JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Konstitusi, Senin (16/10/2023) menolak gugatan Partai Solidaritas Indonesia yang menginginkan agar usia calon presiden dan calon wakil presiden diturunkan dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Sebelumnya, PSI menguji konstitusionalitas norma syarat usia capres dan cawapres minimal 40 tahun yang diatur di dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
MK juga menolak permohonan pengujian usia minimal capres dan cawapres yang diajukan oleh Partai Garuda dan lima kepala daerah yang meminta agar MK menambahkan frasa “atau berpengalaman sebagai penyelenggara negara” ke dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Dalam putusan yang menolak permohonan PSI, Mahkamah Konstitusi mendasarkan pandangan pada original intent Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 dan putusan-putusan MK sebelumnya terkait usia bagi jabatan publik, yang seluruhnya menyatakan bahwa hal itu menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengaturnya atau open legal policy.
MK tidak menemukan adanya persoalan konstitusional dalam pengaturan syarat usia capres dan cawapres sebagai alasan untuk mengambil alih kewenangan pemerintah dan DPR tersebut.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan mengungkapkan original intent UUD 1945 dan perubahannya menuturkan, MK membuka risalah rapat panitia ad hoc (PAH) khususnya yang membahas tentang persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden. Dia mengatakan, berdasarkan penelusuran dan pelacakan kembali secara seksama risalah perubahan UUD 1945 di atas, Mahkamah menemukan fakta hukum bahwa mayoritas pengubah UUD 1945 atau fraksi di MPR pada waktu itu berpendapat usia minimal Presiden adalah 40 tahun.
Namun, dengan alasan antara lain persoalan usia di kemudian hari dimungkinkan adanya dinamika dan tidak ada patokan yang ideal, sehingga jangan sampai karena persoalan usia padahal telah memenuhi persyaratan yang diatur dalam UUD, tidak dapat mendaftarkan diri sebagai Presiden, maka pengubah UUD bersepakat untuk penentuan persoalan usia diatur dengan undang-undang.
"Dengan kata lain, penentuan usia minimal presiden dan wakil presiden menjadi ranah pembentuk undang-undang,” kata hakim konstitusi Arief Hidayat dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU MUSTIKA
Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan putusan perselisihan hasil pemilihan umum legislatif di Gedung MK, Jakarta, Selasa (6/8/2019).
MK juga menilai tidak tepat dalil pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 169 Huruf q UU Pemilu bertentangan dengan konvensi ketatanegaraan dengan mengambil praktik jabatan kepala pemerintahan yang pernah dijabat Sutan Sjahrir di usia 36 tahun. Sebab, hal tersebut dilakukan tidak secara berkelanjutan, sehingga tak dapat dianggap dan dikategorikan sebagai kebiasaan ketatanegaraan atau konvensi yang diterima dan diakui dalam praktik penyelenggaraan negara.
Apalagi, pengangkatan Perdana Menteri merupakan praktik dalam sistem pemerintahan parelementer sedangkan pemohon mempersoalkan batas usia capres dan cawapres dalam sistem presidensial. Begitu pula dengan dalil pemohon yang menyatakan bahwa batas usia minimal capres dan cawapres 40 tahun melanggar kelembagaan triumvirate (Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan).
Namun, menurut MK, dalil itu tak beralasan hukum karena kedudukan menteri-menteri triumvirate tersebut bukanlah presiden dan wapres definitif. Namun, hanya sebagai pelaksana tugas kepresidenan sampai terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR dalam sidang memilih Presiden dan Wakil Presiden (vide Pasal 8 Ayat (3) UUD 1945).
“Dengan demikian, tidak terdapat korelasi mengaitkan batas minimal usia Presiden dan Wakil Presiden dengan ketiadaan pengaturan batas usia minimal Presiden dan Wakil Presiden,” tegas Arief Hidayat.
