Anggapan bahwa parameter sekolah inklusi diukur dari ada tidaknya peserta didik berkebutuhan khusus semakin menguat.

 
 
Oleh:
IQBAL FAHRI
 

https://cdn-assetd.kompas.id/Qz9jgVvo2fl-XX_GK44COSqQlzk=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F12%2F180038f8-c7a9-493a-aca1-085a8608cf05_jpg.jpg

Ilustrasi

Latar historis pendidikan inklusif pada inisiatif global berbeda dengan di Indonesia. Hal ini memunculkan simplifikasi pandangan bahwa pendidikan inklusif mengakomodasi peserta didik berkebutuhan khusus semata di sekolah umum.

Anggapan bahwa parameter sekolah inklusi diukur dari ada tidaknya peserta didik berkebutuhan khusus di suatu sekolah semakin menguat. Isu diversitas yang lahir dari rahim pendidikan inklusif sebagai inisiatif global tampak kehilangan eksistensi dan popularitasnya di negeri ini.

Kesadaran masyarakat internasional terhadap isu diversitas pada sektor pendidikan telah dinyatakan sebagai bagian penting dari hak asasi manusia pada tahun 1948. Inisiatif global ini terus bergulir dan mulai menemukan bentuk nyata dalam konferensi dunia melalui tajuk pendidikan untuk semua (education for all) pada 1990.

Konferensi ini memastikan akses universal terhadap pendidikan untuk semua, melalui pendidikan inklusif yang berkualitas dan merata. Prinsip itu mengakomodasi peserta didik yang beragam latar belakang sosial, karakteristik individu, jender, usia, etnisitas, dan kondisi fisik. Termasuk, hambatan ekonomi, geografis, dan sosial.

Kesadaran masyarakat internasional terhadap isu diversitas pada sektor pendidikan telah dinyatakan sebagai bagian penting dari hak asasi manusia pada tahun 1948.

Sementara itu, pendidikan inklusif di Indonesia lantang disuarakan oleh sebagian besar orangtua anak dengan disabilitas, lembaga swadaya masyarakat, dan aktivis disabilitas. Tuntutan utamanya agar peserta didik berkebutuhan khusus dapat mengenyam pendidikan setara di sekolah umum bersama teman seusianya.

Perjuangan ini berbuah manis pada 2003, melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Peserta didik berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah-sekolah umum melalui layanan pendidikan inklusif.

Problem simplifikasi

Simplifikasi pendidikan inklusif berujung penurunan sensitivitas penyelenggara pendidikan terhadap ancaman diversitas yang tidak dikelola secara arif. Salah satu risiko terburuk, memperbesar problem kesehatan mental peserta didik.

Peristiwa pemburukan ini menyentuh berbagai bentuk ancaman diversitas multikompleks, seperti labelisasi, konflik sosial (geng), isolasi, pengabaian keberagaman, dan kekerasan. Bahkan, sampai pada bentuk yang paling tragis, yaitu bunuh diri di area sekolah.

Peristiwa perundungan, kekerasan, dan bunuh diri di kalangan pelajar saat ini mengemuka merupakan fenomena puncak gunung es, memiliki bongkahan sangat besar pada lapisan dasar dan tidak tampak, yaitu pengabaian terhadap pengelolaan diversitas pada sektor pendidikan.

Koalisi Nasional POKJA Implementasi UU Penyandang Disabilitas berjalan menuju Bundaran Hotel Indonesia (HI) Jakarta dalam Pawai Budaya Disabilitas yang bertajuk “Menuju Disabilitas Merdeka”, Selasa (27/8/2019).

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Koalisi Nasional POKJA Implementasi UU Penyandang Disabilitas berjalan menuju Bundaran Hotel Indonesia (HI) Jakarta dalam Pawai Budaya Disabilitas yang bertajuk “Menuju Disabilitas Merdeka”, Selasa (27/8/2019).

Dampak negatif minimnya pengelolaan diversitas yang multikompleks tidak mungkin diselesaikan secara holistik oleh guru bimbingan konseling di sekolah atau bahkan satuan tugas semata. Sekolah mesti mentransformasikan lembaganya menjadi inklusif. Ciri utamanya, penyelesaian masalah dilakukan secara kolaboratif dengan mengoptimalkan sumber daya manusia (SDM) internal dan eksternal.

Kompleksitas yang dihadapi sekolah inklusif mampu membuat para pendidik melatihkan kemampuan meregulasi diri dan emosi peserta didiknya. Hal itu dilakukan dengan berbagai teknik keterampilan sosial yang melibatkan teman sebaya.

Bahkan, kesadaran perlunya kolaborasi dalam menyelesaikan problematika pelik peserta didik akan menuntun pendidik untuk tidak malu dan ragu melibatkan SDM eksternal. Misalnya, tenaga medis, psikolog, dan para ahli dalam ”gelar kasus” untuk mencari solusi penanganan komprehensif.

Sayangnya, inklusivitas dalam pendidikan yang bertumpu kepada diversitas masih secara parsial diimplementasikan. Ini, antara lain, tampak pada filosofi atau pilar Kurikulum Merdeka dan implementasi pembelajaran pada tahap penyusunan profil peserta didik dan pembelajaran berdiferensiasi.

Padahal, apabila diversitas menjadi spiritnya, tentu akan diperbesar kapasitas Unit Layanan Disabilitas (ULD) yang baru-baru ini dikuatkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 48 Tahun 2023 menjadi Unit Layanan Diversitas.

Sayangnya, inklusivitas dalam pendidikan yang bertumpu kepada diversitas masih secara parsial diimplementasikan.

Hal ini dapat menjadi solusi dan merupakan bentuk dukungan terbaik SDM eksternal bagi sekolah inklusi yang selama ini diimpikan dalam menangani problem diversitas, termasuk disabilitas. Terlebih lagi, komposisi para profesional ULD tergolong powerful, kolaboratif, dan jarang ditemukan. Mereka terdiri dari dokter, psikolog, ahli, terapis, praktisi, pekerja sosial, dan konselor.

Namun, dampak simplifikasi pendidikan inklusif membuat ULD hanya dapat diakses

oleh peserta didik dengan disabilitas. Sementara, ada peserta didik lain yang mengalami problem kesehatan mental akibat diversitas yang minim pengelolaan.

Ada pula peserta didik cerdas istimewa bakat istimewa (CIBI) yang kerap mengalami problem regulasi emosi mesti menempuh jalan berliku dan biaya tidak sedikit untuk sekadar mendapatkan pelayanan paripurna seperti tim kolaboratif ULD.

Ironisnya, ULD wajib dibentuk pemerintah daerah melalui dinas pendidikan yang mestinya berpihak kepada semua peserta didik yang membutuhkan. Hal ini tanpa sadar menciptakan ketidaksetaraan dan diskriminasi dalam kualitas layanan pendidikan.

Baca juga : Proses Penegakan Hukum Belum Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

Iqbal Fahri

DOK. PRIBADI

Iqbal Fahri

Iqbal FahriKonsultan Pendidikan Inklusif Darel Edukasi Utama Jawa Barat

 
 
Editor:
YOVITA ARIKA, NUR HIDAYATI, YOHANES KRISNAWAN