Dengan Platform Merdeka Mengajar, guru sibuk belajar modul, bukan mengajar. Setiap pengerjaan modul dihargai centang hijau.
”Bagaimana pengerjaan modulnya, Pak? Sudah dikerjakan? Sekolah kita Sekolah Penggerak! Jumlah guru yang mengerjakan modul PMM sangat penting dan secara otomatis akan terekap. Mohon kerja samanya, Pak!”
Kutipan di atas mungkin sekarang sering terdengar di sekolah-sekolah, terutama yang berpredikat sebagai Sekolah Penggerak. Guru-guru diingatkan oleh Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum untuk mempelajari dan melengkapi modul PMM (Platform Merdeka Mengajar) sebagai bagian utama Kurikulum Merdeka dan program Guru Penggerak.
Kurikulum yang diperkenalkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim pada 2019 ini memiliki semangat untuk menciptakan pembelajaran yang terpusat kepada siswa, serta guru-guru dan siswanya mempunyai kebebasan untuk berinovasi, dan belajar dengan mandiri dan kreatif.
Dengan landasan semangat tersebut, kurikulum ini perlu didukung. Di masa lalu, guru mempersiapkan siswa untuk kehidupan yang stabil. Namun, dengan perubahan zaman, kini siswa perlu disiapkan dan bersiap menghadapi ketidakstabilan sehingga mereka dapat beradaptasi terhadap perubahan yang sering terjadi di setiap aspek kehidupan (Kress, 2000).
Pendidikan masa depan menuntut guru merancang proses pendidikan yang berpusat kepada siswa (Mamurov, 2017). Guru perlu dididik tentang bagaimana melakukan hal ini dengan memperkenalkan mereka kepada pendekatan pengajaran yang tepat. Namun, pada saat yang sama, guru harus bebas memilih apa yang mereka butuhkan untuk pengajaran mereka.
Baca juga: Lipatan dalam Kurikulum Merdeka
Kennedy dkk (2008) mengklasifikasikan guru terbaik sebagai orang-orang yang cerdas dan terpelajar, yang ”cukup pintar dan cukup bijaksana untuk memahami nuansa pengajaran dalam proses melakukannya” (hal 3). Memilih pendekatan pengajaran yang tepat untuk kelas mereka adalah bagian dari otonomi guru, sementara memberikan pengembangan profesional untuk membantu mereka belajar dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan adalah suatu keharusan.
Dengan program Guru Penggerak, penulis mengasumsikan pemerintah sedang berusaha memberikan program pengembangan profesional untuk guru. Sesungguhnya hal ini sudah pernah juga dilakukan berupa Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), sekaitan dengan program sertifikasi guru yang dimulai pada 2007 dan program Guru Inti (instruktur, guru inti, guru sasaran) ketika Kurikulum 2013 diperkenalkan.
Dengan program-program tersebut, dapat terlihat bahwa pemerintah senantiasa berusaha menyediakan program TPD (Teacher Professional Development) untuk guru. Pertanyaannya adalah, apakah program-program tersebut sudah menjawab atau belum permasalahan masih rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia? Atau malah sudah terlalu banyak TPD dan guru selalu sibuk dengan TPD?
ATIEK ISHLAHIYAH AL HAMASY
Guru di SMA Tri Ratna Jakarta tengah mengajar siswa kelas 10, Kamis (11/5/2023).
Berbicara tentang program Guru Penggerak, sebagai awam yang baru kembali masuk ke lingkungan sekolah, ada hal-hal yang membuat penulis terkejut. Penulis mencoba mengamati, sedikit-sedikit belajar dan terus terang pikiran dan hati penulis belum sepenuhnya memahami dan menerima. Untuk saat ini, penulis mungkin bisa dikategorikan berada dalam kelompok yang mempertanyakan dan cenderung resisten terhadap program ini.
Penulis mendengar kepala sekolah senantiasa memotivasi guru untuk berlomba-lomba menyelesaikan modul dan merekapitulasi jumlah sertifikat. Penulis mencoba mengakses PMM dan timbul pertanyaan tentang makna penamaan platform, Merdeka Mengajar. Yang terlihat adalah modul-modul tentang pengenalan Kurikulum Merdeka dan materi-materi seperti mata kuliah MKDK (Mata Kuliah Dasar Kependidikan) ketika masa perkuliahan dahulu.
Dalam kesimpulan penulis, modul-modul tersebut adalah materi mata kuliah yang disederhanakan/disempurnakan dengan dilengkapi tuntutan mengerjakan post-test dan mengunggah (upload) video aksi nyata. Kesimpulan penulis berikutnya, guru-guru sedang berkuliah di sekolah dan hulu permasalahan dipindah ke sekolah. Seperti dilaporkan detiknews dalam ”Guru Penggerak dan Matinya Karier Guru Senior”, ada kesan Guru Penggerak lebih diprioritaskan untuk guru-guru muda (di bawah 50 tahun). Dengan demikian, asumsinya mereka seharusnya masih cukup fresh dengan materi MKDK.
Kalau begitu, apakah tidak seharusnya kita melihat permasalahan lebih ke hulu? Bagaimana peran lembaga penyedia guru? Bagaimana mahasiswa yang ditampung di sana? Mungkin ada baiknya juga ketika kita membahas guru, proses penyaringan masuk dan pembelajaran mereka sebelum berstatus sarjana pendidikan (SPd) juga dikaji. Dengan kata lain, permasalahan pendidikan di Indonesia lebih kompleks dan lebih kepada filosofi pendidikan yang seharusnya lebih luas (bisa mengacu kepada artikel Kompas.com yang berjudul ”7 Sistem Pendidikan Finlandia yang Membuat Negara Lain Merasa Malu”).
