Presiden bertandang ke China untuk menegosiasikan kelanjutan kerja sama pembangunan Kereta Cepat sampai Surabaya.

Oleh AGNES THEODORA, ELSA EMIRIA LEBA

Belajar dari pengalaman membangun Kereta Cepat Jakarta-Bandung, pemerintah diingatkan tidak terburu-buru melakukan studi kelayakan untuk mengembangkan rute ”sekuel” Whoosh sampai Surabaya. China menimbang waktu satu tahun untuk evaluasi. Cukup keretanya saja yang melaju cepat, studi kelayakan tetap harus tepat.

Penantian panjang Indonesia untuk memiliki kereta cepat yang bisa menandingi Shinkansen milik Jepang akhirnya tercapai. Mulai Rabu (18/10/2023) pekan ini, masyarakat sudah bisa menaiki Whoosh, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, dengan membayar tiket promo seharga Rp 300.000 untuk semua rute.

Tak berlama-lama, pemerintah bersiap memperpanjang rute Whoosh hingga Surabaya melalui jalur selatan Jawa. Kerja sama dengan China melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) pun kembali dilirik. Bertepatan pula, pekan ini sedang diadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRI di Beijing, China.

Presiden Joko Widodo sudah dijadwalkan menghadiri KTT BRI dan menegosiasikan kelanjutan kerja sama pembangunan kereta cepat antarkedua negara. Menurut rencana, Indonesia akan melobi Pemerintah China agar bersedia memperbaiki struktur kerja sama serta bunga pinjaman yang lebih terjangkau untuk menggarap proyek sekuel Whoosh itu.

Direktur Institute of International Affairs Renmin University of China Wang Yiwei, yang bertindak sebagai anggota panel penasihat bagi Kementerian Luar Negeri China, menilai, Indonesia perlu bertahap melakukan rencana pengembangan kereta cepat Whoosh.

”Whoosh ini hanya permulaan. Dua hari lagi (Rabu) akan ada penjualan tiket perdana. Mari kita lihat dulu seperti apa itu berjalan. Pelajaran penting yang kami dapat dari pengalaman mereformasi dan membuka diri ke dunia adalah reformasi itu harus dilakukan bertahap,” katanya dalam jumpa pers Public Diplomacy Advisory Panel of Foreign Affairs of China, di Jakarta, Senin (16/10/2023).

Menurut dia, Pemerintah China akan terlebih dahulu mengevaluasi berjalannya Kereta Cepat Jakarta-Bandung selama satu tahun ke depan, sebelum membahas potensi melanjutkan proyek pembangunan sampai Surabaya.

Berhubung PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang mengampu proyek kereta cepat adalah usaha gabungan antara badan usaha milik negara (BUMN) Indonesia dan BUMN China, perencanaan ke depan untuk mengembangkan Whoosh akan tetap dibahas bersama.

”Proyek ini, kan, joint venture. 60 persen kepemilikannya adalah BUMN Anda, 40 persennya adalah BUMN China. Jadi, dalam semua tahapan, China pasti akan tetap berkonsultasi dengan Indonesia terkait langkah-langkah pengembangan proyek ini,” tuturnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/UPir8dUK5unL8rmFoyar637wBCM=/1024x574/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F15%2F85817225-18cd-48cb-8157-f9c8fe389952_png.png

Sesuai mekanisme pasar

Setelah proyek Whoosh dirampungkan dengan pembengkakan biaya hingga 20 persen di atas estimasi awal dan bunga pinjaman yang tinggi, muncul kekhawatiran Indonesia masuk dalam jebakan utang (debt trap) China. Apalagi, proyek itu akhirnya tetap membawa-bawa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai jaminan utang proyek.

Lantas, apakah skema pembiayaan untuk kereta cepat Jakarta-Surabaya ke depan akan lebih ”bersahabat”? Wang Yi menolak menjawab detail. Namun, ia mengatakan, skema BRI yang sifatnya bisnis ke bisnis selalu berlandaskan mekanisme pasar.

”Jadi, soal bunga pinjaman apakah bisa lebih rendah atau tidak, itu bagian dari analisis keuangan di pasar saja. Let business be business. Hal terpenting sekarang ini adalah mari kita test drive satu tahun ke depan ini bagaimana, baru kita lihat ke depan mau seperti apa,” katanya.

