Berbekal dua jalur baru, LRT Jabodebek berpotensi mengisi ruang yang belum terlayani angkutan massal di aglomerasi Jakarta. Hanya saja, harga tiket dan integrasi perlu dirumuskan dengan tepat.

Oleh AGNES RITA SULISTYAWATY, HELENA FRANSISCA NABABAN, BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA

Kereta LRT Jabodebek perlahan melintasi Jembatan Lengkung Bentang Panjang Kuningan di Jakarta Selatan, Rabu (2/8/2023).

Jejaring angkutan perkotaan di Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi meluas dengan dioperasikannya dua jalur kereta ringan (LRT) Jabodebek dalam waktu dekat. Dengan kapasitas angkut rata-rata 137.000 penumpang per hari, LRT menambah pilihan moda transportasi bagi komuter.

Perjalanan mewujudkan LRT Jabodebek ditandai terbitnya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2015 tertanggal 2 September 2015, yang mengatur percepatan penyelenggaraan kereta api ringan terintegrasi di Jabodebek. Sepekan berselang, Presiden Joko Widodo meletakkan batu pertama tanda pembangunan LRT dimulai.

Apabila LRT Jabodebek jadi beroperasi pada 26 Agustus 2023, proses pembangunan dua lintas ini memakan waktu delapan tahun.

Jalur layang yang menghubungkan Dukuh Atas- Harjamukti sejauh 26 kilometer dan Dukuh Atas-Jatimulya dengan jarak 30 kilometer ini membutuhkan investasi Rp 32,3 triliun. Sejumlah Rp 10 triliun antara lain berupa penyertaan modal negara (PMN) dan Rp 22,3 triliun dari pinjaman. Pinjaman dengan tenggat 13 tahun ini dicicil per tahun, terhitung tanggal operasional komersial kereta ringan.

https://cdn-assetd.kompas.id/CS8ZTIQ1J2gusjY1ollOvMOPkYk=/1024x1235/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F13%2Fdf4b94de-95c6-4939-9b9c-5c311af82b6c_png.png

Mengingat proses panjang dan biaya mahal pembangunan LRT Jabodebek, keberhasilan operasionalisasi kereta ringan menjadi amat penting.

Selain itu, jaminan keberlanjutan moda transportasi massal perkotaan sejatinya menjadi solusi atas sejumlah persoalan di kota besar Indonesia. Selain kepungan polusi udara yang kian membebani kesehatan warga kota, persoalan kemacetan dan pemborosan anggaran juga membutuhkan jalan keluar.

Di sisi lain, angkutan umum menghadapi tantangan terkait mobilitas warga yang bertahun- tahun dimanjakan dengan kendaraan pribadi yang mengantarkan orang dari depan rumah hingga masuk pagar tempat tujuan. Jaminan kemudahan mengakses angkutan umum dan tarif terjangkau menjadi tantangan apabila ingin menarik pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum.

Seusai inspeksi LRT Jabodebek, Kamis (10/8/2023), Presiden Joko Widodo mengirimkan sinyal bahwa pemerintah akan menyubsidi tarif angkutan umum demi menarik pengguna kendaraan pribadi menjadi penumpang angkutan massal.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Kamis (3/8), menyebut, tarif LRT Jabodebek termurah Rp 5.000 dan termahal Rp 27.500. Tarif ini sudah disubsidi pemerintah.

Kepala Divisi LRT Jabodebek Mochamad Purnomosidi, Jumat (11/8), mengatakan masih terbuka opsi penerapan tarif reduksi di awal operasionalisasi LRT Jabodebek ini. ”Ini strategi pemerintah dan operator untuk menarik dan meningkatkan peminat pengguna LRT agar berpindah dari angkutan pribadi ke angkutan umum massal.”

Integrasi antarmoda

Selain tarif, integrasi antarmoda juga krusial menentukan keberhasilan transportasi massal. Integrasi fisik, misalnya, penting agar penumpang angkutan umum mudah mencapai tempat tujuan.

Di wilayah DKI Jakarta, integrasi antarmoda relatif lebih mudah karena jejaring bus Transjakarta yang sudah luas. Direktur Operasi dan Keselamatan PT Transportasi Jakarta Daud Joseph, Senin (7/8), menjelaskan, ada tiga jenis integrasi layanan integrasi bus Transjakarta dan LRT Jabodebek.

