JAKARTA, KOMPAS — Korupsi telah banyak diyakini sebagai perusak utama struktur sosial, ekonomi, dan politik Indonesia. Alih-alih memperberat hukuman koruptor untuk menimbulkan efek jera, kini, Indonesia menghadapi pelemahan pemberantasan korupsi. Kompas/Lasti Kurnia Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Aradila Caesar (dari kiri ke kanan), peneliti hukum dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, dan peneliti ICW Lalola Ester dalam keterangan pers menyoal rencana pemerintah untuk merevisi PP No 99/2012 yang memperketat narapidana korupsi, terorisme, dan narkoba mendapat remisi di kantor ICW, Jakarta, Sabtu (13/8). ICJR dan ICW menilai draf revisi Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan mempermudah koruptor mendapatkan remisi atau pemotongan hukuman sehingga menghilangkan ketentuan soal "justice collaborator". Pelemahan upaya pemberantasan korupsi dan menjadikannya bukan lagi kejahatan luar biasa terindikasi dari banyak hal. Rata-rata hukuman untuk koruptor makin singkat. Partai politik sebagai produsen pejabat publik, kini, tak sungkan menjadikan mantan narapidana perkara korupsi sebagai pengurus partai. Mantan narapidana juga bisa langsung mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, saat ini, tengah mendorong revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Revisi PP No 99/2012 itu dikhawatirkan akan memudahkan pemberian remisi bagi koruptor karena menghilangkan syarat berstatus justice collaborator atau pelaku kejahatan yang membongkar kejahatan. Pada saat sama, wacana revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi yang ditengarai sebagai upaya melemahkan pemberantasan korupsi juga belum sepenuhnya dihentikan. Sementara itu, dengan dalih penerapan keadilan restoratif, ada Surat Edaran Jaksa Agung RI B-113/F/Fd.1/05/2010 yang meminta jaksa tidak melanjutkan pengusutan kasus korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp 50 juta jika uang yang dikorupsi sudah dikembalikan. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Sabtu (10/9), di Jakarta, mengatakan gusar dengan kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada koruptor. Padahal, korupsi penyebab utama makin senjangnya jurang antara orang kaya dan miskin. Pasalnya, korupsi menghilangkan kesempatan setara. Mengutip laporan Bank Dunia Indonesia’s Rising Divide akhir 2015, Laode mengingatkan, 1 persen orang kaya Indonesia menguasai sekitar 50 persen kekayaan Indonesia Kegusaran ini juga terekam dalam jajak pendapat Litbang Kompas. Sebanyak 65,3 persen responden menilai praktik korupsi semakin parah. Hal ini, antara lain, karena menurut 92,2 persen responden, vonis terhadap koruptor belum memberikan efek jera. Korupsi politik Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko menuturkan, yang terjadi di Indonesia adalah korupsi politik. Kekuatan politik berupaya memengaruhi proses kebijakan publik agar mereka tidak terjerat hukum atau mendapatkan hukum yang ringan jika harus terjerat hukum. Dadang khawatir, dorongan Presiden Joko Widodo soal anti kriminalisasi kebijakan juga disalahgunakan orang tak bertanggung jawab sehingga dijadikan pintu masuk politik impunitas. Pada saat sama, partai juga terang-terangan memberikan kesempatan kepada kadernya yang pernah terjerat korupsi. Hal ini, misalnya, terlihat di Partai Golkar, yang dalam struktur kepengurusan 2016-2019 menempatkan orang yang pernah dihukum karena perkara korupsi dalam kepengurusan. Ketua Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Yorrys Raweyai menuturkan, keputusan memasukkan kader yang bermasalah hukum dalam kepengurusan Golkar sempat jadi perdebatan di internal partai. Dari perspektif hukum, seorang kader yang melakukan korupsi tetapi telah menjalani masa hukuman memang diperbolehkan kembali aktif berpolitik. Namun, dari perspektif moral dan etika, kader itu telah melakukan kejahatan luar biasa. ”Memang dilematis, tetapi kami harus konsisten dengan aspek hukum yang sudah pasti. Mereka sudah menjalani hukuman. Sementara kalau aspek politik, moral, dan etika, itu persoalan opini,” kata Yorrys.   Kompas/Wisnu Widiantoro Kompas/Rony Ariyanto Nugroho Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan mengatakan, partai tidak bisa mencabut hak politik anggotanya yang telah melakukan korupsi, kecuali ada putusan pengadilan yang memerintahkan pencabutan hak politik. Dengan pertimbangan ini, Partai Demokrat tidak bisa memecat mantan anggota DPR Putu Sudiartana dari keanggotaan partai meski yang bersangkutan telah ditangkap KPK pada Juni lalu. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti, mengatakan, partai selalu mencari celah untuk membenarkan perilaku korupsi. Caranya, dengan berlindung pada dalil hak konstitusional seseorang untuk berpolitik atau dengan membenarkan beberapa jenis praktik politik uang, seperti uang transportasi dan konsumsi saat kampanye. Pola pikir Jaksa Agung HM Prasetyo menuturkan, kesamaan pola pikir di penegak hukum menjadi kunci tajamnya pemberantasan korupsi. ”Jaksa berupaya menangani perkara dengan mengajukan tuntutan tinggi, tapi di pengadilan hasilnya kadang lain,” tuturnya. Contohnya, kasus penyelewengan dana bantuan sosial dengan terdakwa Wakil Bupati Cirebon Tasiya Soemadi. Jaksa menuntut Tasiya pidana penjara 9 tahun. Namun, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung memutus bebas. Sebelumnya, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung juga memutus bebas mantan Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin alias Yance. Akan tetapi, yang bersangkutan akhirnya dinyatakan bersalah dan divonis pidana 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta oleh Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Konstitusi, seperti terkait perluasan obyek praperadilan, juga memberatkan kinerja penegak hukum, termasuk kejaksaan. Prasetyo menuturkan, secara internal pihaknya terus mengevaluasi jaksa yang menangani kasus korupsi. ”Penegak hukum tidak boleh ditunggangi kepentingan apa pun,” ujar Prasetyo. Terkait ini semua, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi SP menuturkan, pemerintah sedang menyiapkan paket reformasi bidang hukum, yang antara lain dimaksudkan untuk memperkuat penanganan kasus korupsi. Paket itu, kini, dalam penyelesaian di tingkat kementerian dan lembaga negara. (GAL/AGE/REK/IAN/NDY/APA) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 September 2016, di halaman 1 dengan judul "Penindakan Korupsi Melemah".