JAKARTA, KOMPAS – Setelah memutus uji materi syarat usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), Mahkamah Konstitusi akan membacakan putusan terkait gugatan syarat usia maksimal kandidat peserta pemilihan presiden pada Senin (23/10/2023). MK kembali diminta tetap konsisten dengan menyatakan bahwa persoalan usia capres dan cawapres merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang menjadi ranah pembentuk undang-undang.

MK juga diingatkan untuk tidak mencampuri persoalan syarat usia capres dan cawapres karena dikhawatirkan akan menimbulkan kontroversi dan kegaduhan. Hal itu juga berpotensi menciptakan situasi menjadi tidak kondusif bagi penyelenggaraan Pemilu 2024.

Mengacu pada jadwal persidangan di laman MK, sembilan hakim konstitusi akan menjatuhkan putusan terhadap perkara yang diajukan Wiwit Ariyanto dkk yang teregister dengan nomor 102/PUU-XXI/2023 pada 23 Oktober 2023. Para pengacara yang tergabung dalam Aliansi ’98 Pengawal Demokrasi dan HAM tersebut mempersoalkan Pasal 169 Huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang tidak mengatur batas maksimal bagi usia capres dan cawapres. Mereka meminta MK menambahkan aturan batas atas usia capres dan cawapres, yakni paling tinggi 70 tahun pada saat proses pemilihan berlangsung.

Masalah penetapan usia dalam jabatan apa pun merupakan ranah pembentuk undang-undang, yakni Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Persoalan usia juga bukan isu konstitusional mengingat berapa pun batas usia yang ditetapkan tidak bertentangan dengan UUD.

Selain perkara tersebut, MK juga akan memutus perkara yang diajukan oleh Rudy Hartono (perkara nomor 107/PUU-XXI/2023), Gulfino Guevarrato (perkara nomor 104/PUU-XXI/2023), Guy Rangga Boro (perkara nomor 93/PUU-XXI/2023), dan Riko Andi Sinaga (perkara nomor 96/PUU-XXI/2023). Seluruh perkara itu juga menyoal usia capres dan cawapres. Ada yang meminta agar MK menetapkan batas atas usia capres dan cawapres 65 tahun, ada pula 70 tahun.

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan, masalah penetapan usia dalam jabatan apa pun merupakan ranah pembentuk undang-undang, yakni Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Persoalan usia juga bukan isu konstitusional mengingat berapa pun batas usia yang ditetapkan tidak bertentangan dengan UUD 1945, dengan catatan seseorang sudah dewasa menurut hukum.

Karena itu, MK diminta memegang teguh asas tersebut agar tidak menciptakan putusan kontroversial dan problematik. Sebab, putusan MK bersifat final dan mengikat.

Ketua Tim Hukum Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra, tiba di ruang sidang sebelum dimulainya persidangan sengketa hasil pemilu presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 21 Juni 2019.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Ketua Tim Hukum Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra, tiba di ruang sidang sebelum dimulainya persidangan sengketa hasil pemilu presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 21 Juni 2019.

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu menegaskan bahwa pendapatnya sebagai akademisi seiring sejalan dengan pandangannya sebagai politisi. Ia bertugas untuk memastikan agar konstitusi dan hukum ditegakkan secara adil dan benar. ”Politik tetap harus berjalan di atas rel hukum dan konstitusi,” tegas Yusril, Jumat (20/10/2023).

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid mengemukakan, sudah sewajarnya MK menolak permohonan pengujian batas atas usia capres dan cawapres. Hal ini sebagai bentuk konsistensi mengawal konstitusi serta guna mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap MK.

Senada dengan Yusril, Hidayat sepakat, masalah syarat usia capres dan cawapres tidak diatur di dalam konstitusi dan merupakan open legal policy. ”MK jangan lagi ikut mencampuri hal ini karena bisa menimbulkan kontroversi dan kegaduhan yang mencederai kepercayaan publik terhadap netralitas MK,” katanya.

Apabila permohonan pengujian batas maksimal usia capres dan cawapres itu dikabulkan, menurut Hidayat, putusan tersebut menjadi sangat kontroversial. Sebab, MK akan dipandang secara politis akan mengganjal salah satu capres untuk maju dalam Pemilu Presiden 2024, yaitu bakal capres dari Koalisi Indonesia Maju, Prabowo Subianto, yang kini berusia 72 tahun.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Hidayat Nurwahid.

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Hidayat Nurwahid.

Wakil Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera itu juga khawatir, kegaduhan sosial politik dan hukum bakal terjadi jika MK mengabulkan uji materi syarat batas atas usia capres dan cawapres tersebut. ”Apabila itu terjadi, akan membuat tahun politik ini makin gaduh dan tidak kondusif untuk penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2024 yang tinggal empat bulan lagi,” ujarnya.

Pada Senin (16/10/2023), MK telah menolak permohonan uji materi syarat usia minimal capres dan cawapres seperti yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (perkara nomor 29/PUU-XXI/2023). PSI meminta MK menurunkan usia minimal calon menjadi 35 tahun dari 40 tahun seperti diatur dalam Pasal 169 Huruf q UU Pemilu.

Dalam putusan perkara nomor 29/2023, setelah membuka kembali risalah amendemen UUD 1945 pada tahun 1999-2002, MK menegaskan bahwa pengaturan mengenai syarat usia capres dan cawapres diserahkan kepada pembentuk undang-undang. MK pun menyatakan tidak dapat menentukan usia tertentu sebagai batas usia capres dan cawapres karena hal tersebut mengakibatkan fleksibilitasnya menjadi hilang. Padahal, dalam persoalan batas usia minimal capres dan cawapres, dimungkinkan adanya dinamika di kemudian hari.

