Nakhoda baru Mahkamah Konstitusi, Suhartoyo, mempunyai tugas berat untuk mengembalikan marwah Mahkamah Konstitusi pascaputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi karena terbukti melakukan pelanggaran etik berat.

Mahkamah Konstitusi (MK) juga akan menghadapi sengketa hasil Pemilu 2024, baik pemilihan legislatif (pileg) maupun pemilihan presiden (pilpres). Tak ada pilihan, MK harus berhasil menunjukkan performanya sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945].

 

Refleksi

Sebagai refleksi, berdasarkan catatan risalah, para perumus Perubahan UUD 1945 (1999-2002) telah berikhtiar mengantisipasi potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh hakim konstitusi. Sebab, MK adalah satu-satunya peradilan yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.

Hal itu tertuang dalam Pasal 24C Ayat (4) UUD 1945 yang mengatur hakim konstitusi berjumlah sembilan orang yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden (trias politika). Original intent-nya ialah guna menunjukkan perimbangan kekuasaan trias politika dengan menerapkan prinsip saling mengawasi, saling mengimbangi, dan saling menunjang ilmu pengetahuan yang dikuasai masing-masing, demi menemukan putusan yang adil.

Selain itu, ada Pasal 24C Ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan, ”Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara”. Maksud aslinya ialah: pertama, kelak hakim konstitusi haruslah seorang negarawan yang bijak, bestari, dan sanggup berjarak dari kepentingan sempit kelompok atau golongan, atau terbebas dari konflik kepentingan. Kedua, memiliki visi futuristis tentang bernegara, berintegritas tinggi, dan tak diragukan komitmen dan pengabdiannya kepada NKRI.

https://cdn-assetd.kompas.id/nHxHI5eoTx_RmgNWF9SE9xFn5Is=/1024x1153/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F09%2F8824a485-78e0-4bc1-8b75-e0869358c3b2_jpg.jpg

Benturan MK

Namun, dalam kurun 20 tahun berdirinya, MK beberapa kali terbentur problem etik hingga pidana yang antara lain berupa pembiaran anggota keluarga berhubungan dengan pihak beperkara, surat katebelece untuk ”menitipkan” kerabatnya di kejaksaan, melobi Komisi III DPR supaya dipilih lagi menjadi hakim konstitusi, kasus suap (rasuah), mengubah naskah amar putusan, hingga kasus etik ”Mahkamah Keluarga”.

Bahkan, dalam beberapa kali pengujian UU MK, MK juga menyoal tentang usia hakim dan kepaniteraan MK yang sebenarnya hal itu potensial mengandung konflik kepentingan pribadi para hakim dan struktur birokrasi pendukungnya. Selain itu, ada pula upaya dari eksternal untuk mengganggu independensi MK, yaitu berupa pencopotan (recall) Hakim Konstitusi Aswanto di ”tengah jalan” oleh DPR akibat dianggap terlalu sering membatalkan UU. Termasuk pula adanya ancaman boikot atau menyunat anggaran MK saat uji materi UU Pemilu sistem proporsional terbuka, beberapa waktu yang lalu.

Guna meminimalisasi keraguan dan public distrust, MK sepatutnya mempertimbangkan untuk sepenuhnya menonaktifkan Anwar Usman—kecuali ia mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi.

Elan vital

Rapuhnya pertahanan internal MK tersebut diharapkan akan dapat diatasi apabila MK mampu mengembalikan elan vitalnya sebagai pengawal tegaknya konstitusi, setidaknya dengan cara:

Pertama, MK menyadari sepenuhnya bahwa ia terikat kewajiban untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat [Pasal 5 Ayat (1) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman]. Namun, patut digarisbawahi bahwa masih terbuka kemungkinan adanya abuse of power dengan berlindung di balik frasa ”berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final”.

Alih-alih berupaya menemukan kebenaran, suatu pertimbangan hukum dapat pula disusun menjadi alasan pembenaran guna meloloskan suatu tujuan tertentu yang bertentangan dengan akal sehat (penalaran yang wajar), hati nurani, dan etika. Dengan demikian, perlu ada opsi guna menguji Pasal 10 Ayat (1) UU MK dengan meminta MK melakukan tafsir ekstensif pada frasa tersebut supaya dimaknai suatu putusan dapat diuji kembali sepanjang terbukti melanggar kode etik, yaitu pelanggaran kode etik yang secara sistemik potensial berdampak kepada munculnya instabilitas politik dan ketatanegaraan, merusak marwah lembaga kekuasaan kehakiman, mencederai demokrasi, mendisharmoni kehidupan berbangsa dan bernegara, serta bertentangan dengan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kedua, guna meminimalisasi keraguan dan public distrust, MK sepatutnya mempertimbangkan untuk sepenuhnya menonaktifkan Anwar Usman—kecuali ia mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi—sehingga ia pun dilarang berkantor, khususnya selama penyelesaian sengketa hasil pemilu.

Ketiga, dengan menyisakan delapan hakim, MK perlu menyusun manajemen penanganan perkara yang dapat menghindarkan potensi benturan kepentingan antara hakim maupun unsur kepegawaian pendukungnya dengan para pihak yang nantinya beperkara.

Keempat, MK perlu segera membentuk MKMK permanen supaya kinerja dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan berkesinambungan dengan penegakan etika.

Wiwik Budi Wasito, Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi 2009-2016; Pemerhati Hukum UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Instagram: wiwikbw

Wiwik Budi Wasito

SPI.UIN-MALANG.AC.ID

Wiwik Budi Wasito

 
 
Editor:
YOVITA ARIKA