"Quo vadis Mahkamah Konstitusi?"

Pertanyaan tersebut bukan dilontarkan oleh sosok dari luar Gedung Mahkamah Konstitusi, melainkan datang dari Hakim Konstitusi Saldi Isra. Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi itu merasa gerah sekaligus cemas dengan sikap dan pandangan sebagian hakim konstitusi yang dinilainya menjebakkan diri dalam pusaran politik dengan mengabulkan salah satu permohonan uji materi batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden.

Dalam 12,5 lembar dissenting opinion atau pendapat berbeda, Saldi menguliti proses internal MK dalam pengambilan putusan pengujian syarat usia minimal capres dan cawapres yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tersebut.

Dari 13 perkara permohonan pengujian Pasal 169 Huruf q UU Pemilu tentang syarat minimal usia capres dan cawapres adalah 40 tahun yang diterima MK, tujuh di antaranya diputus, Senin (16/10/2023). Lima perkara ditolak, satu dicabut, dan hanya satu permohonan yang dikabulkan sebagian oleh MK.

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (kanan) dan hakim MK Saldi Isra (kiri) berdiskusi sejenak disela-sela sidang putusan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (kanan) dan hakim MK Saldi Isra (kiri) berdiskusi sejenak disela-sela sidang putusan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023).

Perkara yang ditolak oleh MK, di antaranya, ialah permohonan yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (29/PUU-XXI/2023), Partai Garuda (51/2023), dan lima kepala daerah (55/2023). MK menolak mengubah syarat usia menjadi 35 tahun atau mengecualikan orang-orang yang pernah menjabat penyelenggara negara dari aturan Pasal 169 Huruf q UU Pemilu. Alasannya, persoalan usia capres dan cawapres merupakan kewenangan DPR dan presiden untuk mengaturnya (open legal policy). Tiga putusan ini dibacakan pada Senin pagi sekitar pukul 10.30.

Beberapa jam kemudian, sikap MK berubah. Saldi Isra bahkan menyebut pandangan MK berubah 180 derajat. MK mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A (perkara 90/2023), mahasiswa Universitas Surakarta, pengagum Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka.

Diwarnai dissenting opinion dari empat hakim konstitusi, MK mengabulkan permohonan Almas dengan mengubah pasal tersebut menjadi ”Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menjabat dalam jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah”.

Saya bingung dan benar-benar bingung untuk memulai harus dari mana pendapat berbeda ini.

Empat hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda adalah Saldi Isra, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo.

Peristiwa aneh

Saldi mengawali pembacaan dissenting opinion dengan melontarkan kebingungannya atas putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan Almas. ”Saya bingung dan benar-benar bingung untuk memulai harus dari mana pendapat berbeda ini. Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai hakim konstitusi pada 11 April 2017, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan bisa dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Mahkamah berubah sikap dan pendiriannya hanya dalam sekelebat,” ujarnya.

Dalam hitungan hari, komposisi hakim konstitusi berubah, terutama setelah Anwar Usman masuk dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Enam hakim yang menolak perkara PSI dkk karena alasan open legal policy tergerus hanya jadi empat orang. Bahkan, dalam perkara 90-91/2023, pertimbangan dan amar putusan berbalik 180 derajat. Putusan dari menolak menjadi mengabulkan meski ditambah embel-embel mengabulkan sebagian.

Sejak awal, permohonan yang diajukan Almas dinilai ganjil. Perkara Almas masuk diam-diam tanpa pemberitahuan kepada wartawan seperti yang biasa dilakukan oleh sejumlah pemohon. Tak hanya itu, Almas sempat menarik permohonannya pada Jumat (29/9/2023), tetapi pada Sabtu (30/9/2023) malam, ia mencabut surat pembatalan pengajuan perkara tersebut.

Kursi kosong Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) yang ke luar ruangan sidang saat hakim MK Saldi Isra (kiri) membacakan <i>dissenting opinion </i>(pendapat berbeda) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Kursi kosong Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) yang ke luar ruangan sidang saat hakim MK Saldi Isra (kiri) membacakan dissenting opinion (pendapat berbeda) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023).

Menurut Arief Hidayat, pemohon tidak bisa mengajukan kembali permohonan yang sudah ditarik. MK sebenarnya juga sudah cukup alasan untuk menolak surat pembatalan pencabutan perkara karena pemohon dinilai tidak serius.

Keganjilan lain adalah penjadwalan sidang yang terlalu lama. Untuk menjadwalkan sidang dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden, misalnya, memakan waktu hingga dua bulan. Meski tidak melanggar hukum acara, penundaan itu menunda tersampaikannya keadilan itu sendiri.

 

Terlepas dari itu semua, Arief mengaku merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada kelima perkara (29, 51, 55, 90, dan 91/PUU-XXI/2023) yang mengusik hati nuraninya. Dalam konteks itulah, Arief dan Saldi Isra seperti mengeluarkan apa yang dipendamnya ke dalam dissenting opinion mereka.

 
 
Editor:
ANITA YOSSIHARA

Bagikan