”Saya enggak mau harga pesawat itu murah, tapi nyawa saya terancam. Tapi kalau terlalu mahal, juga saya enggak akan naik, sehingga ini harus ketemu. Kalau enggak, (masalahnya) akan begini terus.”

Oleh YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA

Sejumlah pesawat parkir di apron terminal internasional Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Senin (5/3/2012). Kebutuhan pesawat penumpang komersial di dunia terus meningkat.

Bahasan mengenai tarif batas atas pesawat mengemuka setelah mata uang rupiah mengalami pelemahan sejak Oktober lalu. Nilainya nyaris menembus Rp 16.000 per dollar AS pada pekan lalu. Meski kini rupiah mulai menguat ke level Rp 15.861 per dollar AS pada Jumat (3/11/2023) di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), dorongan untuk mengkaji tarif batas atas pesawat masih bergulir.

Pelemahan rupiah hanya satu dari beberapa tantangan yang dihadapi industri penerbangan. Perang Rusia-Ukraina, kemudian konflik Israel-Palestina yang masih berlangsung, menambah sederet masalah komunitas aviasi.

Menurut CEO Citilink Indonesia Dewa Rai, industri penerbangan menghadapi harga bahan bakar atau avtur yang meningkat, serta terganggunya rantai pasok global. Dampaknya, pelaku usaha berlomba-lomba mencari suku cadang pesawat yang jumlahnya terbatas.

”Banyak sekali pesawat di Indonesia, mungkin juga di seluruh dunia, masih tak dapat terbang (grounded). Pihak Airbus juga mengingatkan krisis rantai pasok global berlangsung hingga 2024, tetapi saya yakin, masih akan berlanjut sampai 2025 atau bahkan lebih,” ujar Dewa dalam CEO Talks ASEAN Connect: Aviation Strategy and Roadmap yang digelar Asosiasi Perusahaan Penerbangan Sipil Nasional Indonesia (INACA) di Jakarta, Kamis (2/11/2023).

Dalam kesempatan serupa, Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) Denon Prawiraatmadja mengatakan, faktor-faktor pendongkrak kenaikan harga bagi industri penerbangan di luar kontrol operator pesawat. Asosiasinya berdiskusi dengan sejumlah operator pesawat terbang, antara lain Garuda Indonesia dan Citilink Indonesia, berharap agar tarif batas atas bisa dikaji pemerintah.

”Usulan dari kami, kalau bisa tarif batas atas ditiadakan sehingga diserahkan pada mekanisme pasar,” katanya.

Selama ini, tarif batas atas tak berubah sejak 2019. Padahal, komponen-komponen pesawat hampir seluruhnya dibayarkan dengan dollar AS yang nilainya telah berubah seiring berjalannya waktu.

Mekanisme pasar yang menentukan harga berdasarkan permintaan dan penawaran dianggap sebagai metode yang efisien. Skema ini telah dilakukan di berbagai negara. Apalagi, pasar industri penerbangan tersegmentasi. Hanya sekitar 5 persen penduduk dari total populasi yang rutin menggunakan pesawat.

CEO Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, pihaknya ingin memberikan kebebasan pada masyarakat untuk memilih moda transportasi. Apabila keberatan menggunakan pesawat, masyarakat dapat memanfaatkan transportasi lain.

”Menjalankan bisnis penerbangan ini mahal. Avtur mahal, sewa pesawat mahal, gaji karyawan mahal,” ujarnya.

Hal terpenting, pemerintah dan pelaku usaha memberi pilihan transportasi bagi masyarakat. Jangan sampai publik tak diberi pilihan sehingga seolah-olah dijebak.

Pertimbangkan masyarakat terpencil

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, pemerintah tak mudah menciptakan satu solusi secara langsung. Daya beli masyarakat yang terbatas, khususnya di kawasan Indonesia bagian timur perlu dipertimbangkan.

”Kami tetap mengacu atau memperhatikan tarif batas atas ini, tapi mungkin tarif batas atas daerah tertentu yang diberlakukan, tidak semuanya,” kata Budi.

Pihaknya akan membuat disparitas penyesuaian harga, bergantung tujuan penumpang, tetapi pihaknya menilai tak semua masyarakat mampu menjangkaunya. Pihaknya sudah menerima banyak catatan terkait harga tiket yang tinggi. Di luar itu semua, hal terpenting yang bisa dilakukan saat ini adalah jumlah pesawat tercukupi dengan suku cadang tersedia maksimal.

