Sudah sekitar 20 tahun Mahkamah Konstitusi (MK) berdiri. Lembaga negara ini lahir dari rahim amendemen UUD 1945 pada 2001 dan diadopsi dari perkembangan hukum dalam ketatanegaraan modern dari berbagai negara. Sebagai pengawal konstitusi (guardian of constitution), MK menjamin agar tidak ada produk hukum undang-undang yang keluar dari garis konstitusi, sekaligus sebagai perwujudan checks and balances dalam bernegara. Dengan demikian, sungguh besar marwah MK baik secara fungsi, lembaga, maupun hakimnya.
Belakangan ini MK sedang diuji dan diterpa berbagai masalah, pasalnya MK meloloskan uji materi yang mengatur batas usia minimal capres dan cawapres, yang berbeda dengan ketentuan undang-undang. Masyarakat melihat hal ini bukan sekadar masalah MK semata. Ada dialektika politik yang terjadi di belakangnya.
Masih hangat di benak kita, ucapan ”cawe-cawe” yang di klarifikasi Presiden Joko Widodo sebagai ”cawe-cawe” dalam artian positif, yang tidak melanggar aturan, tidak melanggar undang-undang, dan tidak mengotori demokrasi. Dengan adanya putusan MK yang kemudian memberi karpet merah kepada putra Presiden Joko Widodo, suasana kebatinan masyarakat timbul kecurigaan yang mendalam. Inikah jalan suksesi keberlangsungan kekuasaan Presiden Joko Widodo?
Sekiranya pernyataan Lord Acton masih akan terus relevan, ia menyatakan, ”power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”. Artinya: kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.
Pembagian kekuasaan dalam negara Republik Indonesia jelas memisahkan eksekutif dan yudikatif. MK tidaklah berada di bawah Presiden, kedudukannya setara sebagai bagian dari checks dan balances dalam bernegara. Terdapat satu kewajiban MK yang telah ditentukan dalam UUD 1945 perubahan ketiga Pasal 24C Ayat (2), yaitu: ”Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut Undang-Undang Dasar. Maka jelas hanya lembaga MK yang dapat menghukum presiden/wakil presiden.
Mengenai kekuasaan presiden, ada film klasik yang menarik, yang rilis pada 1976, All the President’s Men (Semua anak buah Presiden). Singkatnya, film ini bercerita tentang perjuangan dua wartawan The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein, yang mengungkap keterkaitan Presiden Amerika Richard Nixon (Partai Republik), dengan upaya penyadapan di kantor Partai Demokrat, saingan politiknya.
Marwah MK sebagai lembaga yudikatif harus dikembalikan, hukum harus dijunjung tinggi, keadilan harus ditegakkan, ’fiat justitia ruat caelum’.
Kedua wartawan tersebut mengumpulkan potongan-potongan informasi yang mereka dapatkan dari para narasumbernya, sebelum mereka sampai kepada kesimpulan utama bahwa Presiden Richard Nixon yang saat itu berjuang untuk masa pemilihan kedua melakukan upaya kotor untuk memantau gerak-gerik partai saingannya dari Partai Demokrat. Skandal ini kemudian disebut Watergate. Dan, liputan dua wartawan ini akhirnya membuat Presiden Nixon mundur dari jabatannya, tak lama setelah ia terpilih untuk kedua kalinya sebagai Presiden Amerika.
Mungkin film tersebut hanya intermeso, yang tidak relevan dengan tulisan ini ataupun peristiwa yang terjadi di MK baru-baru ini. Penulis hanya mau menyampaikan, dalam perhelatan kontestasi pemilihan presiden, tidak dibenarkan secara etika dan hukum untuk melakukan tindakan-tindakan curang dan bertentangan dengan hukum. Politik harus dilakukan dengan cara-cara yang beradab dan beretika.
Majelis Kehormatan MK (MKMK) telah dibentuk. Jimly Asshiddiqie, Bintan Saragih, dan Wahiduddin Adams masuk menjadi anggota MKMK untuk menangani banyaknya laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi. Bagaimanapun juga, marwah MK sebagai lembaga yudikatif harus dikembalikan, hukum harus dijunjung tinggi, keadilan harus ditegakkan, fiat justitia ruat caelum (keadilan harus ditegakkan, meskipun langit akan runtuh).
Harapan masyarakat kepada lembaga yudikatif sangat besar, mengingat lembaga inilah (MK dan MA) yang menjadi ujung tombak untuk menyelesaikan segala permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang bebas dan mandiri dari kekuasaan mana pun.
Dalam hubungan antara lembaga negara, UUD 1945 mengandung prinsip checks and balances antarlembaga negara yang satu dengan yang lain berdasarkan prinsip kekuasaan dibatasi kekuasaan (power limited by power) dan bukan kekuasaan mengawasi kekuasaan lain (power supervises other powers), apalagi kekuasaan dikontrol oleh kekuasaan lain (power controls other powers). Kekuasaan pemerintahan dipandang sebagai mahadaya yang harus dibatasi sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Checks and balances menjaga agar suatu cabang pemerintahan tidak terlalu kuat kekuasaannya.
Maka jelaslah hubungannya antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, antara kekuasaan Presiden, DPR/DPD, dan MK/MA. Tidak boleh ada kekuasaan yang diperbolehkan mengontrol MK/MA. Kekuasaan pemerintah dipandang sebagai mahadaya yang harus dibatasi sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Dan, instrumen check and balances menjaga agar suatu cabang kekuasaan tidak terlalu kuat kuasanya.
Muhammad Andi Anwar, Praktisi Hukum, Advokat, Pengacara di Kantor Lawfirm Sholeh, Adnan & Associate (SAA)