Kebingungan atas Kurikulum Merdeka menciptakan gap antara guru dan siswa karena guru sibuk memahami bentuk kurikulum yang selalu direvisi.
Studi Kesenjangan Pembelajaran ”Bangkit Lebih Kuat” diluncurkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang bekerja sama dengan program Inovasi. Studi ini menyebut bahwa Kurikulum Merdeka memiliki tiga fitur. Pertama, fokus pada materi esensial. Kedua, pembelajaran yang fleksibel sesuai kebutuhan siswa. Ketiga, menerapkan pembelajaran berbasiskan proyek (2023).
Studi ini mengklaim bahwa dengan fitur tersebut, Kurikulum Merdeka menjadi kurikulum fleksibel yang memberi ruang bagi guru untuk menyesuaikan pembelajaran sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan peserta didik.
Menurut studi ini, dua tahun setelah pandemi ditemukan indikasi adanya pemulihan pembelajaran (learning recovery) yang setara dengan dua bulan masa pembelajaran, baik untuk literasi maupun numerasi. Penggunaan Kurikulum Darurat, kurikulum yang disederhanakan secara mandiri, dan Kurikulum Prototipe/atau bentuk awal Kurikulum Merdeka dianggap sebagai faktor kunci yang membuat peserta didik mengalami pemulihan yang setara dengan empat bulan masa pembelajaran (2023).
Pertanyaan utamanya, apakah Kurikulum Merdeka menjadi penentu utama atas terjadinya pemulihan pembelajaran selama dua tahun pandemik? Selama dua tahun pandemik, Kurikulum Darurat (Kurikulum 2013 yang disederhanakan) dipakai oleh 31,5 persen sekolah di Indonesia. Sementara itu, dari jumlah 217.283 sekolah pada tahun ajaran 2020/2021 (BPS, 2021), jumlah sekolah penggerak baru mencapai 18.872. Sekolah penggerak adalah sekolah terpilih yang menggunakan bentuk awal Kurikulum Merdeka.
Baca juga: Transformasi Sistem Pendidikan Atasi Kesenjangan Pembelajaran
Artinya, pengguna Kurikulum Sekolah Penggerak atau embrio Kurikulum Mereka selama dua tahun pandemi hanya digunakan 11,51 persen sekolah di Indonesia. Dengan demikian, selama dua tahun pandemi, sekolah yang menggunakan Kurikulum Darurat dan Kurikulum Sekolah Penggerak sebagai cikal bakal Kurikulum Merdeka, jika dijumlahkan hanya mencapai 43,01 persen. Artinya, sebagian besar sekolah di Indonesia, sekitar 54,09 persen, masih menggunakan Kurikulum 2013 dan sebagian kecil di antaranya masih menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Namun, kesimpulan dari studi Kesenjangan Pembelajaran ”Bangkit Lebih Kuat” justru menyatakan bahwa penentu terbesar peningkatan capaian belajar selama dua tahun pandemi bukan Kurikulum Darurat. Pada kalimat yang sama disebutkan bahwa Kurikulum Darurat adalah bentuk awal Kurikulum Merdeka. Artinya, ada dualitas klaim terhadap Kurikulum Darurat. Di satu sisi kurikulum ini diakui sebagai Kurikulum 2013 yang disederhanakan, tetapi di sisi lain Kurikulum Darurat juga dianggap sebagai bentuk awal Kurikulum Merdeka.
Artinya, Kemendikbudristek berupaya mengklaim keberhasilan Kurikulum 2013 sebagai dua hal. Pertama, keberhasilan Kurikulum Darurat adalah keberhasilan Kurikulum Merdeka. Kedua, menjadi dasar bahwa Kurikulum 2013 harus diubah meskipun faktanya dalam kajian akademik kurikulum dalam pemulihan pembelajaran, Kurikulum Darurat diakui menjadi penentu pemulihan pembelajaran selama dua tahun pandemik (2022).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Anak-anak ikut mengamen dengan memakai kostum karakter kartun di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (15/2/2022). Pandemi Covid-19 berdampak besar pada sektor pendidikan, seperti kesenjangan pembelajaran.
Ada upaya menarik semua fakta peningkatan capaian belajar dari kurikulum sebelumnya untuk menopang keberadaan Kurikulum Merdeka. Pertama, lahirnya program Sekolah Penggerak. Kenyataannya program ini merupakan bentuk implementasi awal Kurikulum Merdeka yang saat itu masih tanpa nama. Program semacam ini diperkenalkan sejak akhir 2019. Kedua, karena pandemi Covid-19 datang pada awal 2020, Kemendikbudristek segera menyusun Kurikulum Darurat atau menyederhanakan Kurikulum 2013.
