Peningkatan infrastruktur transportasi massal berkualitas andal dengan tarif terjangkau merupakan salah satu cara efektif mendorong masyarakat beralih menggunakan angkutan publik.

Oleh YOHANES ADVENT KRISDAMARJATI

Peningkatan kualitas infrastruktur angkutan massal merupakan salah satu cara efektif untuk mendorong masyarakat beralih menggunakan angkutan publik. Namun, agar lebih optimal lagi daya tariknya, pemerintah perlu juga mempertimbangkan tarif angkutan yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.

Kawasan aglomerasi metropolitan sangat membutuhkan ketersediaan moda transportasi publik yang andal. Banyaknya orang yang beraktivitas setiap hari menggunakan kendaraan pribadi membuat kawasan aglomerasi rawan macet. Oleh karena itu, ketersediaan angkutan massal yang terintegrasi menjangkau seluruh wilayah anglomerasi sangat diperlukan guna mengurai akar kemacetan.

Di Jabodetabek, penyediaan layanan angkutan umum terus ditingkatkan sehingga angkutan publik kian andal. Layanan angkutan massal kereta komuter (commuterline) dan busrapidtransit (BRT) Transjakarta terus ditingkatkan, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Rute-rute baru feeder BRT ditambah guna memperluas jaringan agar semakin maksimal mengangkut penumpang dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.

Bahkan, perluasan rute jaringan rute angkutan umum saat ini tak hanya terfokus pada kendaraan berbasis jalan raya saja, tetapi juga menyasar pada angkutan berbasis rel. Beroperasinya massrapidtransit (MRT) dan lightrailtransit (LRT) menjadi bukti kuatnya komitmen pemerintah mendorong animo masyarakat agar mau bergeser menggunakan angkutan umum.

Hanya saja, jaringan rel MRT dan LRT yang masih terbatas membuat daya serap penumpangnya juga terbatas dan bertarif relatif mahal. Bahkan, ongkosnya cenderung lebih mahal dibandingkan angkutan serupa di sejumlah negara tetangga Indonesia.

Perbedaan itu tampak dari tarif angkutan berbasis rel terbaru di Jabodebek, yakni pada angkutan LRT yang menghubungkan antara wilayah Bekasi dan Depok dengan Jakarta. Tarif LRT Jabodebek ternyata lebih mahal dari Singapura dan Kuala Lumpur, tetapi hampir setara dengan Bangkok.

LRT

Proyek pembangunan LRT Jabodebek dimulai sejak 2016 dan beroperasi untuk publik sejak 28 Agustus 2023. Saat ini, LRT Jabodebek sudah melayani perjalanan komuter secara rutin setiap hari pada dua jalur, yakni jalur Cibubur dan jalur Bekasi.

Animo masyarakat pengguna LRT terbilang relatif tinggi. Hal ini terlihat dari respons PT KAI (Persero) Divisi LRT Jabodebek yang menambah jumlah perjalanan dari 158 perjalanan menjadi 202 perjalanan per hari (Kompas, 14/9/2023). Dengan adanya penambahan perjalanan, jarak kedatangan antarkereta dapat dipangkas. Rute Jatimulya-Cawang (PP) dan Harjamukti-Cawang (PP) dari semula 20 menit menjadi 17 menit. Adapun rute Cawang-Dukuh Atas (PP) jarak antarkereta yang sebelumnya 10 menit menjadi 9 menit.

Antusiasme warga Jabodebek menumpang LRT tersebut didorong harga promo yang terbilang murah. Pasalnya, pada periode Agustus-September 2023, penumpang hanya dikenai tarif Rp 5.000 untuk sekali perjalanan. Namun, promo itu akan berakhir dan diberlakukan penyesuaian tarif pada Oktober 2023. Harga promo tahap kedua dengan tarif maksimal Rp 20.000 akan berlaku mulai 1 Oktober 2023-29 Februari 2024. Nada keberatan muncul dari masyarakat dan tidak menutup kemungkinan akan menurunkan minat penumpang LRT.

Di kawasan Asia Tenggara, LRT Jabodebek merupakan yang termuda dibandingkan LRT di Malaysia, Singapura, dan Bangkok. Moda transportasi LRT pertama kali diluncurkan di Malaysia, tepatnya di Kota Kuala Lumpur, pada 1996. Selanjutnya, disusul Singapura tiga tahun kemudian dan, pada tahun yang sama, 1999, warga ibu kota Thailand, Bangkok, mulai menikmati moda transportasi Bangkok Mass Transit System (BTS) Skytrain. Artinya, ketiga negara tersebut sudah berpengalaman lebih dari 20 tahun mengoperasikan LRT hingga saat ini.

Perbandingan tarif

Setiap operator di masing-masing negara tersebut mempunyai skema tarif yang beragam. Ditilik dari level harga terkini, BTS Bangkok memiliki biaya ongkos yang relatif setara dengan LRT Jabodebek. Melalui laman BTS Skytrain, terlihat tarif untuk stasiun pertama hingga stasiun ketujuh dikenai biaya senilai 17 baht atau setara dengan Rp 7.300.

