Belum terintegrasinya angkutan umum di DKI Jakarta menjadi masalah utama yang menyebabkan tidak layaknya angkutan umum.

Oleh BAMBANG S PUJANTIYO

Setiap hari, terdapat lebih dari 20 juta pergerakan transportasi di DKI Jakarta. Kepadatan, dan kemacetan lalu lintas parah menyebabkan polusi udara yang tinggi. Kemacetan lalu lintas yang disebabkan oleh kendaraan pribadi, sudah tentu mencerminkan tidak memadainya angkutan umum.

Belum terintegrasinya moda angkutan umum di DKI Jakarta menjadi masalah utama yang menyebabkan tidak layaknya angkutan umum. Hal ini berdampak pada kecenderungan pengguna ingin memiliki kendaraan pribadi. Akhirnya, jumlah kendaraan pribadi meningkat pesat dan menyebabkan kemacetan lalu lintas yang sangat parah.

Isu pembentukan organisasi pengelola integrasi angkutan umum di Jakarta sebagai solusi mengoptimalkan kelayakan angkutan umum, juga mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, menjadi topik hangat yang perlu diperhatikan.

Akan tetapi, menjadi pertanyaan, apakah memang sudah sangat urgen untuk membentuk organisasi baru, sementara sudah ada Kementerian Perhubungan dan Dinas Perhubungan Pemerintah Daerah yang sebetulnya memiliki wewenang untuk hal ini. Tulisan ini membahas kemungkinan itu, secara teknik dan kelembagaan.

Jumlah mobil pribadi di DKI Jakarta sudah melebihi 3,5 juta unit, sedangkan sepeda motor menjadi 17 juta. Kemacetan lalu lintas yang sangat parah tak terhindarkan dan menyebabkan polusi udara. Jakarta pun disebut sebagai kota terburuk kualitas udaranya di dunia.

Optimalisasi pelayanan angkutan umum perlu didorong agar pengguna kendaraan pribadi dapat berpindah menggunakan angkutan umum. Gagasan tentang integrasi moda angkutan umum ini memang merupakan solusi yang diprioritaskan dalam mengatasi kemacetan lalu lintas.

Namun, gagasan tersebut seharusnya dapat mengadopsi pertimbangan bahwa isu utamanya adalah memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum. Dengan kata lain, kenyamanan angkutan umum harus mampu bersaing dengan kenyamanan kendaraan pribadi.

Hal ini sudah tentu termasuk kenyamanan dalam mengakses dan memberikan fasilitas yang minimal sama dengan kendaraan pribadi. Demikian pula, kecepatan dan ketepatan waktu tempuhnya. Bukan sekadar tarif murah, tetapi juga kenyamanan dibandingkan penggunaan kendaraan pribadi.

Secara umum, operasionalisasi lembaga integrasi moda tersebut dapat dibagi dalam dua aspek penting, yaitu aspek teknis dan aspek kelembagaan.

Pertimbangan teknis

Dalam teori transportasi, dari sisi kapasitas angkut, prinsip pemilihan jenis moda angkutan umum untuk melayani penggunanya, sangat tergantung dari jumlah pengguna dan jumlah perjalanan (trip) yang ditimbulkan.

Berdasarkan daya angkut, jenis dan urutannya adalah heavy railway atau KRL (daya angkut 30.000-60.000 orang/jam), monorail (10.000-20.000 orang/jam), light railway (5.000-1.000 orang/jam), bus besar (3.000-5.000 orang/jam), dan bus kecil (3.000 orang/jam).

Pada urutan dalam jenis moda angkutan umum ini, angkutan yang kecil bersifat mendukung operasi angkutan yang lebih besar. Jadi, bukan bersaing satu sama lain. Hal ini telah banyak diakomodasi dan diterapkan di beberapa negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan beberapa negara di Eropa.

Memperhatikan kondisi jaringan KRL dalam kota dan bus yang ada di DKI Jakarta, secara umum akan terlihat seolah-olah masing-masing moda angkutan umum saling bersaing untuk mengangkut penumpang dari dan ke wilayah yang sama. Bukan terintegrasi dan saling mendukung.

Oleh karenanya, hal itu secara teknis seharusnya dapat disesuaikan. Akan tetapi, diperlukan penambahan beberapa fasilitasi pendukung baru, seperti halte bus di dalam/dekat stasiun KRL, dan lain-lain.

Selanjutnya layanan KRL yang terdiri dari KRL Jabodetabek dan MRT adalah basis utama angkutan umum. Adapun, bus selayaknya hanya beroperasi untuk mengangkut penumpang dari dan ke stasiun KRL, dengan melewati wilayah permukiman, pusat bisnis, perkantoran, dan lain-lain.

