Kelemahan-kelemahan praktik pendidikan selama ini menjadi tantangan serius pelaksanaan Merdeka Belajar.

 
 
Oleh:
ANSELMUS JE TOENLIOE
 

Ilustrasi

SUPRIYANTO

Ilustrasi

Hasil pengamatan penulis menunjukkan, praktik Merdeka Belajar ternyata masih diwarnai kekacauan konsep dan pelaksanaan. Kekacauan tersebut dapat dimaklumi karena kebijakan Merdeka Belajar baru berjalan sekitar dua tahun, dibandingkan dengan sekitar 74 tahun penjara pendidikan.

Sebagai suatu sistem, pendidikan memiliki komponen guru, siswa, tujuan/kompetensi, isi/materi, strategi yang di dalamnya terdapat metode dan media, serta evaluasi. Secara teoretis, ibarat laki-laki dan perempuan yang bersinergi melalui pernikahan, di dalam setiap komponen pendidikan terdapat dua pandangan yang berbeda, dan satu pandangan yang berusaha menyinergikan dua pandangan yang berbeda tersebut. Sayang seribu sayang, belum semua pejabat pendidikan dan guru cukup paham konsep tentang perbedaan pandangan terkait tiap-tiap komponen sistem pendidikan.

Guru sebagai kunci keberhasilan pendidikan dapat memainkan dua peran dalam pendidikan. Peran pertama, sebagai informator, peran kedua sebagai fasilitator. Namun, dalam praktik pendidikan puluhan tahun, guru lebih banyak berperan sebagai informator, dan minim peran sebagai fasilitator. Pendidikan berbasis pemberian informasi, praktis menghasilkan lulusan ibarat robot yang seragam dalam bertindak, dengan berbagai dampak buruk dalam kehidupan sosial.

Baca juga: Tiga Tahun Merdeka Belajar

Siswa sebagai subyek pendidikan terlahir sebagai makhluk individu dengan keunikan masing-masing, sekaligus sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan. Terkait siswa sebagai makhluk individu, salah satu hal yang mesti ditangani oleh pendidikan adalah pengembangan bakat mereka masing-masing sejak dini. Untuk itu, perlu dilakukan tes bakat siswa sejak dini guna dijadikan rujukan oleh guru dalam mengembangkannya menjadi minat dan menjadikan bakat dan minat tersebut sebagai rujukan mengajar.

Namun, sebagai makhluk sosial, mereka pun memerlukan pihak lain sesuai dengan kondisi masing-masing. Sungguh sayang, selama ini pendidikan belum mengidentifikasi bakat siswa, dan dengan sendirinya tidak dijadikan minat dan rujukan dalam pembelajaran.

https://cdn-assetd.kompas.id/Ix_jfsJvWE7Rb06EsauGRjcPLkE=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F08%2Ff08acb7b-1a14-4d2a-bba9-cfb661e0d2aa_jpg.jpg

Dalam hal tujuan atau kompetensi dan isi atau materi, tujuan atau kompetensi serta isi atau materi pelajaran dapat dibuat spesifik dan hanya terdapat pelajaran-pelajaran tertentu, juga bisa holistik dan mencakup aneka pelajaran. Idealnya, tujuan/kompetensi serta isi/materi dikembangkan seholistik mungkin, untuk menjangkau keanekaragaman bakat dan minat siswa.

Misalnya, dengan merujuk sembilan kecerdasan majemuk sebagaimana dikemukakan Gardner (1995). Sungguh sayang, selama puluhan tahun, pelajaran di sekolah-sekolah kita memang amat padat, tetapi ujian nasional puluhan tahun dengan aneka sebutan berakibat materi pelajaran hanya itu-itu saja, sesuai dengan soal ujian nasional yang seragam, dari Sabang sampai Merauke.

Strategi pembelajaran

Tentang strategi pembelajaran, dalam strategi pembelajaran terdapat dua strategi yang bertolak belakang. Dua strategi tersebut adalah ekspositori (pemberitahuan) dan heuristik (penemuan). Dalam praktik selama puluhan tahun, ternyata strategi yang digunakan adalah strategi akspositori, terutama untuk membuat siswa pada gilirannya siap mengikuti ujian nasional model lama.

Dalam kaitan dengan metode dan media, strategi pembelajaran yang paling dominan digunakan adalah latihan soal ujian (metode latihan), dengan media buku serta papan tulis untuk berlatih. Padahal, idealnya, latihan soal ujian memang diperlukan, tetapi perlu disesuaikan dengan bakat dan minat siswa, dan berbasis penemuan sendiri oleh siswa. Guru lebih banyak menjadi fasilitator sesuai bakat dan minat siswa, dan bukan hanya informator.

Baca juga: Belajar dengan Merdeka

Terkait evaluasi pendidikan, dalam evaluasi terdapat dua cara evaluasi yang bertolak belakang. Dua cara evaluasi dimaksud adalah evaluasi acuan patokan dan evaluasi acuan norma. Dua jenis evaluasi ini mestinya digunakan secara proporsional. Namun, dalam praktik, jenis yang paling sering digunakan adalah acuan patokan.

Contoh paling konkret adalah ujian nasional versi lama. Porsi evaluasi acuan patokan lebih besar digunakan untuk pendidikan kejuruan dan pendidikan tinggi sebagai pendidikan terminal. Jadi, sinergi kedua jenis acuan dalam evaluasi tersebut adalah penggunaannya secara proporsional sesuai dengan jenis pendidikan.

Kelemahan-kelemahan praktik pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas merupakan tantangan serius pelaksanaan Merdeka Belajar. Semoga pihak-pihak terkait paham duduk perkara pendidikan negeri ini, dan membuka lebar pintu pelaksanaan Merdeka Belajar. Semoga.

Anselmus JE Toenlioe

DOK. PRIBADI

Anselmus JE Toenlioe

Anselmus JE Toenlioe, Dosen dan Wakil Ketua 1 STIPAK Duta Harapan Malang

Editor: YOVITA ARIKA