Jatuhnya palu di tangan Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi pertama periode 2003-2008, dinanti jutaan rakyat Indonesia. Masyarakat menanti apakah palu itu akan berdampak pada perubahan peta politik jelang kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun depan atau sebaliknya tak berdampak dan membiarkan kontestasi diikuti oleh perwakilan dinasti Joko Widodo.
Palu di tangan Jimly itu juga bisa jadi menentukan masa hidup putusan 90/PUU-XXI/223 yang membuka pintu bagi Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo yang juga putra sulung Presiden, untuk menjadi bakal calon wakil presiden. Akahkah putusan 90 akan berakhir sore ini? Ataukah Jimly selaku Ketua Majelis Kehormatan MK membiarkan putusan tersebut tetap bernyawa meskipun dihasilkan dengan cara-cara yang oleh para pelapor etik disebut dilakukan dengan cara yang melanggar hukum dan moral.
Saat ini, ada 21 pihak yang secara riil menanti putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) karena berkepentingan langsung dengan putusan tersebut. Mereka adalah para pelapor yang mengadukan dugaan pelanggaran etik Anwar Usman, Saldi Isra, dan Arief Hidayat, serta hakim konstitusi yang lain ke MKMK.
Dari 21 laporan yang masuk ke MK, 10 laporan khusus mengadukan Ketua MK Anwar Usman.
Dari 21 laporan yang masuk ke MK, 10 laporan khusus mengadukan Ketua MK Anwar Usman terkait dengan dugaan konflik kepentingan (conflict of interest) dalam penanganan perkara 90 mengingat Anwar adalah ipar dari Jokowi alias paman dari Gibran. Selain laporan yang bersifat individual, Anwar juga diadukan bersama hakim lain dalam lima laporan. Dengan demikian, total yang mempersoalkan Anwar ada 15 pelapor.
Selain Anwar, hakim konstitusi yang dilaporkan secara pribadi adalah Saldi Isra dan Arief Hidayat (masing-masing tiga laporan). Mereka diadukan karena dissenting opinion atau pendapat berbeda mereka dalam putusan 90.
ANTARA/MUHAMMAD ADIMAJA
Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi.
Khususnya untuk laporan pelanggaran etik yang diduga dilakukan Ketua Anwar Usman, salah satu pelapor, guru besar hukum tata negara Denny Indrayana, memprediksi empat macam putusan yang mungkin dijatuhkan oleh MKMK.
Pertama, MKMK hanya akan menjatuhkan sanksi etik kepada hakim konstitusi yang terbukti melanggar etik. Khusus untuk Anwar Usman, Denny memprediksi MKMK akan menyatakan yang bersangkutan terbukti bersalah melakukan pelanggaran berat karena tidak mundur dari penanganan perkara 90. Dugaan adanya konflik kepentingan seperti yang diadukan mayoritas pelapor akan dinyatakan terbukti. Ia memprediksi Anwar akan diberhentikan dengan tidak hormat.
Baca juga: Majelis Kehormatan MK Temukan Masalah
Namun, MKMK tidak akan menyentuh putusan 90. Putusan tersebut dibiarkan saja hidup meskipun konflik kepentingan dalam penanganan perkara uji materi Pasal 169 Huruf q UU Pemilu yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A itu terbukti.
Kedua, MKMK akan menjatuhkan sanksi etik pemberhentian dengan tidak hormat ke Anwar Usman dan para hakim yang terbukti lainnya. Selain itu, MKMK akan menyatakan putusan 90 yang dijatuhkan pada 16 Oktober 2023 tidak sah.
”Putusan ini akan dianggap menabrak postulat hukum karena kewenangan MKMK hanya di wilayah etik saja. Namun, karena kerusakan putusan 90 itu luar biasa, maka MKMK akan menyatakan putusan 90 itu tidak sah dan langsung memperbaiki putusan,” kata Denny. Namun, peluang MKMK mengambil opsi ini sangat kecil.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Denny Indrayana
Kemungkinan ketiga, Anwar Usman akan dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian tidak hormat dan MKMK akan menyentuh putusan 90. MKMK akan meminta MK untuk memeriksa kembali perkara 90 dengan komposisi hakim yang baru, tanpa Anwar Usman. MK tidak perlu menggunakan permohonan baru uji materi terhadap Pasal 169 Huruf q UU Pemilu.
”MKMK akan menggunakan dasar Pasal 17 Ayat (6) dan Ayat (7) UU Kekuasaan Kehakiman, yaitu menyatakan hakimnya terbukti melanggar konflik kepentingan dan langsung memberikan sanksi seperti bunyi Ayat (6). Dan Ayat (7) memerintahkan pemeriksaan kembali perkara yang sama dengan yang sudah diputus sebelumnya tanpa hakim melibatkan yang memiliki konflik kepentingan,” kata Denny.