Ia menolak anggapan yang sering muncul bahwa China menjebak negara-negara berkembang dalam jebakan utang melalui skema BRI. Menurut dia, pinjaman dari China itu dipakai untuk tujuan produktif sehingga negara berkembang lambat laun akan memetik manfaatnya meski butuh waktu cukup panjang untuk itu.

 

”Semua proyek BRI melalui negosiasi mendalam antara Pemerintah China dengan pemerintah negara berkembang. Tidak ada yang memaksa. Kalau dukungan dari China selalu dianggap sebagai debt trap, ini justru hinaan untuk negara-negara berkembang. Memangnya ratusan negara (penerima BRI) sebodoh itu sehingga mau masuk dalam jebakan China?” kata Wang Yi.

Sebelumnya, proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung membengkak (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS atau Rp 17,8 triliun dari estimasi awal. Bank Pembangunan China (CDB) pun mematok bunga pinjaman sebesar 3,4 persen, lebih tinggi dari ekspektasi pemerintah, yaitu 2 persen. Tidak hanya itu, pemerintah diminta menjamin pembayaran cicilan itu melalui APBN melalui PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero).

Belajar dari kesalahan

Direktur Studi China-Indonesia Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Zulfikar Rakhmat saat dihubungi terpisah mengingatkan agar pemerintah tidak tergesa-gesa dan mengulangi kesalahan yang sama seperti sebelumnya.

Belajar dari pengalaman saat mempersiapkan Whoosh, studi hanya dilakukan empat bulan dari Mei-Agustus 2015. Imbas dari tahap persiapan yang serba cepat itu adalah molornya proyek pembangunan sampai lima tahun dari sedianya tahun 2019 menjadi 2023.

Banyak problem mendasar, seperti urusan pembebasan lahan yang tidak diperhitungkan matang-matang saat tahap studi kelayakan, yang membuat proyek tertunda lama. Ada pula faktor yang sulit diperkirakan, seperti pandemi Covid-19 pada 2020-2021.

Akhirnya, terjadi pembengkakan biaya hingga lebih dari 20 persen. Indonesia pun mau tidak mau menuruti permintaan China untuk memakai APBN sebagai jaminan utang Kereta Cepat Jakarta Bandung. Padahal, skema proposal awal yang ditawarkan China tidak melibatkan APBN sama sekali karena proyek kerja sama tersebut murni bersifat bisnis ke bisnis.

Hal ini memunculkan kekhawatiran dari banyak pihak mengenai ”jebakan utang” yang bisa memberatkan keuangan negara untuk jangka waktu panjang.

”Kita harus lebih berhati-hati, jangan buru-buru, karena akar masalah kita dulu adalah feasibility studies terlalu singkat, ditambah pemerintah tidak berani nego, selalu merasa tidak punya posisi tawar. Padahal, bukan hanya kita yang butuh China, China juga butuh kita,” katanya.

https://cdn-assetd.kompas.id/33d-ThEV6CEzeL_s4ZK0xV7N3n0=/1024x759/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F15%2F86398dee-527e-45f8-ae96-5623f27057e8_png.png

Untuk proyek ”sekuel” ke Surabaya, menurut dia, pemerintah perlu tegas di awal dalam menegosiasikan kontrak kerja sama. Pertama, lobi-lobi terkait besaran bunga pinjaman perlu lebih berani. Kedua, pemerintah perlu tegas untuk tidak kembali membebani APBN sebagai penjamin utang proyek. Ketiga, tidak terburu-buru melakukan studi kelayakan.

Berdasarkan penelitian Celios, selama satu dasawarsa terakhir, utang Indonesia kepada China terus bertambah. Utang luar negeri Indonesia ke Negeri Tirai Bambu itu pada 2022 mencapai 20,225 miliar dollar AS atau setara Rp 315,1 triliun. Padahal, satu dekade sebelumnya, utang RI ke China tercatat di bawah 10 miliar dollar AS.

”Namun, kita masih jauh dari jebakan perangkap utang, tidak sampai seperti negara lain. Yang penting, kita harus berani dalam bernegosiasi, jangan merasa lemah duluan dan jangan terlalu terburu-buru,” kata Zulfikar.