Menyeimbangkan market driven dan market driving sebagai orientasi strategis pendidikan tinggi mutlak harus dilakukan.
KOMPAS/HERYUNANTO
Ilustrasi
Krisis ekonomi pascapandemi Covid-19 dirasakan oleh banyak negara. Pertumbuhan ekonomi dunia hingga 2025 diprediksi juga melambat dibandingkan dekade lalu.
Menariknya, pertumbuhan ekonomi yang rendah justru banyak dialami oleh negara maju. Rerata anggota G20 melaporkan pengangguran kelompok berpendidikan tinggi mencapai sekitar 4,5 persen. Mismatch antara ketersediaan lapangan kerja dan lulusan yang dihasilkan menjadi salah satu alasannya. Tidak hanya untuk kebutuhan sekarang, tetapi juga untuk 5-20 tahun ke depan.
Ketersediaan pekerja berpengetahuan ini tergantung industri strategis yang sedang dan akan dibangun sebuah negara. Ini akan menentukan orientasi strategis yang akan diambil oleh pemerintah ataupun pengelola pendidikan tingginya. Bagaimana Indonesia mengelola orientasi strategis pendidikan tingginya guna mewujudkan Indonesia maju tahun 2045?
Kemajuan sebuah negara tergantung seberapa besar peran pengetahuan dalam perekonomian (knowledge-based economy). Ekonomi berbasis pengetahuan membutuhkan ketersediaan pekerja berpengetahuan ataupun pebisnis yang menjadi katalisatornya. Konsekuensinya, pendidikan tinggi menawarkan program studi sesuai yang dibutuhkan pasar (market driven), meskipun lulusan saat ini dimungkinkan tidak relevan lagi 5-20 tahun lagi.
Dapat dimengerti ketika sebuah bangsa yang sudah maju dua dekade lalu, saat ini tertinggal karena kompetensi lulusan pendidikan tingginya tidak relevan lagi. Dibutuhkan pendidikan tinggi yang bernilai tambah tinggi di masa depan (market driving).
Menariknya, pertumbuhan ekonomi yang rendah justru banyak dialami oleh negara maju.
Ekonom Harvard, Ricardo Hausmann, berargumentasi bahwa kompleksitas ekonomi negara menentukan pertumbuhan ekonomi yang dimiliki.
Semakin tinggi pengetahuan yang diaplikasikan dalam sebuah produk (baik barang atau jasa), semakin besar kompleksitas ekonomi sebuah negara. Produk tersebut akan memiliki nilai tambah tinggi sehingga pendapatan per kapita yang dihasilkan juga meningkat.
Hal inilah yang menjadikan knowledge-based economy semakin penting bagi sebuah negara. Dalam Indeks Kompleksitas Ekonomi (Economic Complexity Index/ECI) yang dikeluarkan oleh Growth Lab dari Harvard, Indonesia tidak pernah beranjak dari posisi 60-an dalam 20 tahun terakhir.
Tahun 2000, posisi ECI Indonesia adalah ke-59 dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita 4.771 dollar AS. Namun, tahun 2021 turun ke posisi ke-64 dengan PDB per kapita 4.334 dollar AS.
Pada periode yang sama, Thailand meningkat dari posisi ke-37 menuju posisi ke-23, dengan pendapatan meningkat lebih dari tiga kali lipat menjadi 7.060 dollar AS.
Vietnam mengalami peningkatan dari posisi ke-93 menjadi ke-61, dan pendapatan per kapita meningkat lebih dari sepuluh kali lipat menjadi 3.757 dollar AS.
Yang fenomenal adalah China, naik dari posisi ke-39 menjadi ke-18, dengan peningkatan PDB per kapita 13 kali lipat menjadi 12.618 dollar AS. Hampir mencapai ambang batas minimal (threshold) sebagai negara maju dan negara terbaru yang keluar dari perangkap pendapatan menengah.
Negara akan mampu menghasilkan produk bernilai tambah tinggi jika sumber daya strategisnya, yakni manusia, berpendidikan tinggi dan berkontribusi dalam pembangunan.