Aktif belajar diartikan hanya sebagai siswa aktif mencatat. Kalau demikian, kapan kita akan bisa bicara tentang keterampilan global yang diperlukan siswa seperti kemampuan berkomunikasi dan berpikir kritis?
Kembali pada penamaan platform, Merdeka Mengajar. Dari pengamatan penulis di sekolah, yang terlihat justru guru sibuk belajar, bukan mengajar. Guru sibuk belajar modul, kemudian melengkapi dengan video dan foto, sebagai aksi nyata. Setiap proses pengerjaan modul akan dihargai dengan centang hijau. Ketika semua centang sudah lengkap, guru membuat bukti aksi nyata, menunggu dan kemudian memperoleh sertifikat untuk dilaporkan.
Apakah modul benar–benar dibaca? Mungkin tidak untuk semua guru. Video di modul bisa di klik saja, tidak didengar saksama dan sampai usai. Yang penting, centang hijau! Pertanyaannya, Merdeka Mengajar-nya di mana? Seorang siswa malah pernah berkata, ”Kata Ibu A, pokoknya kalian cari saja, belajar sendiri. Ibu tidak lagi akan menerangkan. Itulah cara belajar sekarang!”
Apakah seperti ini yang disebut pembelajaran berpusat kepada siswa? Penulis rasa tidak demikian. Tetap harus ada pengarahan, diskusi, bertukar pendapat antara guru dan siswa. Terpikir, akankah akhirnya nanti akan terulang kembali seperti CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) ketika sesungguhnya guru-guru tidak memahami bagaimana cara membuat siswa aktif belajar.
Aktif belajar diartikan hanya sebagai siswa aktif mencatat. Kalau demikian, kapan kita akan bisa bicara tentang keterampilan global yang diperlukan siswa seperti kemampuan berkomunikasi dan berpikir kritis? Yang sekarang ditemui di catatan siswa, penggunaan bahasa Indonesia/EYD saja masih bermasalah. Maka, kesan yang terlihat sekarang, guru-guru dan sekolah seolah sibuk berburu gelar penggerak, tetapi esensi pengajaran dan pembelajaran sesungguhnya terabaikan.
Kejadian lain yang membuat penulis terkesima adalah sharing dari salah seorang wali kelas. Dia bercerita bahwa salah seorang siswa di kelasnya hampir selalu tidak hadir di hari Selasa. Kenapa? Karena siswa tersebut takut belajar salah satu mata pelajaran (beserta gurunya) di hari tersebut. Guru yang ditakuti siswa tersebut adalah seorang Guru Penggerak yang sudah aktif sejak awal program diluncurkan dan beberapa kali memperoleh penghargaan.
Apakah sudah diupayakan solusi oleh wali kelas dan sekolah? Sudah, tetapi siswa bersangkutan tetap sering tidak hadir pada hari tersebut atau tiba-tiba sakit ketika jam mata pelajaran yang ditakutinya tersebut. Bahkan, dia bersedia menandatangani surat pernyataan akan menerima jika nilainya dinyatakan tidak tuntas.
Dalam pemikiran penulis, sejatinya jika guru dan sekolah sudah pada level penggerak, hal seperti ini tidak seharusnya terjadi. Kalaupun terjadi, harus ada solusi lain, seperti siswa bersangkutan dititipkan di kelas lain dan mencoba belajar mata pelajaran tersebut dengan guru lain. Pada saat bersamaan, guru Bimbingan Konseling (BK) juga bisa dilibatkan dan aktif membantu menyelesaikan permasalahan ini.
Dengan demikian, prinsip Kurikulum Merdeka dengan pembelajaran berdiferensiasinya benar-benar terwujud. Setiap perbedaan individual siswa benar-benar diakui dan segala upaya untuk memberikan pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa benar-benar dilakukan.
Baca juga: Merdeka Belajar Sistemik
Wajar dan seharusnya jika kita senantiasa berusaha mencari solusi terhadap setiap permasalahan yang kita hadapi. Namun, dalam pemikiran penulis, permasalahan pendidikan di Indonesia cukup kompleks dan sekarang termasuk salah satunya, pemerintah yang terkesan terlalu sering mengadakan uji coba di sekolah.
Apakah studi tentang pengaruh perubahan-perubahan kebijakan/kurikulum terhadap guru dan siswa sudah benar–benar sudah dipertimbangkan? Seorang guru BK berkomentar bahwa siswa kelas XII seperti terlena melihat adik-adik mereka (kelas X dan XI) bermain-main dengan Kurikulum Merdeka Belajar. Sementara, siswa kelas XII tersebut memiliki tuntutan yang berbeda dengan apa yang akan dihadapi adik-adiknya tahun depan.
Sebagai penutup, penulis berandai–andai, apakah tidak sebaiknya modul-modul di PMM didiskusikan guru-guru di MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) sebagai komunitas belajar mereka? Tidak perlu ada tuntutan kepada guru untuk memperoleh sertifikat sebanyak-banyaknya, apalagi sampai persaingan.
Selain itu, penulis meyakini bahwa sesuatu yang menjadi perantara antara guru dan siswa adalah metodologi mengajar. Karena itu, guru mungkin lebih memerlukan bantuan tentang bagaimana cara mengajar sesuai konteks pengajaran mereka. Sekali lagi, hal ini bisa dilakukan di sanggar MGMP dengan guru saling berbagi pengalaman dan melakukan refleksi. Untuk kedua solusi yang penulis andaikan ini, peran pengawas sekolah dan fasilitator MGMP-lah yang perlu lebih dioptimalkan.
Nurhemida, Mahasiswa di The University of Queensland; Guru di Sumatera Barat