Layanan pertama adalah layanan yang terintegrasi secara fisik dan rute antara stasiun LRT Jabodebek dan halte Transjakarta. Layanan kedua adalah layanan bus Transjakarta dengan LRT Jabodebek yang terhubungkan dengan trotoar, seperti Halte Dukuh Atas dan Stasiun LRT Dukuh Atas.

Layanan ketiga adalah integrasi dengan angkutan pengumpan, seperti di Stasiun Halim, Ciracas, TMII, dan Stasiun Harjamukti. Angkutan pengumpan itu bisa berupa bus kecil ataupun mobil besar.

Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo, Kamis (3/8), menambahkan, semua stasiun LRT Jabodebek di wilayah DKI Jakarta sudah terintegrasi dengan angkutan umum lainnya, seperti bus Transjakarta, KRL Commuterline, dan kereta MRT.

Pemprov DKI Jakarta juga menyiapkan tujuh titik park and ride atau kantong parkir di pinggir Jakarta, antara lain di sekitar Stasiun LRT Kampung Rambutan, Ciracas, dan TMII.

 

Di luar Jakarta, dua bus Trans Pakuan Bogor akan menghubungkan Bogor dan Stasiun LRT Harjamukti. Menurut rencana, dua bus Trans Pakuan Bogor melayani penumpang di rute ini pada pagi dan sore hari.

Di Bekasi, bus Trans Patriot direncanakan beroperasi melewati Stasiun Jatimulya dan Bekasi Barat.

Purnomosidi menambahkan, integrasi antarmoda masih berupa integrasi fisik dan tiket yang digunakan untuk pembayaran. Penumpang LRT Jabodebek bisa menggunakan kartu uang elektronik dari sejumlah perbankan, sama seperti yang digunakan di Transjakarta, KRL, dan MRT Jakarta. ”Kalau tarif masih dibayarkan sendiri-sendiri sesuai moda transportasi yang digunakan.”

Selain integrasi dengan moda angkutan umum, pihak LRT Jabodebek juga berkolaborasi dengan pengelola pusat perbelanjaan atau pengelola gedung di sekitar stasiun untuk menyediakan akses penghubung ke stasiun yang nyaman bagi pejalan kaki.

Anie (45), warga Citra Gran, Cibubur, mengaku masih menimbang efisiensi waktu apabila menggunakan LRT Jabodebek kelak. Sehari-hari ia naik mobil dari rumah ke kantor di Senayan, Jakarta. Waktu tempuh dengan mobil antara 45 menit dan 2 jam. Selama ini, mobil menjadi pilihan karena mengantarkannya langsung dari rumah sampai tujuan.

Sementara rumahnya berjarak sekitar 7 kilometer dari Stasiun LRT Harjamukti. ”Kalau bawa mobil ke Stasiun Harjamukti, tempat parkirnya belum jelas. Kalau naik angkot, lama, karena berputar-putar. Di Stasiun LRT Dukuh Atas, saya masih harus naik angkutan lanjutan dan itu perlu waktu lagi. Waktu tempuh bisa lebih lama dibandingkan naik mobil.”

Anie tak mempermasalahkan tarif LRT karena kini ia mengeluarkan Rp 100.000 untuk bensin dan tol sehari.

M Safir (40), warga Bekasi Barat, memilih menggunakan sepeda motor ke kantornya di Mampang, Jakarta Selatan, ketimbang naik LRT Jabodebek. ”Tarifnya kurang bersahabat. Menurut saya, LRT Jabodebek hanya sebagai transportasi alternatif saja di kondisi tertentu, bukan untuk digunakan sehari-hari bekerja,” ujarnya.

Dari rumahnya, ia mesti naik ojek atau menitipkan sepeda motor di parkiran stasiun. Lalu, dari stasiun LRT di Jakarta untuk ke kantor harus berganti moda lagi. ”Waktu habis untuk gonta-ganti transportasi. Paling tidak, saya menghitung, kalau naik LRT Jabodebek dari rumah di Bekasi ke kantor di Mampang, saya akan menghabiskan Rp 60.000-Rp 70.000 per hari,” katanya.

Dengan sepeda motor, ia hanya perlu Rp 40.000-Rp 50.000 untuk membeli bensin dalam 2-3 hari sekali. Ia juga punya moda alternatif, yakni Transjakarta Trans Royal rute Bekasi Barat-Kuningan yang bertarif Rp 40.000 pergi pulang.

Terkait pengembangan jalur LRT Jabodebek, Menhub mengatakan, jalur Bekasi direncanakan diperpanjang sampai ke Cikarang atau Karawang. Adapun jalur Cibubur ditargetkan diteruskan sampai ke Kota Bogor.