Ketiga, Kemendikbudristek menerbitkan Kurikulum Prototipe pada 2021 agar model kurikulum tanpa nama ini segera diterapkan di luar sekolah-sekolah penggerak. Penerbitan Kurikulum Prototipe ini dilakukan tanpa landasan hukum sehingga menimbulkan pertanyaan di kalangan pendidik, organisasi profesi guru dan Komisi X DPR. Keempat, pemerintah menerbitkan kurikulum dalam rangka pemulihan dalam pembelajaran yang sekaligus menerbitkan nomenklatur dua nama kurikulum, yaitu Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP) dan Kurikulum Merdeka dalam satu dokumen peraturan.
Jika dikumpulkan sejak 2020 hingga 2023, Kemendikbudristek telah memproduksi kebingungan masal karena menerbitkan nama-nama kurikulum seperti Kurikulum Sekolah Penggerak, Kurikulum Prototipe, kurikulum dalam rangka pemulihan dalam pembelajaran yang berisi KOSP yang di dalamnya diartikan sebagai Kurikulum Merdeka (Keputusan Mendikbudristek Nomor 56 Tahun 2022).
Ada upaya menarik semua fakta peningkatan capaian belajar dari kurikulum sebelumnya untuk menopang keberadaan Kurikulum Merdeka.
Meski demikian, keunggulan kurikulum-kurikulum yang melahirkan Kurikulum Merdeka tersebut tidak pernah menjadi obyek kajian mandiri. Dalam dokumen Kajian Akademik Kurikulum dalam Pemulihan Pembelajaran (2022), yang semestinya menjadi kajian akademik Kurikulum Merdeka justru berisi keberhasilan-keberhasilan Kurikulum Darurat yang notabene adalah Kurikulum 2013 yang disederhanakan. Disebutkan bahwa selama kurun waktu 2020/2021, siswa pengguna Kurikulum Darurat mendapat capaian belajar yang lebih baik daripada pengguna Kurikulum 2013 secara penuh, terlepas dari latar belakang sosioekonominya (2022).
Dengan demikian, Kurikulum Merdeka adalah kurikulum sekolah penggerak dan kurikulum yang diterapkan di luar sekolah penggerak sebagai Kurikulum Prototipe. Kurikulum Propotipe ini terinspirasi dari Kurikulum Darurat yang merupakan Kurikulum 2013 yang disederhanakan karena terbukti berhasil memulihkan pembelajaran selama pandemi sehingga menjadi KOSP yang di dalamnya merupakan implementasi Kurikulum Merdeka.
Lantas, jika Kurikulum Darurat yang terbukti berhasil memberikan peningkatan capaian pembelajaran selama pandemi, mengapa kemudian Kemendikbudristek tetap teguh meneruskan proyek Kurikulum Merdeka? Jawabannya tentu saja karena hasil tes PISA (Programme for International Student Assessment) yang menurun dan learning loss yang sebenarnya berhasil diatasi oleh Kurikulum Darurat.
Karena Kurikulum Darurat adalah bentuk awal dari Kurikulum Merdeka, maka pengembangan Kurikulum Merdeka sesuai dengan prinsip penyederhanaan (materi esensial) dalam Kurikulum Darurat. Dengan demikian, keberhasilan Kurikulum Darurat adalah keberhasilan Kurikulum Merdeka. Itulah kesimpulan yang sedikit memaksakan bisa kita upayakan dalam logika yang dibangun atas narasi kurikulum ini.
Artinya, Kurikulum Merdeka tidak dipersiapkan untuk pandemi. Sebagai contoh, penyederhanaan dalam Kurikulum Merdeka membutuhkan sosialisasi intensif dengan daya jangkau yang sangat luas secara vertikal dan horizontal. Karena Kurikulum Merdeka berupaya meradikalisasi pembelajaran yang membutuhkan pemahaman tingkat tinggi. Seperti perubahan struktur kurikulum yang sangat berbeda dengan kurikulum sebelumnya, tuntutan asesmen diagnostik dan pembelajaran terdiferensiasi, hingga pembelajaran berbasiskan proyek (Problem Based Learning/PBL). Kebijakan raksasa ini sebenarnya tidak cocok diterapkan, terutama ketika pandemi berlangsung, yakni ketika praktik pembelajaran sedang berada dalam taraf minimum.
Ketidakjelasan epistemologis, ontologis, serta kronologis dari Kurikulum Merdeka pada saat disusun melahirkan persoalan pertama pada tahap mendasar, yakni miskin landasan akademis. Kemendikbudristek baru benar-benar menyusun kajian akademik Kurikulum Merdeka pada 2022, sedangkan Kurikulum Prototipe sudah diluncurkan pada 2021, sementara Program Sekolah Penggerak sebagai embrio Kurikulum Merdeka diterapkan sejak 2020.
Bukan rahasia jika Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) atau kampus pendidikan tidak dilibatkan dalam penyusunan kurikulum ini sehingga kampus yang seharusnya menjadi think tank kurikulum nasional hanya menjadi pihak ketiga yang dibebankan untuk menjelaskan kurikulum ini hanya cangkangnya saja.
