Literasi masih sering dipahami secara salah. Literasi adalah kemampuan membaca, menulis, berbicara, dan mendengar yang merupakan cara untuk berkomunikasi secara efektif dan memahami dunia di sekitarnya.

 
 
Oleh
RATIH D. ADIPUTRI
 

https://cdn-assetd.kompas.id/ElhfUTazFAvaVlbZi7sJfbTXuho=/1024x575/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F12%2F8f8f4583-ab92-4a9c-a881-25ad49fec99a_jpg.jpg

Berapa waktu lalu saya bertemu teman baru, seorang penerjemah bahasa dari Rusia yang pernah belajar bahasa Indonesia, di klub diskusi buku di kota Jyväskylä, Finlandia. Kami memiliki kegemaran yang sama dalam membaca buku. Darinya saya belajar soal dunia alih bahasa.

Namun, yang saya kagumi, ia menyukai membaca buku sejarah Indonesia. Novel Indonesia yang ia suka adalah Harimau, harimau karya Mochtar Lubis dan Ziarah karya Iwan Simatupang. Menurut dia, banyak karya Indonesia tahun 1950-1970 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia dan dibaca masyarakat di sana. Novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan juga populer di Rusia. Saat ini ia sedang membaca karya Taufik Abdullah mengenai sejarah Islam di Indonesia.

Saya jadi bertanya-tanya kalau orang asing saja amat menyukai karya penulis Indonesia, bagaimana dengan masyarakat Indonesia? Apakah kita membaca karya-karya penulis Indonesia? Apakah para guru dan siswa-siswa di sekolah mengenal dan membaca novel-novel Indonesia ini?

Baca juga: Meningkatkan Literasi dengan Fiksi

Pemahaman yang salah

Kata-kata literasi, apalagi literasi digital, akhir-akhir ini banyak digaungkan. Namun, pengertian literasi ini ternyata tidak sama, bahkan salah. Suatu organisasi masyarakat yang bergerak dalam bidang literasi, yang saya pelajari baru-baru ini, bahkan beranggapan bahwa upaya untuk mengatasi masalah literasi pada siswa di sekolah adalah dengan membuat karya tulis siswa dan dibukukan!

Ini pemahaman yang salah dan memprihatinkan. Tidak semua dari kita harus menghasilkan karya tulis. Namun, keterampilan memahami bacaan atau teks dan mampu menggunakannya lagi amatlah diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Apabila banyak orang di Indonesia tidak terbiasakan membaca buku, apalagi buku-buku berkualitas tingkat dunia, dan pemahaman membaca amat rendah, lantas siapa yang mau membaca karya-karya tulis para siswa tadi? Dan apakah tulisan yang tidak disaring oleh proses penulisan yang baik itu layak dibaca? Apabila dengan perlombaan, apakah ”juri” yang memilih karya tersebut juga kredibel?

Belum lagi berkembang cerita lain. Kabarnya jumlah buku terbit di Indonesia, dilihat dari jumlah permintaan International Standard Book Number (ISBN)—di Indonesia dikelola Perpustakaan Nasional—cukup besar, bahkan di luar kewajaran karena melonjaknya buku ber-ISBN yang terbit ternyata tidak diikuti oleh naiknya minat baca masyarakat dan indeks literasi Indonesia, yang masih saja rendah (CXO Media, 2022).

Literasi adalah kemampuan untuk membaca, menulis, berbicara, dan mendengar yang merupakan cara untuk berkomunikasi secara efektif dan memahami dunia di sekitarnya.

Jadi, penerbitan buku yang banyak dengan pemberian ISBN berada di luar kontrol karena penerbitan buku tersebut tidak tepat sasaran, banyak orang yang merasa mampu menerbitkan karya sendiri (tanpa proses review dan editing yang jelas). Maka, jumlah ISBN yang keluar ternyata tidak menaikkan minat baca masyarakat.

Kemendikbud dalam Laporan Indeks Aktvitas Membaca di Indonesia (2019) menyatakan bahwa ”mengingat luasnya makna ’literasi’ yang berkembang di masyarakat, kajian ini hanya membatasi pada literasi membaca”. Padahal, justru kegiatan sederhana dengan membiasakan membaca inilah, maka literasi masyarakat dan siswa sekolah akan meningkat.

Laporan tersebut juga menyatakan bahwa masalah akses selalu menjadi kendala. Juga kualitas teks, maka proses penerjemahan buku-buku bermutu internasional ke dalam bahasa Indonesia (bahkan bahasa daerah) perlu digalakkan kembali, bahkan juga mencetak ulang karya-karya penulis Indonesia klasik, dari tahun 1950-an, untuk menjadi bacaan-bacaan sastra dan literatur di sekolah, dan tersedia di seluruh perpustakaan di seluruh negeri. Dengan begini, literasi masyarakat Indonesia akan meningkat sekaligus melestarikan penggunaan bahasa nasional yang baik dan benar.

Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek E Aminudin Aziz (kedua dari kiri) memantau pencetakan buku bacaan anak yang dilakukan PT Gramedia di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jabar. Pada 2022, sebanyak 12,7 juta eksemplar buku bacaan anak didistribusikan untuk satuan pendidikan anak usia dini dan SD di daerah 3T guna mendukung Gerakan Literasi Nasional.

KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU

Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek E Aminudin Aziz (kedua dari kiri) memantau pencetakan buku bacaan anak yang dilakukan PT Gramedia di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jabar. Pada 2022, sebanyak 12,7 juta eksemplar buku bacaan anak didistribusikan untuk satuan pendidikan anak usia dini dan SD di daerah 3T guna mendukung Gerakan Literasi Nasional.

Definisi literasi

Literasi adalah kemampuan untuk membaca, menulis, berbicara, dan mendengar yang merupakan cara untuk berkomunikasi secara efektif dan memahami dunia di sekitarnya. Ini adalah kemampuan untuk mengindentifikasi, memahami, menginterpretasikan, menciptakan, berkomunikasi, dan memproses berbagai macam materi cetak atau tulisan. Materi biasanya berbentuk bacaan-bacaan panjang (buku) dan karya-karya ilmiah yang memerlukan waktu untuk membaca dan memahaminya, dan kemudian digunakan dalam lingkungan pekerjaan atau memahami dunia.

Ini adalah definisi dasar literasi. Karena itu, apabila literasi ditambahkan dengan kata lain, seperti ”literasi digital” dan ”literasi budaya”, intinya sama saja memahami sesuatu secara menyeluruh dan dapat menggunakan kembali informasi tersebut dengan mudah.

Sampai saat ini, masyarakat Indonesia masih hanya tidak buta aksara, tetapi secara budaya belum mampu menggunakannya dengan menyelesaikan tugas dengan baik dan menggunakan bacaan sebagai kebiasaan untuk menambah pengetahuan. Banyak masyarakat Indonesia tidak paham isi suatu teks surat kabar, misalnya. Maka, memahami isi buku-buku bacaan karya mendunia akan kesulitan karena selain aksesnya yang tidak ada, buku tidak tersedia dan tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, fasilitas perpustakaan yang buruk, dan penggunaan teks-teks pendek dalam media sosial yang masif.

Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah melaporkan pada 2017 bahwa data UNESCO menunjukkan minat baca masyarakat Indonesia yang kecil, hanya 0,001 persen (yang berarti dari 1.000 orang hanya 1 yang membaca buku), tetapi menghabiskan waktu di media sosial setidaknya sembilan jam per hari! Memprihatinkan.

Baca juga: Mengurai Benang Kusut Krisis Literasi

Jadi, literasi itu dasarnya mengalokasikan waktu untuk membaca dan memahami isi bacaan, idealnya teks panjang, buku fiksi atau karya ilmiah lainnya. Bahkan nanti mampu menceritakan isinya dengan pemahaman tersendiri. Inilah literasi yang sesungguhnya.

Jadi, apabila siswa-siswa Indonesia tidak tahu isi cerita fiksi Harry Potter atau karya-karya pemegang nobel sastra, hal ini tidak dapat disalahkan karena di sekolah tidak ada upaya untuk memasukkan kegiatan membaca di kelas, mendiskusikannya, bahkan bukunya yang tersedia dalam bahasa Indonesia nya pun tidak cukup dikenal. Guru-guru Bahasa Indonesia di sekolah pun belum tentu membaca buku-buku ini.

Betul, sudah ada gerakan literasi, seperti ”kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar dimulai”. Namun, mengapa malah tidak memasukkan kegiatan ini ke dalam proses belajar-mengajar di kelas? Mengapa tidak dimasukkan dalam pelajaran dan guru atau sekolah ikut membaca bersama-sama?

Ini seharusnya sudah dilakukan di sekolah dasar idealnya kelas 1-3 SD. Jadi, semestinya tidak ada lagi cerita anak SMP atau kelas 7-9 masih tidak paham bacaan bahkan tidak mampu meringkas cerita dari sebuah novel pendek. Suatu keluhan yang sering saya dengar dari para guru di Indonesia.