MKMK juga memberi tenggat untuk pemeriksaan ulang pengujian perkara 90 itu selama 1 x 24 jam.
Kemungkinan putusan MKMK yang terakhir adalah menjatuhkan sanksi ke Anwar Usman karena melakukan pelanggaran etik berat. Lalu, MKMK meminta MK untuk memeriksa kembali pengujian Pasal 169 Huruf q UU Pemilu tersebut melalui permohonan uji materi baru.
Kemungkinan ketiga, Anwar Usman akan dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian tidak hormat dan MKMK akan menyentuh putusan 90.
Saat ini sudah ada lima permohonan pengujian Pasal 169 Huruf q UU Pemilu yang baru didaftarkan. Empat permohonan belum diregistrasi, yaitu yang diajukan oleh Fatikhatus Sakinah dkk yang didaftarkan 27 Oktober, Heri Purwanto dkk yang didaftarkan 31 Oktober, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar yang didaftarkan pada 3 November, Lamria Siagian dkk yang didaftarkan pada 5 November, dan Marion yang didaftarkan pada 6 November. Permohonan lain diajukan oleh Brahma Aryana, mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, sudah diregister dengan nomor 141/PUU-XXI/2023 dan akan disidangkan pada 8 November.
Lantas apakah kemungkinan putusan ketiga dan keempat tersebut akan berpengaruh pada pencalonan Gibran? Hal tersebut sangat bergantung pada delapan hakim yang memeriksa ulang pengujian Pasal 169 Huruf q UU Pemilu, apakah bersedia memutus secara cepat dengan menyatakan putusan 90 tidak berlaku lagi atau setidaknya menjatuhkan putusan provisi berupa penangguhan keberlakuan putusan 90 dan tidak menggunakannya sebagai dasar tindakan hukum apa pun.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman
Sementara itu, Violla Reininda, kuasa hukum 15 guru besar dan pengajar hukum tata negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS), meminta tiga begawan hukum yang saat ini menjadi ketua dan anggota MKMK menyambut panggilan sejarah untuk memulihkan keluhuran MK dengan memberhentikan dengan tidak hormat Anwar Usman sebagai Ketua MK dan hakim konstitusi.
”Para pelapor mendesak MKMK untuk berani mengambil keputusan progresif untuk menyelamatkan masa depan demokrasi dan konstitusi Indonesia dengan cara menyatakan putusan 90 batal demi hukum karena disusun dengan proses yang cacat formil akibat kentalnya konflik kepentingan,” ujar Violla.
Harapan perbaikan MK
Apabila tidak memutus putusan 90 batal demi hukum, CALS meminta MKMK setidaknya memerintahkan MK memeriksa ulang seluruh pengujian syarat usia capres dan cawapres tanpa melibatkan Anwar Usman.
Menurut CALS, Anwar terbukti melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim khususnya prinsip independensi, prinsip ketidakberpihakan, dan prinsip integritas. Ia juga dinilai melanggar prinsip kecakapan dan kesaksamaan serta larangan mengomentari perkara yang sedang berjalan atau akan diperiksa/diadili. Anwar juga dinilai sudah melanggar sumpah jabatan baik sebagai hakim ataupun Ketua MK untuk memimpin dengan baik dan adil.
”Hal tersebut merusak muruah, kewibawaan, martabat, dan keluhuran MK sebagai lembaga penjaga konstitusi, demokrasi, dan hak asasi manusia,” kata Violla.
Apakah harapan itu terkabul? Semua ada di pundak Jimly Asshiddiqie, Bintan R Saragih, dan Wahiduddin Adams, anggota MKMK, yang menurut rencana akan membacakan putusannya pada Selasa (7/11/2023) pukul 16.00.
Untuk menjaga keamanan selama putusan MKMK itu dibacakan, Kepala Polres Metro Jakarta Pusat Komisaris Besar Susatyo Purnomo Condro mengatakan, pihaknya menerjunkan 1.998 personel gabungan Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, TNI, dan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Para personel tersebut akan ditempatkan di kawasan Monas dan di Gedung MK.
Yang pasti bagi publik, MKMK diharapkan dapat jatuhkan putusan untuk perbaikan MK. Perbaikan menuju tegaknya negara demokrasi konstitusional dan harapan bahwa masih ada yang berani melawan nepotisme untuk kepentingan politik dinasti.