Sebelumnya, MK pernah memutuskan perkara terkait pemilu secara cepat. Misalnya, perkara 102/PUU-VII/2009 diputuskan dalam waktu singkat. Perkara itu membahas penggunaan hak pilih dengan KTP atau paspor yang dapat dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS luar negeri setempat.
Para pemohon, yaitu Refly Harun dan Maheswara Prabandono, mengajukan permohonan dengan surat permohonannya bertanggal 16 Juni 2009 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 24 Juni 2009. Perkara itu diputuskan pada 6 Juli 2009. ”Setelah sidang pembukaan langsung diputuskan. Jadi, ini dimungkinkan karena ada urgensinya,” katanya.
Pengajar hukum tata negara, Universitas Andalas, Feri Amsari, juga mendorong putusan segera perkara 141 karena hakim sudah mendengar substansi yang dipersoalkan serta keterangan dari para pihak seperti pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. ”Dengan begitu, seharusnya MK bisa langsung menjatuhkan putusan,” katanya.
Menurut Feri, asas persidangan adalah berbiaya ringan, terbuka, dan cepat. Dengan begitu, seharusnya keputusan perkara 141 dapat dilakukan secara cepat. ”Meskipun undang-undang tidak mengatur jumlah hari untuk memutuskan suatu perkara, tetapi kalau hakim sudah punya keyakinan untuk memutuskan, maka tidak perlu menunggu waktu lama,” ujarnya.
Ia menjelaskan, putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal batas usia capres dan cawapres yang diajukan Almas Tsaqibbirru bermasalah. Agar kebijakan hukum terbuka konsisten, seharusnya majelis hakim mengabaikan putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan menggunakan perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 untuk memperbaikinya.
Ia juga mengatakan, putusan terhadap perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 mempunyai kesalahan fatal karena memberlakukan aturan baru yang keputusannya melibatkan keluarga istana terlalu dalam. Majelis Kehormatan MK telah menjatuhkan sanksi berat terhadap salah satu hakim konstitusi, Anwar Usman, berupa pencopotan jabatannya dari Ketua MK dan menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif terhadap para hakim konstitusi.
”Kalaupun ada syarat dan tahapan pemilu yang hendak diperbaiki, seharusnya, penerapan putusan perkara Nomor 90 diberlakukan pada pemilu selanjutnya,” kata Feri.
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari