JAKARTA, KOMPAS – Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset tak kunjung dibahas di DPR. Hal tersebut menunjukkan rendahnya komitmen DPR dan para elite partai politik terhadap pemberantasan korupsi.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengirimkan surat presiden (surpres) terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset berikut naskah RUU kepada pimpinan DPR pada 4 Mei 2023. Dalam surpres tersebut, Presiden menugasi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo mewakili pemerintah membahas RUU tersebut (Kompas.id, 10/5/2023).

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman, Rabu (1/11/2023), menilai tak kunjung dibahasnya RUU Perampasan Aset menunjukkan, rendahnya komitmen DPR dalam pemberantasan korupsi.

”Apakah karena mungkin mereka takut terhadap RUU ini dapat menjadi bumerang suatu saat bagi elite-elite atau seperti apa,” ujar Zaenur.

https://cdn-assetd.kompas.id/bV_TUfJL-Qnvadni3pmegA57HYk=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F02%2Fc43cb977-97ca-420c-be73-3b9bbf9e846e_jpg.jpg

Tak hanya itu, hal tersebut juga menunjukkan rendahnya komitmen elite partai politik. Jika ada komitmen yang kuat dari elit-elit partai politik, tentu akan memberi perintah kepada anggota DPR dari partainya untuk mendukung pengesahan RUU Perampasan Aset ini. Zaenur juga melihat bahwa RUU ini terkendala karena Presiden tidak melakukan konsolidasi politik.

”(Presiden) sekadar memberikan surpres. Setelah surpres dikirim ke DPR kemudian menyerahkan sepenuhnya kepada DPR. Padahal, Presiden dalam beberapa kesempatan sebelumnya selalu melakukan konsolidasi politik sehingga RUU yang diusungnya dapat dibahas, misalnya dalam UU Cipta Kerja, Presiden mengonsolidasi partai-partai pendukung untuk membahas dan mengesahkan,” ujarnya lagi.

Di sisi lain, RUU Perampasan Aset juga bukan satu satunya ”obat dari segala obat” masalah korupsi. Perampasan aset hasil kejahatan dalam RUU tersebut baru bisa dilakukan dalam hal tersangka atau terdakwanya meninggal, melarikan diri, sakit permanen atau tidak diketahui keberadaannya atau terdakwanya diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Untuk perkara-perkara yang terdakwanya ada, tidak bisa dirampas asetnya, harus tetap menggunakan mekanisme pidana.

Namun, setidaknya untuk kasus-kasus yang diputus lepas, asetnya bisa dikejar dengan RUU Perampasan Aset jika disahkan menjadi UU. Pengembalian aset (asset recovery) akan jauh lebih optimal. Bagi para buron tindak pidana korupsi hartanya di dalam negeri bisa dirampas untuk negara.

https://cdn-assetd.kompas.id/0gfW1nbrOAcbI_HsmhKRsmbFJ8Y=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F07%2F405c7949-deb3-40fd-b5c6-41eae1fbc719_jpg.jpg

Meski RUU Perampasan Aset sangat dibutuhkan, tetapi bukan satu-satunya yang dibutuhkan, masih diperlukan perbaikan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pemberantasan korupsi. Sebagai contoh, revisi UU Tindak Pidana Korupsi dan pembatasan transaksi uang kartal.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, menuturkan, sampai saat ini, RUU itu belum pernah secara resmi diumumkan dan dibacakan dalam Rapat Paripurna DPR. Pihaknya juga belum mendapatkan naskah RUU Perampasan Aset.

”Mesti tanya kepada Ketua DPR, RUU itu mangkraknya di mana,” ujar Benny.

Mei lalu, Ketua DPR Puan Maharani, mengatakan, DPR sudah menerima surpres terkait RUU Perampasan Aset. Namun, masih ada mekanisme yang harus dilalui sebelum akhirnya surpres dibacakan di rapat paripurna terdekat. Ia pun berjanji jika RUU sudah mulai masuk tahap pembahasan, prosesnya akan berjalan cepat, tetapi tetap hati-hati dan membuka ruang partisipasi publik.

 
 
Editor:
ANTONIUS PONCO ANGGORO