Lalu lintas penumpang di ASEAN akan naik tiga kali lipat dalam 20 tahun mendatang. Indonesia jadi pasar terbesar. Namun konektivitasnya masih minimalis.

Oleh YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA

JAKARTA, KOMPAS – Indonesia merupakan pasar terbesar dengan pertumbuhan tertinggi dalam industri penerbangan di ASEAN. Pada 2030, pasarnya diperkirakan 390 juta penumpang dari dan di dalam Indonesia. Salah satu tantangannya, konektivitas masih minim.

Direktur Marketing Boeing Regional Asia Miyuru Sandaruwan mengatakan, tiap satu dari tiga penumpang di ASEAN berasal dari Indonesia pada semester I-2023. Jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai pemimpin pasar industri penerbangan di kawasan.

Secara statistik, Indonesia mendominasi pasar penerbangan di Asia Tenggara. Dalam skala global, industri penerbangan Indonesia bertengger di urutan ke-7 dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Prediksinya, setidaknya 390 juta penumpang akan terbang dari dan di dalam Indonesia pada 2037.

”Meski region (ASEAN) sedang tumbuh secara keseluruhan hingga 2030, Indonesia akan berlanjut jadi pasar terbesar di region,” ujar Miyuru dalam CEO Talks ASEAN Connect: Aviation Strategy and Roadmap yang digelar Asosiasi Perusahaan Penerbangan Sipil Nasional Indonesia (INACA) di Jakarta, Kamis (2/11/2023).

Hadir dalam acara itu, sejumlah narasumber antara lain Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, CEO Citilink Indonesia Dewa Rai, Area Manager Asia Tenggara International Air Transport Association Yuli Thompson, serta Direktur Komersial dan Jasa PT Angkasa Pura (AP) I Dendi T Danianto.

Meski demikian, tingkat perjalanan per kapita penduduk Indonesia masih tergolong rendah. Dari lebih 270 juta jiwa penduduk, tingkat perjalanan per kapita hanya 0,4. Ini lebih rendah dibandingkan Singapura dengan tingkat perjalanan 4,2 per kapita dari total 5,7 juta penduduk pada 2019.

Konektivitas Indonesia ke wilayah ASEAN juga masih terbatas. Padahal, mayoritas bandara besar di ASEAN yang menjadi pusat konektivitas berlokasi di sekitar Jakarta. Kota-kota di Indonesia selain Jakarta juga masih minim konektivitas ke kawasan ASEAN padahal permintaan terus tumbuh.

Salah satu contohnya, permintaan dengan perjalanan Bandara Juanda, Surabaya (SUB), ke Bandara Suvarnabhumi, Bangkok (BKK). Rata-rata 66 penumpang per hari sepanjang semester I-2023. Namun, sebanyak 65 persen penumpang berangkat dari Singapura, diikuti Kuala Lumpur (20 persen), dan Banten (11 persen).

Yuli Thompson memperkirakan lalu lintas penumpang naik tiga kali lipat di ASEAN dalam 20 tahun mendatang. Dia berharap, industri penerbangan akan pulih sepenuhnya pada 2025.

Penumpang domestik menyokong pemulihan industri penerbangan di setiap negara di ASEAN pada Januari-Agustus 2023. Indonesia berhasil pulih ke level 80 persen. Ini sedikit lebih tinggi dari capaian rata- rata negara ASEAN sebesar 79 persen.

https://cdn-assetd.kompas.id/SIVnrGsji_F0VMzZ-Y9cfIVp97A=/1024x1055/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F28%2Fa230050e-6e92-4b08-90c5-5252b0faae2f_png.png

Tambah Kapasitas

Guna mengakomodasi peningkatan pasar, AP I berupaya mengembangkan kapasitas bandara agar dapat melayani lalu lintas penumpang. Dalam 10 tahun terakhir, AP I memperluas bandara, dari 42 juta penumpang pada 2013 menjadi 135 juta penumpang tahun ini.

”Ada 48 persen peluang untuk meningkatkan kapasitas penumpang pada 2023. Anda tak perlu khawatir dengan slot bandara, kecuali Denpasar karena tumbuh lebih cepat dari yang kami kira. Namun, kami sedang mengembangkan bandara lain, termasuk Yogyakarta International Airport,” kata Dendi.

Di tengah fokus banyak pihak ke ranah ASEAN, Budi Karya berharap agar penerbangan dalam negeri tak melupakan masyarakat Indonesia yang tinggal di pelosok daerah. Bandara-bandara kecil perlu dihidupkan agar kepadatannya dapat sebanding dengan bandara besar. Sebab, pesawat tetap merupakan transportasi yang paling efisien mendongkrak produktivitas masyarakat, termasuk warga terpencil.

Industri penerbangan Indonesia yang prospektif di kawasan ASEAN masih menghadapi beberapa tantangan. Selain terpengaruh kondisi global, hal ini disebabkan persoalan dalam negeri yang perlu diperbaiki.

Dewa Rai mengatakan, Indonesia telah melewati masa-masa terburuk dalam sejarah penerbangan yang terpukul karena pandemi Covid-19. Pasar mulai pulih sehingga maskapai perlu siap mengakodomasi kondisi ini.

Namun badai belum berlalu. Kini industri penerbangan dihadapkan pada harga bahan bakar yang meningkat dan terganggunya rantai pasok global. Hal ini antara lain berdampak pada kelangkaan suku cadang pesawat.

”Banyak sekali pesawat di Indonesia, mungkin juga di seluruh dunia, masih tak dapat terbang (grounded). Pihak Airbus juga mengingatkan krisis rantai pasok global berlangsung hingga 2024, tetapi saya yakin, masih akan berlanjut sampai 2025 atau bahkan lebih,” kata Dewa.

Perang Rusia-Ukraina, serta konflik Israel-Palestina, turut mendongkrak harga bahan bakar. Meski tertekan, industri penerbangan diharapkan masih bisa tumbuh.

Berdasarkan data Kementerian Perhubungan hingga 26 Oktober 2023, Indonesia memiliki 584 unit pesawat udara yang digunakan untuk penerbangan niaga. Dari jumlah itu, hanya 419 unit yang beroperasi. Adapun 165 unit lainnya tak beroperasi.

Direktur Pembangunan Sektoral Komunitas Ekonomi ASEAN Sekretariat ASEAN Kanchana Wanichkorn menambahkan, fase pemulihan yang belum tuntas dari pandemi Covid-19 masih jadi isu. Selain itu, perubahan iklim juga menuntut industri penerbangan untuk memikirkan soal praktik keberlanjutan.

Dalam mempersiapkan diri menampung pangsa pasar terbesar di ASEAN, Indonesia harus memperbaiki beberapa komponen. Hal ini berlaku bagi seluruh pihak, seperti regulator, pihak bandara, serta maskapai penerbangan.

Butuh Investasi Besar

Menurut Yuli, sejumlah bandara butuh perbaikan dan pembaruan karena melayani penumpang melebihi kapasitas semestinya. Perbaikan bandara butuh investasi yang besar serta waktu yang panjang.

Berbagai pihak dapat berkoordinasi dengan maskapai sebagai salah satu solusinya. Maskapai pun butuh meningkatkan pengalaman penumpang. Selain itu, digitalisasi dapat membantu operasional bandara agar berjalan lebih efisien dan cepat mengatur lalu lintas penumpang dan pesawat.

”Kita tak butuh banyak staf untuk mengecek penumpang satu per satu. Kita butuh memperbarui seluruh sistem,” katanya.

Ambisi bersama mencapai emisi karbon nol (net zero emission) pada 2050, menurut Yuli perlu dipikirkan guna mendukung praktik keberlanjutan. Ketika permintaan perjalanan meningkat, produksi karbon juga akan bertambah.

Oleh karena itu, maskapai penerbangan harus mematuhi standar dan kewajiban praktik keberlanjutan yang makin kompleks pula. Maskapai penerbangan sebagai komunitas aviasi perlu bersiap menghadapi tantangan-tantangan tersebut.

Dari sisi maskapai, menurut Dewa, Citilink berencana menyediakan penerbangan malam seiring dengan peningkatan layanan di kawasan. Citilink juga akan memperluas cakupan ke rute-rute lain di ASEAN.

Saat ini, Citilink memiliki enam rute di kawasan Asia Tenggara. Selanjutnya, Citilink akan membuka rute-rute baru, antara lain ke Bangkok dan kota di Australia.

Kolaborasi antarmaskapai di ASEAN diyakini Dewa akan memperkuat fondasi dalam memperluas jejaring sehingga kawasan bisa menjadi hub bagi wilayah-wilayah lain. Kebijakan mengenai tarif perlu dikaji ulang regulator, sebab harga avtur dan rantai pasok suku cadang berdampak pada pengeluaran maskapai. (AVE)