Data terbaru Bank Dunia menunjukkan, penganggur terdidik Indonesia mencapai 4,1 persen dari total lulusan perguruan tinggi (PT). Tak jauh berbeda, data OECD menunjukkan 2,5 persen orang berpendidikan tinggi pada usia produktif di Indonesia berstatus penganggur.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal 2023 melaporkan, terdapat 958.800 orang atau 12 persen dari penganggur terbuka di Indonesia yang berlatar belakang pendidikan tinggi.
Statistik Pendidikan Tinggi (2020) mencatat adanya 2.163.682 mahasiswa baru, yang tersebar pada 4.593 lembaga pendidikan tinggi di Indonesia.
Seperlima mahasiswa baru ini terdaftar pada program studi (prodi) Pendidikan, diikuti oleh Ekonomi, Sosial, dan Teknik. Adapun yang terdaftar pada prodi Kesehatan dan Pertanian berkisar sepersepuluh dari total mahasiswa. Total mahasiswa yang terdaftar di seluruh Indonesia mencapai 8,5 juta orang, tersebar pada 29.413 prodi. Di level sarjana, hampir satu juta mahasiswa terdaftar pada prodi Manajemen.
Prodi Pendidikan Guru SD yang ada di peringkat kedua mahasiswa terbanyak, memiliki jumlah mahasiswa hampir separuh jumlah mahasiswa prodi Manajemen, diikuti Akuntansi dan Ilmu Hukum. Teknik Informatika dan Teknik Sipil adalah prodi teknik dengan mahasiswa terbanyak.
Di level magister, Ilmu Hukum menjadi favorit kedua, diikuti Pendidikan Agama Islam, Kenotariatan, dan Akuntansi. Sementara pada level doktor, Ilmu Hukum memiliki mahasiswa terbanyak, diikuti Ilmu Manajemen, Ilmu Pendidikan, dan Pendidikan Agama Islam.
Terdapat lulusan pendidikan tinggi lebih dari 1,5 juta orang pada 2020. Bidang Pendidikan menghasilkan lebih dari seperlima lulusan yang ada, diikuti oleh Ekonomi, Teknik, Kesehatan, dan Sosial. Untuk Pertanian, kurang dari 5 persen.
Orientasi strategis memberikan arah bagi strategi dan tindakan yang akan digunakan dalam mencapai tujuan organisasi.
Selain terkait ketersediaan prodi dan kapasitas yang ada; data ini menunjukkan ekspektasi masyarakat pada 5-10 tahun ke depan akan lapangan kerja yang ada. Jika jumlah lulusan Pendidikan konsisten pada angka 2020, tahun 2025 akan terdapat calon guru untuk pendidikan dasar dan menengah lebih dari dua juta orang.
Dengan jumlah sekolah dasar hingga menengah sekitar 275.000 di seluruh Indonesia, dan rerata masa bakti guru 30 tahun, bisa dipastikan kita akan kelebihan pasokan guru di masa depan. Analisis demand and supply sederhana ini bisa digunakan pemerintah dan pengelola PT agar sumber daya strategis teralokasikan dan memiliki kompetensi sesuai kebutuhan bangsa di masa datang.
Orientasi strategis memberikan arah bagi strategi dan tindakan yang akan digunakan dalam mencapai tujuan organisasi. Apakah strateginya akan dititikberatkan untuk menghasilkan produk yang dapat memenuhi kebutuhan pasar saat ini (market driven) atau mengarahkan pasar ke produk yang dihasilkan (market driving).
Dalam konteks PT, orientasi strategisnya berupa pilihan mendidik lulusan yang dibutuhkan atau dipersepsikan dibutuhkan masyarakat saat ini atau lulusan untuk masa datang?
Kita dapat menyimak kisah sukses China dalam meningkatkan kompleksitas ekonominya, dengan memperbesar kontribusi knowledge-based economy. Posisi China meningkat dari peringkat 39 menjadi 17, dan PDB per kapita tumbuh 12 kali lipat dua dekade terakhir.
Ilustrasi
Ketika Abrami dkk (2014) menulis artikel ”Why China Can’t Innovate” di Harvard Business Review, sebagian besar orang meyakininya. Namun, lambat laun pasar digital, peralatan kesehatan, bahkan sustainable technologies mulai dikuasai perusahaan China.
Data China Statistical Yearbook 2017 menunjukkan tiga juta mahasiswa masuk program STEM (science, technology, engineering, and mathematics).
