Kendala dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi salah satunya karena kurang harmonisasi peraturan-peraturan yang ada.

 
 
Oleh:
REDAKSI

Anak berkebutuhan khusus menjadi petugas upacara di MI Muhammadiyah Program Khusus (PK) Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (16/9/2019).

FERGANATA INDRA RIATMOKO

Anak berkebutuhan khusus menjadi petugas upacara di MI Muhammadiyah Program Khusus (PK) Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (16/9/2019).

Pendidikan merupakan hak dasar anak dan negara wajib menjamin terpenuhinya hak tersebut, tak terkecuali bagi anak penyandang disabilitas.

Negara melalui pemerintah sudah berupaya menjamin terwujudnya hak dasar tersebut, terutama bagi anak penyandang disabilitas, melalui kebijakan pendidikan inklusi. Namun, tantangan masih besar untuk mewujudkan pendidikan inklusi, terutama karena terbatasnya jumlah guru pendamping khusus (Kompas, 13/11/2023).

Kendala dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi salah satunya berpangkal dari kurangnya harmonisasi peraturan yang ada. Pemerintah memang telah menetapkan penyelenggaraan sekolah inklusi sejak 14 tahun lalu melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009. Permendiknas ini salah satunya mengatur pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif di tingkat dasar dan menengah pertama di setiap kecamatan.

Baca juga: Defisit Guru Pendamping Khusus Hambat Pendidikan Inklusi

Namun, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Minimal belum mengakomodasi pendidikan atau sekolah inklusi (KPK, 2021). Peraturan pemerintah ini tidak secara khusus memberikan acuan bagi pemerintah daerah tentang standar pelayanan minimal bagi pendidikan penyandang disabilitas.

Karena itu, bisa dipahami jika kemudian tidak ada upaya khusus untuk mengatasi masalah defisit guru pendamping khusus. Apalagi, pemerintah daerah juga menghadapi masalah kekurangan guru di sekolah-sekolah negeri pada umumnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/M7WX-PGEDL7ARri-7UVbPokiaOg=/1024x653/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F09%2F13%2F20200913-LHR-tingkat-pendidikan-ABK-mumed_1600004666_jpg.jpg

Upaya pemerintah mempermudah akses pendidikan bagi anak penyandang disabilitas melalui PP No 13/2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas juga terkendala ketersediaan anggaran. Pemenuhan anggaran untuk penyediaan akomodasi yang layak bagi anak penyandang disabilitas dilakukan secara bertahap.

Saat ini memang telah ada 40.165 sekolah inklusi di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Dari segi jumlah, ini sudah melebihi ketentuan yang diatur dalam Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 bahwa sekolah inklusi paling sedikit satu sekolah dasar dan menengah pertama pada setiap kecamatan. Saat ini ada 7.277 kecamatan di Indonesia (BPS, 2023).

Baca juga: Mengurai Benang Kusut Pendidikan Inklusif

Namun, dari segi jumlah peserta didik penyandang disabilitas, masih sangat sedikit, baru 135.874 siswa. Padahal, jumlah anak penyandang disabilitas (usia 5-17 tahun) sekitar 299.710 anak (BPS, 2020). Memang ada 152.756 murid penyandang disabilitas yang mengikuti pendidikan di sekolah luar biasa, tetapi masih ada paling tidak 11.080 anak penyandang disabilitas yang belum terlayani pendidikan.

Harmonisasi peraturan-peraturan terkait penyelenggaraan pendidikan dan juga layanan bagi anak penyandang disabilitas, terutama harmonisasi dengan Undang-Undang Disabilitas, menjadi prioritas untuk memenuhi hak dasar pendidikan bagi penyandang disabilitas. Ini bukan sekadar upaya memperbaiki peraturan, tetapi lebih dari itu menunjukkan keberpihakan kepada anak penyandang disabilitas.

 
Editor: KHAERUDIN