LEMBAGA pengelola zakat di Indonesia sebagian besar tumbuh dan mampu melakukan keberlanjutan wakaf. Misalnya Lazis Muhammadiyah.

Bendahara Pimpinan Pusat Muhammadiyah Hilman Latief menyatakan, lembaga filantropi tersebut memiliki nazir wakaf yang mumpuni dalam menjaga keberlanjutan wakaf. Hal itu disampaikan Hilman dalam webinar hybrid bertajuk Wakaf Uang dan Diaspora Indonesia yang diselenggarakan Pusat Studi Islam, Perempuan dan Pembangunan Institute Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta, bersama Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Jerman Raya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Berlin, Sabtu (9/9)

Selain keberlanjutan wakaf, Hilman menekankan pengelolaan wakaf juga harus mendapat atensi yang besar sehingga dapat diperuntukkan untuk keberlanjutan sosial entrepreneurship dan lainnya. 

"Saya optimis filantropi di Indonesia akan bertumbuh, pertanyaan pentingnya adalah menjaga sustainable/keberlanjutan, maka wakaf penting untuk keberlanjutan sosial entrepreneurship, karena wakaf juga bermakna spiritual yakni nilai-nilai kesolehan. Ekspansi wakaf umumnya ke masjid, musholah, madrasah/sekolah, dan makam. Itu tidak salah, tetapi bagaimana kita membingkainya dengan sosial entrepreneurship," ucap Hilman Latief, yang juga merupakan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI.

Keberadaan green wakaf, dikatakan Hilman, juga turut memberikan fleksibilitas bagi nazhir wakaf untuk mengelolanya misalnya membuat temuan baru termasuk program pemberdayaan perempuan.

Ia menyebut keberadaan wakaf uang bisa menjadi solusi pemberdayaan perempuan, misalnya program revitalisasi desa yang melibatkan perempuan. Termasuk tanah wakaf dikelola perempuan sebagai green wakaf bernilai produksi pertanian atau peternakan. 

"Lalu apa yang kita imajinasikan tentang pemberdayaan perempuan, apakah direct impact, direct project, apakah pemberdayaan perempuan tidak beririsan dengan green wakaf misalnya pertanian, peternakan, UMKM. Apakah Perempuan sebagai pelakunya, atau bagaimana? ini harus didefinisikan. Sehingga nanti bisa terpetakan mana yang direct impact, mana yang in-direct impact dari wakaf itu bagi pemberdayaan perempuan sebagaimana tema diskusi kita malam ini. Maka penting melakukan simulasi, kira-kira berapa jumlah dana wakaf uang itu untuk pemberdayaan perempuan? dan berapa lama waktu yang dibutuhkan agar dana terkumpul? Apakah 2 tahun cukup?" paparnya.

Selaras dengan Hilman, Dosen Ekonomi Syariah UIN Jakarta Yuke Rahmawati menyatakan optimis bahwa pengembangan instrumen wakaf dapat menjadi media kebaikan dan kedermawanan dalam rangka menjaga stabilitas sosial ekonomi masyarakat. Terutama bagi pemberdayaan ekonomi perempuan tulang punggung keluarga.

"Pengembangan instrumen wakaf dalam rangka menjaga stabilitas sosial ekonomi masyarakat, terutama bagi pemberdayaan ekonomi perempuan tulang punggung keluarga adalah suatu hal yang dapat direalisasikan dan diupayakan sebagai alternatif pemanfaatan harta benda yang menjadi amal shalih dan jariyah kelak," ucap Yuke. 

Apalagi, dijelaskan Yuke, dalam UU No 41 tahun 2004 tentang wakaf, dan PP No 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU No 41 tahun 2004 tentang wakaf, ditetapkan bahwa uang boleh diwakafkan secara temporer. Begitupun dalam surat Al-Maun, ditegaskan bahwa tindakan nyata yang baik, seperti memberikan makan orang miskin dan merawat yatim piatu, adalah bagian penting dari kehidupan seorang Muslim dan merupakan bagian integral dari keimanan. 

"Surat Al-Maun merupakan pengingat penting dalam al-Quran tentang pentingnya moralitas, empati, dan kepedulian terhadap sesama manusia sebagai bagian dari keagamaan dan iman yang sejati dalam Islam. Selain itu, surat ini mengecam orang-orang yang hanya mengejar kepentingan kepentingan pribadi mereka sendiri dan tidak peduli terhadap kesejahteraan orang lain," tegas Sekretaris Pimpinan Daerah 'Aisyiyah Kota Tangerang Selatan ini.

Sementara itu, Wakil Rektor 1 IAIN Metro Lampung Suhairi mengungkapkan sejumlah problematika funding wakaf uang di Indonesia. Ia menyoroti profesionalisme nazhir dalam pengelolaan wakaf. 

Menurutnya apabila nazhir tidak bekerja secara profesional, maka pengelolaan wakaf menjadi kurang maksimal. Ia pun mendorong agar pengelola wakaf bisa bekerja lebih profesional dan maksimal.

"Dalam pasal 53 PP, nazhir wakaf itu berhak memperoleh pembinaan dari Menteri dan BWI. Kemudian pasal 55 PP, pembinaan kepada nazhir itu wajib dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun," ucap Suhairi mengingatkan. 

Selain itu, ia menyoroti adanya pembebanan tugas yang berlebihan bagi lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang, kemudian minimnya sosialisasi dan materi dakwah tentang wakaf uang. Sehingga masyarakat kurang memiliki pemahaman dan kesadaran untuk melakukan wakaf uang.

Sebagai informasi, kegiatan ini dihadiri oleh Duta Besar Republik Indonesia untuk Federal Jerman, Dr. Arif Havas Oegroseno, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2015 Prof. Din Syamsuddin, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Abdul Mu'ti, Dewan Pakar Majelis Pemberdayaan Wakaf Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Raditya Sukmana, Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Jerman Raya, dr. Diyah Nahdiyati, Rektor Institute Teknologi (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta, Dr. Mukhaer Pakkanna, SE, MM, Ketua Lembaga Seni Budaya dan Peradaban Islam (LSBPI) MUI, Habiburrahman El Shirazy dan sejumlah tokoh lainnya.

Kegiatan yang dihadiri lebih dari ratusan peserta online dari berbagai provinsi. Di antaranya melakukan nonton bareng zoom seperti komunitas IMM UIN Jakarta dan BEM ITB Ahmad Dahlan Jakarta serta puluhan peserta offline dari berbagai kota di Jerman ini berlangsung kurang lebih selama tiga jam. Para peserta baik offline maupun online mendapatkan buku gratis "Wakaf Uang untuk Pemberdayaan Perempuan Tulang Punggung Keluarga”, yang merupakan hasil kajian tim PSIPP ITBAD Jakarta dan digawangi oleh Yulianti Muthmainnah selaku Ketua PSIPP ITBAD Jakarta dan sejumlah akademisi kompeten lainnya. (Z-10)