Beragam ruang diskusi di antara para guru, sekolah, dan dinas pendidikan berisi kebingungan yang setiap waktu semakin bertambah.
Persoalan kedua adalah kepanikan massal di kalangan guru dan lingkungan sekolah. Beragam ruang diskusi di antara para guru, sekolah, dan dinas pendidikan berisi kebingungan yang setiap waktu semakin bertambah. Misal ketika beberapa sekolah menjadi sekolah penggerak dan mencoba menerapkan Kurikulum Prototipe, mereka tidak akan mendapatkan pemahaman minimum karena adanya dorongan bahwa setiap satuan pendidikan membentuk sendiri model-model penerapan sesuai kondisi satuan pendidikan masing-masing. Sambil menunggu kementerian membuat prototipe kurikulum yang dikurasi, sekolah-sekolah dipaksa untuk saling belajar untuk model yang belum ada contohnya.
Ada juga pendapat bahwa kementerian tidak tahu bagaimana menerapkan secara teknis-administrasinya. Misal, pada generasi pertama sekolah penggerak tahun 2020, model rapor siswa dari kementerian belum ada. Pada masa kebingungan masal ini, kementerian sibuk menolak dugaan-dugaan dari kalangan pendidik, tetapi tidak kunjung memberikan penjelasan ontologis kurikulum yang saat itu misterius.
Ketika banyak kalangan menanyakan kajian akademik kurikulum, mereka justru dilimpahi dengan pemahaman-pemahaman teknis pembelajaran dari level asesmen diagnostik, perubahan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) menjadi modul ajar hingga penyusunan Alur Capaian Pembelajaaran (ACP) dan Alur Tujuan Pembelajaran (ATP) yang tiap-tiap mata pelajaran berbeda-beda.
Di saat para guru ini memahaminya sebagai Kurikulum Sekolah Penggerak dan Kurikulum Prototipe, kementerian meresmikan lahirnya Kurikulum Merdeka sekaligus meluncurkan Platform Merdeka Mengajar (PMM) yang diklaim akan menjawab semua kebingungan atas kurikulum ini. Syaratnya cukup diinstal. Pada platform tersebut disebutkan para guru bisa mendapatkan informasi kerangka dan perangkat ajar Kurikulum Merdeka.
Namun, platform tersebut juga memiliki persoalan. Pertama, tidak memperbaharui informasi dalam platform berdasarkan peraturan terbaru dari Kurikulum Merdeka seperti perubahan Capaian Pembelajaran (CP) yang digunakan sebagai acuan guru ketika menerapkan Kurikulum Merdeka. Di sisi lain, selama dua tahun CP dari kementerian direvisi sebanyak empat kali. Penulis yang pernah mengakses platform tersebut pada 2022 menemukan bahwa CP yang digunakan saat itu masih CP kadaluarsa tahun 2021.
Kedua, contoh-contoh perangkat kurikulum (modul ajar/RPP dll) dibuat oleh guru-guru belum dikurasi, dan beberapa di antaranya bahkan tidak ada contohnya. Artinya, seandainya para guru sangat gigih mencoba sepenuhnya memahami Kurikulum Merdeka melalui PMM, mereka justru mengalami kesesatan secara masal.
Baca juga: Merdeka Belajar Sistemik
Fakta-fakta inilah yang tidak pernah diakui kementerian. Ketika kebingungan-kebingungan atas Kurikulum Merdeka ini mengemuka, terutama di media sosial, entah dari mana datangnya, para influencer pendidikan segera memadamkannya. Para penyorak ini selalu berkampanye negatif dengan dua tuduhan: guru yang mengeluhkan Kurikulum Merdeka merupakan guru anti perubahan, dan kampanye bahwa guru-guru di Indonesia mengalami #miskonsepsi karena kesalahan mereka sendiri. Tuduhan ini sangat tidak mendasar mengingat konsepsi Kurikulum Merdeka bukanlah sesuatu yang sudah selesai. Saat diterapkan beragam revisi terus bergulir.
Artinya, harus diakui, kekuatan sosialisasi Kurikulum Merdeka lebih cepat dari kurikulum manapun yang diterapkan di Indonesia karena kepanikan massal yang diciptakannya. Tentu saja yang dibutuhkan saat ini adalah evaluasi terbuka terhadap Kurikulum Mereka sehingga kita mendapatkan jawaban dan angka yang benar atas dampak kurikulum ini.
Oleh sebab itu, kebingungan atas Kurikulum Merdeka menciptakan gap antara guru dan siswa karena guru sibuk memahami bentuk kurikulum yang selalu direvisi, baik isinya, maupun kerangkanya. Mengapa tidak dilakukan studi dampak penerapan Kurikulum Merdeka terhadap berkurangnya waktu mengajar guru di kelas karena sibuk membuat konten kampanye Kurikulum Merdeka? Mungkin hasilnya akan sangat mengejutkan.
Iman Zanatul Haeri, Guru; Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)
ARSIP PRIBADI
Iman Zanatul Haeri