Implementasi Kurikulum Merdeka belum maksimal. Perlu pendekatan jitu agar semua tujuan baik dapat tersampaikan.

 
Oleh:
MUH FAJARUDDIN ATSNAN
 

https://cdn-assetd.kompas.id/EEzi2B1mxTTX-KN9_LH12ZxtR3g=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F15%2Ff2b00413-77fc-48b4-a006-b6c50d89283c_jpg.jpg

Kalau dilihat dari nama, istilah Kurikulum Merdeka menghadirkan rasa kebahagiaan. Kurikulum dimaknai sebagai semua kegiatan yang diberikan sekolah, khususnya pendidik (guru), kepada peserta didik sebagai bentuk tanggung jawab. Sementara merdeka, juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dimaknai dalam tiga kondisi, yaitu (1) bebas (dari perhambatan, penjajahan, dan sebagainya), berdiri sendiri; (2) tidak terkena atau lepas dari tuntutan; (3) tidak terikat, tidak oleh tergantung dari orang atau pihak tertentu.

Ketika dua kata tersebut dipadukan, sederhananya Kurikulum Merdeka dimaknai sebagai bentuk kebebasan pendidik dalam merancang perangkat pembelajaran sesuai bidang masing-masing untuk disampaikan kepada peserta didik. Sejak kurikulum pertama lahir pada 1947 hingga Kurikulum 2013, bisa dikatakan bahwa Kurikulum Merdeka adalah the real curriculum yang memberikan kebebasan kepada pendidik agar mengajak peserta didik untuk aktif dan konstruktif dalam membangun pengetahuan. Bukan sekadar makna filosofis, murid aktif, tetapi benar-benar diaplikasikan dalam proyek dan kegiatan nyata di dalam maupun luar kelas.

Baca juga: Mengapa Kurikulum Merdeka

Adakah batasan?

Namun mungkin, sejak Kurikulum Merdeka diluncurkan dan dikenalkan ke publik, tidak sedikit pendidik, peserta didik, dan warga sekolah lain, bahkan orangtua dan masyarakat yang bertanya-tanya, merdeka yang dimaksud itu sejauh dan sebebas mana? Adakah batasan dan standar yang jelas?

Dalam pandangan penulis, merdeka di sini bermakna keleluasaan atau kebebasan yang bertanggung jawab. Artinya, benar bahwa pendidikan diberikan ruang gerak yang lebih luwes untuk mengembangkan pembelajarannya, tetapi mengacu kepada rambu-rambu dan tujuan pembelajaran yang telah diamanatkan pada Kurikulum Merdeka.

Namun, kalau boleh menyebut satu kekurangan dari Kurikulum Merdeka ini adalah belum maksimalnya implementasinya terutama sekolah-sekolah yang berada di tapal batas (pinggiran). Namun, untuk kurikulum seumur jagung, tidak elok rasanya jika kita mengadili dan menyatakan Kurikulum Merdeka gagal, implementasi acakadut, dan sebagainya.

Namun, kalau boleh menyebut satu kekurangan dari Kurikulum Merdeka ini adalah belum maksimalnya implementasinya terutama sekolah-sekolah yang berada di tapal batas (pinggiran).

Perlu diakui juga bahwa desain ciamik Kurikulum Merdeka Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim terkadang dihadapkan pada problematika klasik, seperti miskonsepsi implementasi Kurikulum Merdeka, salah menerjemahkan dan bingung memahami karena tidak senada dan seirama apa yang diinginkan. Pusat menyampaikannya A, tetapi sampai di sekolah diterima sebagai B.

Dengan kata lain, tidak segaris koordinat penyamaan persepsi dari Kemendikbudristek hingga tingkat sekolah-sekolah sebagai pelaksana kebijakan, sampai lagu lama minimnya sarana dan prasarana yang dimiliki sehingga dianggap sebagai kambing hitam tersendatnya implementasi Kurikulum Merdeka. Ditambah, kultur, budaya, kebiasaan masyarakat terdidik kita yang tak familiar dengan kebiasaan ”baik”, seperti gemar membaca, cakap menghitung, berakhlak mulia, dan perangai terpuji. Itu semua ada pada kata kunci Kurikulum Merdeka, yakni literasi, numerasi, pembelajaran berdiferensiasi, hingga Profil Pelajar Pancasila.

https://cdn-assetd.kompas.id/OY8DfXmYIG5ggFy89mLqZO9NdW4=/1024x534/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F09%2F27%2FProfil-Pelajar-Pancasila_1601205806_png.jpg

Diberi keleluasaan

Padahal, pada khitah Kurikulum Merdeka, pendidik (guru) diberikan keleluasaan untuk mengembangkan pembelajaran inovatif, kreatif, dan menyenangkan di kelasnya. Modul ajar ataupun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) plus yang direpository Kemendikbudristek hanyalah gambaran, contoh bagaimana sistematikanya, dan komponen apa saja yang mesti ada di dalamnya. Selebihnya adalah hak dan kewenangan prerogatif guru untuk mendesain seindah mungkin, yang disesuaikan dengan kondisi faktual peserta didik yang diampu.