China menjadi salah satu negara dengan persentase penguasaan terbesar di bidang ini. Tak hanya mengandalkan lulusan dari dalam negeri, tetapi juga lulusan dari universitas-universitas berkelas dunia di negara maju—pendekatan China plus (Greeven dkk, 2019).
Sejak 1978, terdapat empat juta penduduk yang sekolah di luar negeri dan 2,2 juta lulusan kembali ke China. Haigui (diaspora yang kembali) jadi pemain penting dalam ekosistem inovasi China, dengan training yang didapat dari universitas-universitas terbaik dunia.
Bahkan, sebelum kembali ke negaranya, mereka telah bekerja di beragam perusahaan kelas dunia, khususnya Silicon Valley, dan membawa model bisnis start-up ataupun best practices dari Fortune 500 ke domestik. Hasilnya, perusahaan domestik mampu bersaing dengan perusahaan kelas dunia negara maju.
Guna menjamin kepemimpinannya di bidang teknologi, program Made in China 2025 diluncurkan sejak 2015. Ada 10 industri strategis yang ditetapkan untuk mentransformasi ekonomi dari berbiaya murah jadi bernilai tambah tinggi.
Mengingat 10 industri strategis ini akan berkontribusi sekitar 40 persen terhadap industri manufaktur China, semua sumber daya dan peraturan diarahkan untuk mendukung tercapainya tujuan bangsa. Termasuk PT dengan prodi yang dikelola, ataupun riset yang dihasilkannya.
Program ini dilanjutkan dengan Created in China 2035. Untuk menegaskan posisi sebagai standar teknologi dunia pada sepuluh industri strategis tersebut, pemerintah menugaskan 12 perguruan tinggi top untuk mengembangkan College of Future Technology. Tugas utamanya melakukan riset dan mengembangkan teknologi yang revolusioner dan disruptif pada 10-15 tahun ke depan.
China menjadi salah satu negara dengan persentase penguasaan terbesar di bidang ini.
Keberadaannya ditargetkan mampu berkompetisi dengan Massachusetts Institute of Technology dan Stanford University pada teknologi masa depan. Misalnya, Peking University ditugasi mengembangkan dua bidang interdisiplin, yakni teknik biomedik dan kedokteran molekuler. South China University of Technology membuka dua prodi baru, artificial intelligence dan big data technology.
Adapun Beihang University bertugas mengembangkan School of Future Aerospace Technology. Pendirian Sekolah Teknologi Masa Depan menjadi langkah awal mempersiapkan SDM China menjadi unggul dalam teknologi masa depan.
Pendidikan adalah investasi jangka panjang sebuah bangsa, dan pendidikan tinggi yang berkualitas dan mampu menghasilkan inovasi merupakan prasyarat utama negara menjadi negara maju (Lee, 2019).
Memilih, memilah, dan memodifikasi kurikulum program studi yang ada, bahkan menutupnya bilamana kurang relevan, adalah keharusan. Belum tentu yang populer saat ini dibutuhkan lulusannya di masa datang. Hal ini bagian dari market driven. Sudah waktunya pemerintah mengevaluasi proporsi prodi dan peserta didiknya, termasuk potensi kontribusi lulusannya di masa datang.
Memberikan visi jangka panjang pada pendidikan adalah keharusan. Pemerintah wajib menetapkan industri strategis apa yang akan dikembangkan. Untuk menyiapkannya, pemerintah dan pengelola PT yang ditugaskan perlu mendirikan program studi berorientasi masa depan. Upskilling staf pengajar yang sudah ada dan merekrut pengajar baru yang dimaksud adalah bagian dari market driving. Tentunya komitmen pendanaan dalam jangka panjang memberi kepastian dan keberlanjutan akan daya saing bangsa pada masa datang.
Menyeimbangkan market driven dan market driving sebagai orientasi strategis pendidikan tinggi di Indonesia mutlak harus dilakukan. SDM sebagai sumber daya strategis bangsa berperan sentral meningkatkan kompleksitas ekonomi Indonesia, dalam mencapai kemajuan tahun 2045.
Baca juga : Pendidikan Tinggi yang Kita Dambakan
Badri Munir SukocoGuru Besar Manajemen Strategi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, dan Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
Badri Munir Sukoco