Perbaikan integrasi angkutan umum bukan menyangkut soal harga tarif angkutan umum yang murah. Namun, lebih kepada kenyamanan fasilitas, juga menyangkut akses, waktu, dan jarak dari titik asal ke destinasi.

Dengan demikian, pengguna dapat memprediksi waktu perjalanan secara tepat dan cepat. Termasuk dalam hal ini, kenyamanan akses transit antarmoda dari KRL ke bus atau angkutan umum yang lebih kecil lainnya (bus, minibus, angkutan mikrolet, dan ojek).

Setidaknya, penumpang yang turun dari KRL dapat langsung naik ke angkutan berikutnya dengan perkiraan waktu akses 3 menit. Misalnya, penumpang akan sangat berharap di stasiun Gambir terdapat halte bus didalam stasiun, sehingga sangat mudah untuk berpindah.

Sedemikian sehingga sistem angkutan umum di DKI Jakarta akan berbentuk seperti jaring laba-laba yang secara teknis dapat menjaring penumpang dimana pun berada. Hal ini akan lebih mempermudah pengoperasian integrasi angkutan umum sehingga diharapkan akan dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.

Halte Transjakarta dan Jak Lingko yang langsung tersambung dengan stasiun Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (6/2/2019).

Dengan KRL sebagai basis angkutan utama, maka setiap stasiun KRL sangat berpotensi menjadi simpul strategis dan sarat dengan bangkitan dan tarikan pergerakan. Berdasarkan contoh di beberapa stasiun di negara maju, seperti di Tokyo, Jepang, setiap simpul strategis itu dikembangkan menjadi TOD (transit oriented development) dan menjadi simpul pengembangan aktivitas ekonomi baru.

Prinsip TOD merupakan pengembangan ruang kota yang mengintegrasikan untuk menyatukan orang, kegiatan, hunian, dan ruang publik dalam konektivitas, terutama dengan sarana transportasi umum. Oleh karenanya, dapat mengurangi pergerakan ke wilayah lain dan mengurangi kemacetan.

Kelembagaan

Sampai saat ini, pengelola transportasi di dalam kota adalah Dinas Perhubungan di setiap pemerintah daerah. Namun, khusus KRL dikelola oleh PT KAI sebagai BUMN perpanjangan dari pemerintah pusat (Kementerian Perhubungan). Banyak masalah pun timbul ketika ingin dilakukan integrasi angkutan umum, khususnya KRL dan bus dalam kota.

Hal ini disebabkan oleh ego sektoral antara pemerintah pusat dan daerah. Wilayah stasiun KRL dikelola oleh pusat, sedangkan wilayah di luar stasiun dikelola pemda. Hal ini mempersulit integrasi teknis yang akan dilakukan.

Di beberapa negara maju, seperti Jepang, wewenang pengelolaan angkutan umum di suatu daerah diberikan kepada Kepala Daerah. Oleh karenanya, pengelolaan di daerah itu menjadi lebih fokus dan terkoordinasi dengan baik. Integrasi angkutan umum dapat tercapai secara maksimal dengan menyertakan pengembangan kawasan di setiap simpul transfer modanya.

Pengembangan setiap simpul stasiun dan penggunaan lahan sekitarnya, misalnya, lebih mudah dengan pengelolaan satu pintu. Hal itu meliputi integrasi wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Menyikapi kondisi dan permasalahan di atas, penyusunan organisasi integrasi angkutan umum perlu dipercepat. Organisasi ini perlu mendapatkan hak dan wewenang perencanaan dan pengelolaan dari pemerintah pusat dan daerah.

Sudah tentu hal ini dapat dilakukan dengan diterbitkannya Keputusan Presiden. Akan tetapi, selayaknya dapat ditinjau ulang, apakah wewenang tersebut diberikan ke suatu organisasi baru, atau sebaiknya diberikan kepada pemerintah daerah, sehingga tidak perlu membentuk organisasi baru.

Pengelolaan satu pintu oleh pemerintah daerah adalah pertimbangan terbaik. Hal itu memungkinkan pengembangan setiap simpul stasiun dan kawasan sekitarnya menjadi TOD. Pemerintah daerah pun akan lebih leluasa mengembangkan kawasan yang diharapkan menjadi pusat aktivitas ekonomi baru.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo akan segera berakhir pada tahun 2024. Sebaiknya tidak membentuk organisasi baru agar lebih efisien dari sisi waktu dan biaya. Selain itu, juga tidak menimbulkan polemik baru dalam sistem kelembagaan pemerintahan terkait transportasi.