Majelis Kehormatan MK

Saat ini, sejumlah pihak mendesak MK membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk menelusuri dugaan pelanggaran etik dalam penanganan tujuh perkara uji materi syarat usia minimal capres dan cawapres. Pembentukan MKMK juga merupakan perintah Pasal 27A Ayat (2) UU No 7/2020 tentang MK. Adapun susunan keanggotaan MKMK terdiri dari satu hakim konstitusi (aktif), satu tokoh masyarakat, dan satu akademisi berlatar belakang bidang hukum.

Salah satu spanduk aksi yang dibawa ratusan mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) saat menggelar demonstrasi menolak putusan Mahkamah Konstitusi di kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta, Jumat (20/10/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Salah satu spanduk aksi yang dibawa ratusan mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) saat menggelar demonstrasi menolak putusan Mahkamah Konstitusi di kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta, Jumat (20/10/2023).

Informasi yang dihimpun Kompas menyebutkan, MK sudah menunjuk mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie sebagai ketua MKMK dan Bintan R Saragih, yang merupakan anggota Dewan Etik MK tahun 2017-2020, sebagai anggota. Adapun hakim konstitusi aktif yang menjadi anggota MKMK ditetapkan berdasarkan pengaduan yang ditangani.

Juru Bicara MK Fajar Laksono Suroso mengungkapkan, saat ini MK sudah menerima setidaknya empat pengaduan dugaan pelanggaran etik dari masyarakat. Pengaduan itu, antara lain, berasal dari Denny Indrayana yang didaftarkan secara online dan Pergerakan Advokat Nusantara yang didaftarkan pada Rabu (18/10/2023).

”Yang dua lagi saya belum melihat fisiknya, tetapi sudah diterima MK. Masih dalam amplop tertutup, dari mana pengadunya saya belum tahu,” kata Fajar.

Sebelumnya, Pergerakan Advokat Nusantara bersama-sama dengan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mengadukan Ketua MK Anwar Usman atas dugaan pelanggaran etik dalam penanganan perkara nomor 29-51-55-90-91/PUU-XXI/ 2023 terkait pengujian Pasal 169 Huruf q UU Pemilu. Mereka mempersoalkan mengapa Anwar tidak mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara-perkara tersebut mengingat ada hubungan kekerabatan dengan pemohon, dalam hal ini dengan perkara nomor 29/2023 di mana Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep adalah kemenakannya.

Bukan hanya itu, Anwar juga dipersoalkan dalam perkara nomor 90/2023 di mana perkara tersebut terkait langsung dengan kemenakannya yang lain, Gibran Rakabuming Raka, yang diidolakan pemohon (Almas Tsaqibbirru Re A) untuk maju dalam kontestasi Pemilu 2024. Anwar dinilai memiliki konflik kepentingan dalam menangani perkara ini.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman keluar dari ruangan sidang saat hakim MK Saldi Isra (kiri) membacakan pendapat berbeda (<i>dissenting opinion</i>) atas putusan perkara uji materi syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden,  Senin (16/10/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman keluar dari ruangan sidang saat hakim MK Saldi Isra (kiri) membacakan pendapat berbeda (dissenting opinion) atas putusan perkara uji materi syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden, Senin (16/10/2023).

Selain itu, ada pula Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI). Ketua PBHI Julius Ibrani mengatakan, pihaknya menilai adanya kejanggalan dalam pemeriksaan hingga putusan nomor 90/2023.

PBHI mengadukan lima hakim konstitusi atas dugaan pelanggaran etik. Mereka adalah Anwar Usman, Manahan MP Sitompul, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P Foekh, dan Guntur Hamzah. Ada tiga aspek yang dilaporkan, yakni aspek administrasi pada perkara nomor 90/2023 dan nomor 91/2023 yang sebenarnya sudah ditarik oleh para pemohon meski kemudian penarikan itu dibatalkan. Menurut PBHI, perkara yang sudah ditarik tidak dapat diajukan kembali.

Aspek kedua terkait persoalan formil mengenai legal standing pemohon perkara nomor 90/2023 yang justru menggunakan profil Gibran, Wali Kota Surakarta, yang secara materiil terkait penambahan frasa ”pernah/sedang menduduki jabatan yang diperoleh melalui pemilu termasuk pilkada” di dalam amar putusan MK.

PBHI juga melaporkan perilaku salah satu hakim konstitusi yang dalam sebuah kuliah umum menyinggung perkara batas usia capres dan cawapres dengan mengaitkan dan mencontohkan adanya beberapa pemimpin muda di zaman Nabi Muhammad dan negara lain.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) berdiskusi dengan hakim MK Saldi Isra (kiri) saat sidang putusan uji materi UU Pemilu di MK, Jakarta, Senin (16/10/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) berdiskusi dengan hakim MK Saldi Isra (kiri) saat sidang putusan uji materi UU Pemilu di MK, Jakarta, Senin (16/10/2023).

Pengaduan dugaan pelanggaran etik juga disampaikan oleh Dewan Pimpinan Advokasi Rakyat untuk Nusantara (ARUN). Menurut ARUN, hakim konstitusi Saldi Isra diindikasikan telah melanggar etik karena pendapat berbeda (dissenting opinion) yang ia sampaikan dalam persidangan.

ARUN menilai, pendapat berbeda yang disampaikan Saldi telah membunuh karakter hakim konstitusi lainnya. Pendapat Saldi tersebut dinilai memengaruhi opini publik mengenai citra hakim konstitusi lainnya.

 
 
Editor:
ANITA YOSSIHARA