Meskipun dalam sejumlah putusannya MK selalu menyatakan persoalan usia merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, tetapi hal tersebut tidak membuat MK lantas tidak bisa menyimpanginya. Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan, MK telah memberikan pengecualian jika ada persoalan konstitusionalitas di dalamnya.
Dengan kata lain, penentuan usia minimal presiden dan wakil presiden menjadi ranah pembentuk undang-undang.
Di antaranya, apabila pembentuk undang-undang melampaui dan menyalahgunakan kewenanganannya, serta nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan dalam UUD Untuk alasan tersebut, MK tidak menemukannya sebab ada fakta hukum bahwa pengubah UUD menyatakan bahwa ihwal persyaratan dimasukkan ke dalam materi yang diatur di dalam UUD.
“Sehingga norma Pasal 169 Huruf q UU 7/2017 merupakan materi undang-undang yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945,” ujar Saldi.
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
Hakim Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Saldi Isra dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung MK, Jakarta, Rabu (26/7/2023).
Adapun alasan kedua yang membuat MK bisa menyimpangi open legal policy adalah jika Pasal 169 Huruf q UU 7/2017 bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. PSI mendalilkan bahwa ketentuan tersebut diskriminatif terhadap warga yang berusia kurang dari 40 tahun.
Namun, Saldi mengungkapkan, dengan logika yang sama, maka menurunkan syarat usia capres dan cawapres menjadi 35 tahun juga dapat dinilai sebagai bentuk pelanggaran moral, ketidakadilan, dan diskriminatif terhadap orang yang berusia di bawah 35 tahun terutama bagi yang mereka yang sudah memiliki hak untuk memilih.
“Oleh karena itu, Mahkamah tidak dapat menentukan batas minimal bagi calon presiden dan calon wakil presiden karena dimungkinkan adanya dinamika di kemudian hari. Selain itu, jika Mahkamah menentukan maka fleksibilitasnya menjadi hilang dan dapat memicu munculnya berbagai permohonan terkait dengan persyaratan batas minimal usia jabatan publik lainnya ke Mahkamah Konstitusi,” tegas Saldi Isra.
Dua hakim konstitusi mengajukan dissenting opinion atau pendapat berbeda, yaitu Suhartoyo dan Guntur Hamzah, Suhartoyo menilai PSI tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk mempersoalkan syarat usia capres dan cawapres. Karena itu, permohonan tersebut seharusnya tidak diterima.
Sementara itu, Guntur Hamzah menyatakan Pasal 169 Huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu seharusnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah menduduki jabatan yang pemilihannya dilakukan melalui pemilu seperti kepala daerah."
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Guntur Hamzah saat disahkan menjadi Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi saat Rapat Paripurna ke-7 Masa Sidang 1 Tahun Sidang 2022-2023 di Ruang Sidang Paripurna DPR RI, Jakarta, Kamis (29/8/2022).
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Mikhail Gorbachev Dom mengaku kecewa dan memandang patokan usia 40 tahun sebagai suatu kemunduran. Sebab, dua undang-undang pemilu sebelumnya mengakomodasi usia minimal untuk capres-cawapres yakni 35 tahun.
”Doakan kami bisa menang dan lolos ke DPR agar revisi UU Pemilu bisa mengakomodasi kepentingan anak-anak muda,” tuturnya.
MK juga menolak permohonan yang diajukan oleh Partai Garuda dan lima kepala daerah (Walikota Bukittinggi Erman Safar, Wakil Bupati Lampung Pandu Kesuma Dewangsa, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestiano Dardak, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor, dan Wakil Bupati Mojokerto Muhammad Albarraa). Mereka meminta agar MK menambahkan frasa “atau berpengalaman sebagai penyelenggara negara” ke dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Pukul 13.00-14.00, MK masih menskors pembacaan putusan. Masih ada tiga perkara serupa lagi yang belum dibacakan. Salah satunya perkara 90/PUU-XXI/2023 yang meminta MK untuk menambahkan frasa “atau berpengalaman sebagai kepala daerah” yang diajukan oleh salah satu mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret.