Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi berdiri, ratusan penyelenggara negara dari pusat hingga daerah ditangkap karena dugaan korupsi. Sebagian dari kasus korupsi itu tak bisa dilepaskan dari proses politik. Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) yang menjadi bagian dari penguatan partai politik dalam aksi pencegahan korupsi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) dinilai bisa menekan korupsi karena keuangan parpol jadi terbuka. Namun, ada tantangan dalam mengimplementasikannya.
Ilustrasi korupsi terkait proses politik antara lain terlihat dari kasus Bupati nonaktif Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S Bahat dan istrinya, Ary Egahni, yang merupakan bekas anggota DPR. Mereka diduga memotong anggaran dan menerima gratifikasi untuk mendanai kontestasi di pemilihan kepala daerah dan pemilu legislatif, serta membayar lembaga survei nasional.
Jelang Pemilu 2019, KPK juga menangkap bekas anggota Komisi VI DPR, Bowo Sidik Pangarso, yang menerima suap. Penyidik menyita 82 kardus berisi 400.000 amplop yang masing-masing berisi uang pecahan Rp 20.000 dan 50.000. Uang Rp 8 miliar itu diduga KPK untuk pendanaan politik alias ”serangan fajar”.
Baru-baru ini, bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo ditahan KPK terkait kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut ada dugaan penggunaan uang miliaran rupiah untuk kepentingan Partai Nasdem dari kasus tersebut. Partai Nasdem membantah informasi itu. Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Hermawi Taslim mempersilakan KPK mengusut temuan itu.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo resmi ditahan dan diekspos di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, terkait dugaan kasus korupsi di Kementerian Pertanian, Jumat (13/10/2023) malam.
Sejak 2004 sampai dengan 2023, KPK telah mengusut 344 anggota DPR dan DPRD, 24 gubernur, serta 159 wali kota/bupati dan wakilnya. Adapun jumlah koruptor yang ditangani KPK mencapai 1.605 orang.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK yang juga Koordinator Pelaksana Stranas PK Pahala Nainggolan saat dihubungi dari Jakarta, Senin (23/10/2023), menuturkan, hampir sebagian besar perkara yang ditangani KPK bersinggungan dengan korupsi politik. Dia melihat, korupsi politik direpresentasikan dengan anggota Dewan, baik itu DPR maupun DPRD karena fungsi anggaran ada di legislasi. Hasil korupsi pada ujungnya sebagian untuk parpol. Sebab, anggota Dewan dianggap kader yang bertanggung jawab terhadap keuangan parpol.
Ketua Majelis Pertimbangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) M Romahurmuziy menceritakan, mayoritas politisi melakukan korupsi karena kebutuhan politik. Namun, ada juga untuk gaya hidup dan sebagian kecil perkara korupsi politik merupakan politisasi hukum.
Romahurmuziy mengungkapkan, biaya politik di Indonesia cukup tinggi. Untuk menjadi calon legislatif DPR dibutuhkan Rp 10 miliar sampai Rp 35 miliar dan menjadi kepala daerah membutuhkan Rp 20 miliar sampai Rp 300 miliar.
”Hampir seluruh anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota dipastikan ’menyekolahkan’ SK pengangkatannya ke BPD (Bank Pembangunan Daerah) setempat,” ungkap Romahurmuziy yang pernah divonis dalam kasus suap.
ALIF ICHWAN
Terdakwa kasus suap jual-beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama, Muhammad Romahurmuziy atau Romi, seusai menjalani sidang dengan agenda pembacaan vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (20/1/2020). Bekas Ketua Umum PPP itu divonis pidana penjara 2 tahun dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan.
Menurut Romahurmuziy, situasi itu membuat pejabat terpilih memiliki beban yang harus dikembalikan saat menjabat. Apalagi, di tahun keempat atau belum selesai siklus lima tahunan, mereka harus menyiapkan biaya untuk bertarung lagi pada periode selanjutnya.
Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno, secara terpisah, menuturkan, demokrasi di Indonesia mengharuskan kontestan, baik itu legislatif maupun eksekutif, tarung bebas sehingga menimbulkan biaya politik mahal. Dalam situasi ini, ada celah masuknya sponsor sehingga terjadi korupsi. Di sisi lain, penegakan hukum belum tegas.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat, Santoso, juga mengungkapkan korupsi yang dilakukan politisi di eksekutif dan legislatif karena salah satunya pembiayaan parpol yang cukup besar. Sementara itu, bantuan keuangan bagi parpol tidak besar. Anggota parlemen dari semua partai sudah dikenakan iuran tiap bulan untuk menutupi kegiatan partai, tetapi masih belum memadai.
Penguatan partai politik melalui kenaikan bantuan keuangan dari pemerintah yang diiringi dengan pengimplementasian SIPP bisa mencegah korupsi politik. Menurut Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan, hal itu merupakan salah satu aksi pencegahan korupsi Stranas PK 2023-2024. Tantangannya, penerapan SIPP masih belum bisa dipaksakan ke parpol sehingga membutuhkan payung hukum yang mengikat.
Adapun saat ini parpol yang masuk parlemen mendapatkan bantuan Rp 1.000 per suara. Total suara parpol di parlemen 125 juta suara sehingga jumlah anggaran negara yang dikeluarkan untuk parpol di tingkat pusat Rp 125 miliar. Sementara itu, jumlah bantuan dana parpol di tingkat daerah ditentukan setiap kepala daerah yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Angka ini masih sangat jauh dari kebutuhan operasional parpol.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan (kanan) berbicara saat konferensi pers di Gedung Radius Prawiro, Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (1/3/2023).
Pahala menjelaskan, Stranas PK telah mengeluarkan rekomendasi terkait perbaikan parpol yang terdiri dari standar etik, demokrasi internal, kaderisasi, rekrutmen, serta keuangan yang transparan dan akuntabel guna mencegah korupsi politik. Lima hal tersebut merupakan komponen SIPP yang merupakan pengejawantahan tata kelola internal parpol yang diatur dalam UU Partai Politik.
Menurut Pahala, strategi tersebut bisa membantu menekan korupsi politik. Sebab, partai menjadi punya dana cukup, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. ”Jadi, (parpol) tidak terlalu bergantung pada sumbangan atau aliran dana kader/pengusaha. Selain itu, keuangan (parpol) menjadi terbuka,” jelasnya.
Pengajar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, itikad baik pimpinan dan elite parpol untuk mau berubah dan mereformasi demokrasi internal partai sangat diperlukan untuk mewujudkan tata kelola partai yang modern, bersih, dan antikorupsi. Namun, selama ini perubahan kebijakan terkendala sikap elite politik di parlemen yang cenderung hanya mengambil insentif, tetapi enggan mengimplementasikan pengawasan dan akuntabilitas yang menyertainya.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Titi Anggraini