Selanjutnya, apabila penumpang bepergian lebih dari 7 stasiun, dihitung dari stasiun keberangkatan, akan dikenai tarif berjenjang. Sebagai gambaran, di Bangkok terdapat dua jalur BTS, yakni Sukhumvit Line (54,25 kilometer) dan Silom Line (14 kilometer). Biaya yang dikenakan kepada penumpang Sukhumvit Line dan Silom Line dari stasiun pertama hingga stasiun akhir adalah sama, yakni 65 baht atau sekitar Rp 26.500. Pihak operator BTS Skytrain memberlakukan batas atas tarif pada layanan mereka.

https://cdn-assetd.kompas.id/RbPOG-NYBDFA63UZthPEOiYthHs=/1024x2430/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F29%2Fe2725cc0-40eb-401f-a944-845767be2322_png.png

Berkaca dari tarif BTS Skytrain, dapat dikatakan bahwa tarif tersebut adalah yang paling mendekati dengan tarif LRT Jabodebek. Mulai Oktober 2023, tarif tertinggi LRT Jabodebek dipatok Rp 20.000 hingga Februari 2024. Setelah itu, menurut rencana akan diberlakukan tarif permanen dengan tarif kilometer pertama Rp 5.000 dan berikutnya Rp 825 per kilometer. Tarif tertinggi yang akan dikenakan kepada penumpang Cibubur Line senilai Rp 24.000 dan pada Bekasi Line Rp 22.000. Dari segi jarak, jalur Cibubur dihitung dari Stasiun Dukuh Atas hingga Stasiun Harjamukti sejauh 27,4 kilometer sehingga tarifnya lebih mahal dibandingkan jalur Bekasi dengan jarak tempuh 24,3 kilometer.

Apabila disandingkan, skema tarif BTS Bangkok lebih murah dibandingkan LRT Jabodebek. Perjalanan pada jalur terpanjangnya (54,25 kilometer) terhitung lebih murah. Sementara itu, LRT Jabodebek rute Bekasi dan Depok yang masing-masing jarak tempuhnya hanya setengah dari Sukhumvit Line di Bangkok bertarif hampir sama. Tarif LRT Jabodebek Rp 22.000-Rp 24.000, sedangkan tarif BTS Skytrain Rp 26.500.

Semakin murah

Dalam hitungan biaya tarif, penumpang yang melakukan perjalanan lebih jauh mendapat keringanan berupa biaya per kilometer yang nominalnya relatif murah. Misalnya, LRT Jabodebek akan membebankan tarif Rp 825 per kilometer setelah konsumen dipungut biaya kilometer pertama senilai Rp 5.000. Artinya, semakin jauh jarak stasiun keberangkatan dengan tujuan, pertambahan biaya berlaku konstan senilai Rp 825 per kilometer.

Sementara itu, penumpang BTS Skytrain yang berdomisili di luar pusat kota Bangkok dengan jarak terjauh justru yang paling diuntungkan. Apabila dibagi per kilometernya, tarif penumpang Sukhumvit Line setara dengan Rp 500 per kilometer.

Beban tarif yang semakin ringan tersebut juga diperoleh penumpang LRT Kuala Lumpur dengan rute terjauh. LRT Kuala Lumpur terdiri dari tiga jalur, yakni Kelana Jaya Line (46,4 km), Sri Petaling Line (33 km), serta Ampang Line (15 km). Kalkulasi biaya pada jarak terjauh Kelana Jaya Line antara Stasiun Gombak dan Stasiun Putra Heights dikenai tarif 5,3 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 17.400. Apabila dihitung secara rata-rata, biaya per kilometer pada jalur Kelana Jaya Line adalah Rp 400. Untuk rute lainnya, biaya per kilometer di jalur Sri Petaling berkisar Rp 500 dan pada jalur terpendek Ampang line seharga Rp 800.

Konsep semakin jauh semakin murah itu juga dianut operator LRT di Singapura. Jarak tempuh sampai dengan 3,2 kilometer dikenai biaya Rp 5.000. Kemudian jarak tempuh lebih dari 3,2 kilometer hingga 4,2 kilometer bertarif Rp 5.500, dan seterusnya hingga mencapai batas atas. Apabila penumpang bepergian lebih dari 7,2 kilometer, diberlakukan tarif tertinggi, yaitu Rp 7.300.

Tarif LRT yang cenderung lebih ringan biayanya dengan jarak perjalanan semakin jauh menjadi konsep yang sama-sama diskemakan oleh sejumlah operator LRT di beberapa kota metropolitan di Asia Tenggara. Hal ini membuka peluang juga bagi PT KAI (Persero) Divisi LRT Jabodebek sebagai operator untuk melakukan uji coba skema tarif yang paling diminati dan tentunya terjangkau masyarakat Jabodebek.

Apalagi, saat ini pihak operator perlu segera menjawab respons pengguna LRT yang mulai menunjukkan sinyal keberatan terhadap tarif promo periode kedua. Pihak operator dapat memanfaatkan momen ini untuk mencari formula yang tepat, terutama mengenai kebijakan skema tarif yang akan diberlakukan secara permanen. Dengan kualitas angkutan yang andal dan biaya yang terjangkau, niscaya akan mudah mendorong masyarakat untuk beralih menggunakan moda transportasi massal ini. (LITBANG KOMPAS)