpan lebih ratusan ribu peninggalan dari berbagai era, Museum Nasional merupakan simbol nyata kekayaan peradaban nusantara. Hanya, museum ini berulang didera peristiwa dan terus dibayangi ancaman. Museum terbesar di Indonesia ini berulang kali mengalami pencurian, digasak begundal perampok, hingga dilahap nyala kebakaran.

Pada pukul 20.08, Sabtu (16/9/2023), kebakaran melanda gedung A, di museum yang terletak di Jalan Merdeka Barat, nomor 12 Jakarta Pusat ini. Api dari lantai dasar dengan cepat melahap bagian gedung hingga sebagian atap dan tembok ambruk.

Lantai dasar di gedung ini diketahui sedang digunakan sebagai bedeng yang menyimpan material untuk renovasi museum. Selain material mudah terbakar, seperti tripleks, angin kencang juga turut mempercepat perambatan api.

Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Jakarta Pusat menurunkan total 56 petugas dan 14 unit pemadam kebakaran. Api berhasil dipadamkan pada pukul 21.47. Tersisa asap putih tebal dan sisa-sisa material yang roboh.

Perwira piket Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Jakarta Pusat, Marwoto, menyebutkan, api berasal dari bedeng di lantai dasar yang menyimpan material untuk renovasi museum. Api merambat dengan cepat karena banyak material mudah terbakar di bedeng dan Gedung A. Gedung ini sendiri merupakan tempat di mana koleksi prasejarah, etnografi, dan keramik tersimpan.

”Ada 6 ruangan di Gedung A yang terdampak, sedangkan 15 ruangan lainnya di gedung A serta ruangan pamer gedung B dan C sama sekali tidak terdampak. Api tidak menyebar. Sebagian koleksi yang terdampak adalah replika, seperti di bagian prasejarah. Sisanya dipastikan dalam keadaan aman. Kami secara intensif terus melakukan pengukuran dampak dan rencana tindak lanjut,” kata Pelaksana Tugas Kepala Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya (BLU MCB) Ahmad Mahendra.

Akses masuk ke Museum Gajah ditutup, Minggu (17/9/2023), setelah peristiwa kebakaran di Gedung A Museum Nasional Indonesia, Sabtu (16/9/2023) malam.

Sementara itu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim saat meninjau langsung di lokasi kebakaran Museum Nasional, Sabtu (16/9/2023) malam, mengatakan, tim investigasi internal dikerahkan untuk menelusuri penyebab pasti kebakaran serta melakukan pendataan terhadap koleksi baik yang terdampak maupun yang sudah diamankan.

”Kemendikbudristek akan bekerja sama dengan pihak berwenang untuk memastikan bahwa penyelidikan berjalan dengan transparan,” ujarnya (Kompas, Minggu, 17/9/2023).

Pencurian

Gedung A merupakan bagian dari gedung lama Museum Nasional yang dibangun pada 1862 oleh Pemerintah Hindia Belanda dan resmi dibuka untuk umum pada 1868. Di gedung ini tersimpan koleksi-koleksi prasejarah, etnografi, dan keramik yang berasal pada masa prasejarah, klasik, dan kolonial. Inilah bangunan pertama yang menjadi tonggak Museum Nasional. Saat ini, juga terdapat gedung B dan gedung C yang dibangun belakangan melalui program pengembangan dan revitalisasi yang dilakukan bertahap medio 90-an dan 2010-an.

Di gedung A yang merupakan bangunan lama tersebut, pada 31 Mei 1961, seorang bandit terkenal saat itu, Ignatius Waluyo alias Kusni Kasdut, melakukan aksi fenomenal. Mantan pejuang kemerdekaan ini menggondol intan dan permata. Sebanyak 11 permata digasak bersama gerombolannya. Si ”Robin Hood” ini—dikenal sering membagikan hasil kejahatannya ke masyarakat miskin di zaman kemerdekaan, masuk ke museum dengan menyamar menggunakan seragam polisi.

M Soleh (74), petugas honorer museum bercerita, ia menjadi saksi dalam perkara pencurian permata oleh gerombolan Kusni Kasdut tersebut.

”Waktu itu memang setengah mati. Karena ketika Kasdut datang, saya yang jaga. Dia pake seragam polisi. Tapi saya dipanggil ke dalam sama atasan, jadi gak tahu apa-apa,” ujarnya (Kompas, Senin 25/4/1988). Kusni ditangkap di Semarang saat menjual hasil rampokannya, dan dihukum mati pada 1980.

Kejadian pencurian terus berulang. Pada 1987, puluhan keramik asal China hilang dari museum. Keramik dari zaman Dinasti Sung (960-1279) hingga Dinasi Ming (1368-1644) hilang tanpa jejak. Kejadian pencurian ini baru dilaporkan beberapa bulan setelahnya. Kerugian diperkirakan mencapai miliaran rupiah saat itu.

Pada 1996, pencurian lukisan kembali terjadi. Lukisan milik Basoeki Abdullah, Raden Saleh, dan Affandi. Lukisan ini berhasil ditemukan di Balai lelang Singapura, hingga akhirnya dikembalikan melalui berbagai proses.

Pada masa Reformasi, tepatnya sepuluh tahun lalu, museum ini kembali dibobol maling. Empat artefak peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang berusia sekitar 1.000 tahun diketahui hilang pada Rabu (11/9/2013), pukul 09.10. Empat benda yang disimpan di Ruang Emas Arkeologi Gedung A (gedung lama) Lantai II itu, yakni lempengan Bulan Sabit Beraksara, lempengan Naga Mendekam, lempengan Harihara, dan wadah bertutup (cepuk). Semua terbuat dari emas dan berukuran rata-rata kurang dari 10 sentimeter.