Siswa membaca buku-buku yang tersedia di sepeda motor perpustakaan keliling di SDN 02 Malakasari, Jakarta Timur, Selasa (8/1/2019). Layanan perpustakaan keliling ini menjadi sarana yang dinanti para siswa untuk membaca buku-buku baru dan menambah pengetahuan.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Siswa membaca buku-buku yang tersedia di sepeda motor perpustakaan keliling di SDN 02 Malakasari, Jakarta Timur, Selasa (8/1/2019). Layanan perpustakaan keliling ini menjadi sarana yang dinanti para siswa untuk membaca buku-buku baru dan menambah pengetahuan.

Perlu langkah nyata

Hampir semua survei atau pemetaan aktvitas membaca di Indonesia yang dilakukan tidak jauh berbeda, misalnya mengukur waktu rata-rata membaca, juga alokasi dana membeli buku dengan responden yang berbeda-beda. Namun, tidak ada sesuatu yang baru dan hasil survei tersebut juga tidak mengubah kebijakan secara masif.

Sudah saatnya ada gerakan besar, perlu langkah nyata, untuk mengubah pola pikir literasi dan membiasakan siswa-siswa sekolah dan masyarakat untuk membaca, dengan cara akses yang besar, dan memasukkan kegiatan membaca ini ke dalam proses belajar-mengajar di kelas.

Di Finlandia, anak-anak dibiasakan membaca buku di kelas, sekitar 20 menit sehari, baik dibacakan oleh guru maupun membaca sendiri, meminjam buku perpustakaan dan membaca. Biasanya dalam pelajaran bahasa lokal dan pemahaman bacaan, dan ini dilakukan setiap hari di kelas, terutama di kelas 1-3 SD. Hal ini memupuk kebiasaan membaca.

Sudah saatnya ada gerakan besar, perlu langkah nyata, untuk mengubah pola pikir literasi dan membiasakan siswa-siswa sekolah dan masyarakat untuk membaca.

Di perpustakaan daerah pun mendorong hal yang sama, akses buku dipermudah, dan diperbanyak jumlahnya bahkan bekerja sama dengan sekolah untuk mendukung Diploma Membaca (Adiputri, 2019, 2023). Setiap tahun anak-anak yang membaca 6, 12, 24 buku atau lebih akan mendapat penghargaan.

Ada pula petunjuk pemahaman bacaan. Bukan sekadar menghitung berapa jumlah buku yang dibaca, sejak kelas 1, siswa sudah diminta membaca dengan kritis, tahu isi bacaan, dapat menggambar tokoh imajinatif dalam cerita, menulis review pendek atas bacaannya, atau mengekspresikan dalam bentuk lain dari cerita tersebut, misalnya dalam lukisan atau karya drama kelas.

Saatnya kita untuk membuat program konkret yang dapat dijalankan agar pihak sekolah untuk membaca di kelas, buku-buku tersedia banyak dari Kemendikbudristek, misalnya mengaktifkan kembali Balai Pustaka, mencetak ulang karya-karya penulis Indonesia klasik, termasuk penerjemahan buku-buku internasional bermutu ke dalam bahasa Indonesia.

Baca juga: Tutupnya Toko Buku dan Masa Depan Literasi Kita

Kebijakan kurikulum harus mendukung aksi literasi, penerbitan buku-buku karya anak bangsa untuk dibaca terus-menerus dan membuka akses (bekerja sama dengan pos pengiriman) untuk mengirim buku-buku ke daerah-daerah 3 T dan lain-lain. Buku-buku bacaan tersebut hendaknya dimasukkan dalam pelajaran-pelajaran. Di SMA, siswa Finlandia, wajib membaca dan menganalisis setidaknya 3-5 novel panjang.

Pemerintah daerah juga harus memperbaiki kualitas perpustakaan dan akses ke taman-taman bacaan, kalau perlu menggerakkan penerjemahan buku ke dalam bahasa daerah lokal. Lembaga swadaya masyarakat juga berkolaborasi bersama untuk menginisiasi penerjemahan-penerjemahan buku bermutu ke dalam bahasa Indonesia bahkan bahasa daerah, juga mendorong kelompok-kelompok diskusi buku di wilayah setempat.

Dengan akses buku yang ada, orangtua dan masyarakat dapat meluangkan waktu membaca bersama anggota keluarga sebagai kegiatan sehari-hari. Toko-toko buku dan taman bacaan akan ramai karena kegiatan membaca merupakan kegiatan menyenangkan. Dengan perencaaan dan aksi nyata yang masif, niscaya kegiatan membaca dan meningkatkan literasi akan tumbuh pesat.

Ratih D AdiputriPeneliti dan Dosen di Universitas Jyväskylä, Finlandia