Setidaknya, ada tiga kebebasan guru dalam mengejawantahkan implementasi Kurikulum Merdeka. Pertama, guru bebas mengembangkan RPP. Hal yang menghantui guru-guru selama implementasi Kurikulum Merdeka adalah berkutat kepada pertanyaan boleh tidak jika RPP plus alias modul ajar yang dikembangkan tidak seperti yang dimodelkan Kemendikbudristek? Jawabannya boleh banget. Yang tidak boleh itu merancang, menyusun modul ajar yang hanya copy paste, comot sana-sini.

Keberhasilan guru dalam mengajar salah satu indikatornya adalah berhasil membuat rancangan pembelajaran yang disusun sendiri, berdasarkan situasi faktual, riil, yang dihadapi. Misalnya, manakah yang lebih tepat dipilih guru-guru di Papua, apakah mencontohkan pantai di Raja Ampat atau pantai Pangandaran ke peserta didik? Tentu lebih bijak mengambil contoh pantai di Raja Ampat, kalau perlu anak-anak diajak langsung rekreasi sambil belajar, itulah pengembangan yang kontekstual, dekat dengan peserta didik.

Baca juga: Lipatan dalam Kurikulum Merdeka

Di sinilah kebebasan dan keleluasaan yang difasilitasi melalui Kurikulum Merdeka, di mana guru ”bebas” bertanggung jawab merancang pembelajaran yang kontekstual dan dekat dengan anak didik. Ketika guru benar-benar merancang sendiri dan berkolaborasi dengan teman sejawat dalam rumpun keilmuan yang sama, maka pasti pembelajaran akan lebih bermakna.

Kedua, guru bebas mengembangkan Profil Pelajar Pancasila. Tujuan dari Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membekali peserta didik tidak hanya keterampilan dan mengasah kemampuan berpikir kritis, rasa ingin tahu, kemandirian, tetapi juga berakhlak mulia.

Konsekuensinya luas dan dalam, tetapi yang jelas guru dan pihak sekolah diberikan keleluasaan untuk memilih tema dan topik apa yang akan dikerjakan dalam proyek. Tentu sekali lagi, disesuaikan dengan kondisi faktual di daerahnya. Buku-buku P5 yang beredar hanyalah contoh yang mungkin bisa membantu dan menginspirasi guru dan sekolah untuk mendesain proyek yang jauh lebih menarik.

https://cdn-assetd.kompas.id/TIZ6tmcjXtTcwTydzZH5Y-ZXIJ0=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F14%2F429335c9-9aec-41e3-acc3-46ab647a3d4c_jpg.jpg

Ketiga, guru diberi keleluasaan untuk menilai dan mengevaluasi. Evaluasi, penilaian, salah satu aspek penting dalam pembelajaran. Tanpa evaluasi, pembelajaran hanya akan berputar-putar tanpa target dan tujuan yang jelas. Meskipun penilaian tidak lagi pada tataran lulus tidak lulus, penilaian sebenarnya (authentic assessment) yang dilakukan guru di era Kurikulum Merdeka memberikan arah yang jelas.

Penilaian tersebut diawali dengan tes diagnostik awal, untuk memetakan kesiapan, minat, dan gaya belajar, yang membantu guru mendesain pembelajaran berdiferensiasi agar optimal. Disambung penilaian formatif dan sumatif untuk monitoring tingkat pencapaian tujuan pembelajaran dan alur tujuan pembelajaran apakah sampai di ”tempat tujuan” dengan selamat atau malah nyasar ke ”tempat lain”?

Selain pendidik, Kurikulum Merdeka juga memerdekakan peserta didik untuk belajar sesuai minat dan bakat yang dimiliki. Tantangannya sekarang adalah bagaimana mengakomodasi keunikan anak-anak generasi milenial yang tentu berbeda dengan generasi ”kolonial”. Perlu pendekatan yang jitu agar semua maksud baik Kurikulum Merdeka dapat tersampaikan.

Baca juga: Kurikulum yang Mendewasakan

Terus berjalan

Sebagai bagian dari dunia pendidikan, ada satu harapan pribadi agar Kurikulum Merdeka tetap dan terus berjalan. Perlu evaluasi itu pasti, tetapi semua pihak harus ikhlas dan legawa, menanggalkan egosentris memaksakan istilah baru padahal esensi dan urgensinya sama. Harapan tersebut tidak lain agar para eksekutor di lapangan, yaitu sekolah, guru, peserta didik, mampu menerjemahkan dengan semua apa yang digagas konseptor kurikulum, tidak setengah-setengah, karena kurikulum tanggung, bisa membuat pendidikan linglung dan bingung.

Terakhir, biarkan kaset opini dari para pemerhati pendidikan tentang Kurikulum Merdeka terus diputar, semata-mata demi keberlangsungan kurikulum yang ”memerdekakan” ini tidak berhenti di tengah jalan, dan terus dievaluasi, disempurnakan agar menjadi jalan meniti generasi emas 2045, yang cakap literasi, cakap numerasi, dan siap berkompetisi. Semoga.

Muh Fajaruddin Atsnan, Dosen UIN Antasari Banjarmasin; Penulis Modul Pembelajaran Berdiferensiasi dan Asesmennya Guru-guru di Daerah 3T Kementerian Agama 2023

Editor: YOVITA ARIKA