JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi akan kembali menguji aturan soal syarat usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan MK yang baru bisa membatalkan putusan MK sebelumnya. Apalagi, kini komposisi hakim yang memutus perkara juga berbeda.
Hal itu diungkapkan Ketua Majelis Kehormatan MK Jimly Asshiddiqie saat memimpin sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/11/2023). Pasalnya, kini, MK akan kembali menguji putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, yang memperbolehkan seseorang berusia di bawah 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres asal pernah atau sedang menjabat kepala daerah.
”Undang-undang yang sudah diputus oleh MK diuji lagi. Baru pertama ini ada permohonan uji terhadap putusan yang baru diputus. Dengan komposisi yang berbeda, putusannya bisa berubah,” ujarnya.
Brahma Aryana, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), memohon untuk menguji kembali Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang baru saja diputus oleh MK. Perkara bernomor 141/PUU-XXI/2023 tersebut akan diuji materi pada 8 November 2023.
KOMPAS/WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Menteri Sosial dan Politik Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Tegar Afriansyah (kanan) seusai sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, di Jakarta, Kamis (2/11/2023).
Dalam salah satu laporan ke Majelis Kehormatan MK, rekan Brahma meminta agar sidang uji materi tidak diikuti oleh Ketua MK Anwar Usman. Sebab, Anwar dinilai memiliki konflik kepentingan terhadap materi undang-undang yang akan diujikan.
Menurut Jimly, perkara uji materi itu bisa dimasukkan sebagai alat bukti dalam permohonan ke Majelis Kehormatan MK. Dengan demikian, putusan Majelis Kehormatan MK mengenai pelanggaran kode etik bisa menjadi pertimbangan saat uji materi, khususnya dalam perubahan komposisi majelis hakim.
Anwar Usman diduga melanggar kode etik karena ikut menyidangkan gugatan uji materi yang memuat keponakannya, Gibran Rakabuming Raka. Selain itu, terdapat keganjilan dalam putusan perkara nomor 90. Sebab, putusan perkara sejenis sebelumnya ditolak oleh majelis hakim karena tidak dihadiri oleh Anwar.
”Kami mengapresiasi saudara, tetapi belum tentu dikabulkan. Para pihak punya hak ingkar untuk tidak diperiksa oleh hakim yang tidak bisa dipercaya oleh para pihak. Maka, nanti majelis hakimnya cuma delapan, berubah komposisi,” tuturnya.
Rekan Brahma sekaligus pelapor perkara di MKMK, Tegar Afriansyah, meminta Majelis Kehormatan MK untuk memutus soal pelanggaran kode etik sebelum 8 November 2023. Ia menilai Anwar memiliki konflik kepentingan terhadap perkara 141/PUU-XXI/2023 yang akan diujikan.
Anwar Usman, kata Tegar, diduga melanggar kode etik karena ikut menyidangkan gugatan uji materi yang hasilnya menguntungkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, sehingga bisa maju di Pilpres 2024. Selain itu, terdapat keganjilan dalam putusan perkara nomor 90. Sebab, putusan perkara sejenis sebelumnya ditolak oleh majelis hakim karena tidak dihadiri oleh Anwar.
Sementara itu, putusan perkara nomor 90, yang ikut dihadiri Anwar, malah berujung pengabulan terhadap sebagian gugatan dari pemohon. Hal ini membuktikan MK secara terang-terangan mempertontonkan contoh yang tidak baik. Karena itu, tindakan tegas dibutuhkan terhadap Ketua MK yang juga selaku hakim konstitusi.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman saat memenuhi panggilan sidang etik dengan agenda pemeriksaan dirinya sebagai terlapor oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, di Gedung 2 Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (31/10/2023).
”Demi menghindari kerugian inkonstitusional, kami memohon agar Anwar Usman tidak diikutsertakan dalam sidang perkara 141/PUU-XXI/2023,” kata Menteri Sosial dan Politik Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unusia itu.
Adapun perkara nomor 141 berupaya untuk mengoreksi putusan MK pada perkara nomor 90. Apabila Anwar Usman tetap mengikuti sidang perkara 141, konflik kepentingan akan kembali terjadi. Keinginannya adalah kepala daerah yang dimaksud dalam putusan nomor 90 secara spesifik berlaku untuk gubernur/wakil gubernur.