Saat itu, sejarawan JJ Rizal, melalui akun Twitter-nya, Jumat (13/9/2013), menyatakan, ”Ternyata Museum Nasional bukan saja mengoleksi benda-benda tua masa lampau, tetapi juga benda modern masa kini, yaitu CCTV.”

Rizal geram atas hilangnya empat artefak emas koleksi Museum Nasional, Jakarta Pusat, pekan lalu. ”Kalau CCTV (kamera pemantau) di Museum Nasional enggak berfungsi, berarti benda itu bukan untuk mengawasi, melainkan justru bagian dari koleksi,” kata Rizal.

https://cdn-assetd.kompas.id/vXlLOugqfHsFOXrmtKXKMAbGX-U=/1024x1920/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F07%2F31%2F20210730-TCJ-Jumlah-Museum-di-Indonesia-mumed_1627734073_png.png

Sejarah panjang

Museum Nasional Jakarta serupa kotak harta karun yang tak hanya menyimpan benda-benda yang tak ternilai harganya. Akan tetapi, juga bentangan sejarah bangsa sejak masa purba hingga kini. Di sini setidaknya tersimpan 150.000 benda koleksi.

Disadur dari laman Museum Nasional, awalnya koleksi itu merupakan sumbangan para kolektor dan penggemar seni budaya di masa Kolonial Belanda. Tahun 1778 ada lembaga bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Salah seorang pendirinya JCM Radermacher menyumbangkan banyak koleksinya dan rumahnya di Kalibesar, yang kemudian menjadi cikal bakal museum dan perpustakaan.

Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG) merupakan lembaga independen yang didirikan untuk tujuan memajukan penelitian dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang-bidang ilmu biologi, fisika, arkeologi, kesusastraan, etnologi, dan sejarah, Berta menerbitkan hasil penelitian. Lembaga ini mempunyai semboyan ”Ten Nutte van het Algemeen” (Untuk Kepentingan Masyarakat Umum).

Baca Juga: Museum Bukan Sekadar Etalase Benda Kuno

Selama masa pemerintahan Inggris di Jawa (1811-1816), Letnan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles menjadi Direktur perkumpulan ini. Melihat rumah di Kalibesar yang telah sesak, Raffles memerintahkan pembangunan gedung baru untuk digunakan sebagai museum dan ruang pertemuan untuk Literary Society (dulu disebut gedung ”Societeit de Harmonie”). Bangunan ini berlokasi di Jalan Majapahit Nomor 3. Sekarang di tempat ini berdiri kompleks gedung Sekretariat Negara, di dekat Istana Kepresidenan.

Jumlah koleksi milik BG terus meningkat hingga museum di Jalan Majapahit tidak dapat lagi menampung koleksinya. Pada 1862, Pemerintah Hindia-Belanda memutuskan untuk membangun sebuah gedung museum baru di lokasi yang sekarang, yaitu Jalan Medan Merdeka Barat No 12 (dulu disebut Koningsplein West). Gedung museum ini baru dibuka untuk umum pada tahun 1868.

Sisi depan Museum Nasional di kawasan Medan Merdeka ini juga dikenal dengan Museum Gajah karena terdapat patung gajah di depannya.

Museum ini lalu dikenal di kalangan masyarakat Indonesia, dengan beberapa nama. Salah satunya adalah ”Museum Gajah” karena di halaman depan museum terdapat sebuah patung gajah perunggu hadiah dari Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand yang pernah berkunjung ke museum pada tahun 1871.

Pada tahun 1923, perkumpulan ini memperoleh gelar ”koninklijk” karena jasanya dalam bidang ilmiah dan proyek pemerintah sehingga lengkapnya menjadi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Pada 26 Januari 1950, namanya diubah menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia.

Perubahan ini disesuaikan dengan kondisi waktu itu, sebagaimana tecermin dalam semboyan barunya: ”memajukan ilmu-ilmu kebudayaan yang berfaedah untuk meningkatkan pengetahuan tentang kepulauan Indonesia dan negeri-negeri sekitarnya”.

Mengingat pentingnya museum ini bagi bangsa Indonesia, pada 17 September 1962, Lembaga Kebudayaan Indonesia menyerahkan pengelolaan museum kepada Pemerintah Indonesia, yang kemudian menjadi Museum Pusat. Akhirnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No 092/0/1979 tertanggal 28 Mei 1979, Museum Pusat ditingkatkan statusnya menjadi Museum Nasional.

Hanya, ancaman di museum terus berulang. Kekayaan yang tidak ternilai harganya berada dalam bayang-bayang tindak kejahatan, kebakaran, hingga ketidakmampuan untuk memperkenalkan kepada generasi muda.

Arkeolog dan peneliti dari Pusat Arkeologi Nasional, Bambang Budi Utomo, menuturkan, tidak semua artefak arkeologis yang menjadi penghuni berbagai museum sejak bertahun-tahun silam mampu menceritakan dirinya sendiri. ”Sebagian besar dari 'mereka' masih sekadar disimpan di sebuah kamar pengap atau dibiarkan berdiri di emperan yang kepanasan dan kehujanan. Mereka ibarat masa lalu yang bisu, sudah bertahun-tahun menunggu para ahli yang mau mengabdi dan kemudian menguak misteri keberadaannya,” katanya (Kompas, Minggu, 6/10/2013).