”Sekarang pesawat yang parkir karena tak ada suku cadang itu banyak sekali. Nah, bagaimana kita membuat suku cadang itu ada, mendapatkan insentif, sehingga (suku cadangnya) dikerjakan di Indonesia, menghemat devisa, lalu juga memberikan pekerjaan di sini,” tuturnya.

Dari sisi maskapai, Irfan mengakui, peningkatan nilai dollar AS membuat maskapai penerbangan yang melayani rute-rute terpencil tertekan. Oleh karena itu, solusi lain perlu dipikirkan.

Pengamat penerbangan Gatot Rahardjo mengingatkan, jangan sampai maskapai diminta mengalah. Harga tiket yang rendah, sedangkan biaya operasional pesawat tinggi, akan berisiko mengorbankan keselamatan penumpang. Padahal, keselamatan penumpang wajib diproritaskan, baru kemudian diikuti aspek keamanan dan bisnis.

”Bisnis harus bisa menunjang keselamatan. Biaya keselamatan tinggi (karena) biaya perawatan (pesawat) memang tinggi,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (3/11/2023).

Menurut dia, kembali pada mekanisme pasar berdasar prinsip permintaan dan penawaran dalam penetapan tarif tiket dapat menciptakan kompetisi yang lebih sehat. Sebab, maskapai penerbangan berlomba-lomba memberi harga tinggi, tetapi tetap mempertimbangkan agar harga tetap terserap pasar.

”Kalau berlomba-lomba memberi harga tinggi, lalu enggak ada penumpang, kan, sama saja. Kalau seumpama memberi harga tinggi, tapi ada yang jual harga rendah, kan, mereka juga enggak laku,” kata Gatot.

Gatot mengatakan, skema mekanisme pasar juga dapat mendongkrak industri transportasi lainnya. Selama ini, tiket pesawat yang murah di Jawa mengganggu pasar bus dan kereta api. Begitu pula kapal untuk transportasi antarapulau.

Ketika masyarakat beralih, transportasi-transportasi lain akan memperbaiki kualitas serta pelayanannya. Biaya yang dikeluarkan akan sepadan dengan fasilitas yang didapat.

Apabila mekanisme pasar itu digunakan, lanjut Gatot, pemerintah perlu memperketat regulasinya guna mencegah praktik monopoli dan kartel antarmaskapai. Skema ini diharapkan akan membuat persaingan lebih kompetitif sehingga investor baru masuk. Persaingan tersebut perlu dikelola pemerintah.

Gatot menilai, struktur pasar penerbangan Indonesia saat ini masih dimonopoli satu kelompok maskapai yang menguasai 60-70 persen pangsa pasar. Hal ini menimbulkan persaingan tak sehat antarmaskapai.

Tarif batas bawah tetap perlu diatur agar maskapai tak saling banting harga. Apabila fenomena ini terjadi, monopoli tak terhindarkan. Selain itu, tarif ini juga menjaga maskapai agar tetap menjamin keselamatan penumpang dengan menjaga biaya perawatannya.

”Sekarang yang harus dilakukan adalah edukasi (ke masyarakat). Jika mau selamat, ya bayarlah aspek keselamatan. Jangan mau selamat, tapi enggak mau bayar atau bayar suka-suka. Kalau mau selamat dan nyaman, ya bayarlah,” tutur Gatot.

Berkaca dari industri transportasi darat, khususnya bus, mereka kini berlomba-lomba mengeluarkan armada nonekonomi yang menerapkan mekanisme pasar. Realitasnya, masyarakat yang biasa menikmati kelas ekonomi perlahan memilih bus eksekutif bahkan VIP karena pelayanannya meningkat.

Guna menengahi persoalan menjaga skema tarif batas atas atau mekanisme pasar, pemerintah perlu berdialog dengan maskapai penerbangan, asosiasi, dan perwakilan masyarakat. ”Saya enggak mau harga pesawat itu murah, tapi nyawa saya terancam. Tapi, kalau terlalu mahal, juga saya enggak akan naik sehingga ini harus ketemu. Kalau enggak, (masalah) akan begini terus,” kata Gatot.