JAKARTA, KOMPAS — Melalui siaran pers, Sabtu (21/10/2023), Mahkamah Konstitusi memberitahukan bahwa Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman akan mengumumkan proses pembentukan Majelis Kehormatan MK pada Senin (Senin, 23/10/2023). Apabila Majelis Kehormatan terbentuk, lembaga penegakan etik tersebut diminta untuk mengeluarkan putusan provisi yang menyatakan putusan 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia calon presiden-calon wakil presiden tidak dapat dijadikan dasar untuk pengajuan calon presiden atau calon wakil presiden.

Permintaan tersebut diungkapkan oleh Denny Indrayana, mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang juga merupakan salah satu pelapor dugaan pelanggaran kode etik Hakim Konstitusi Anwar Usman terkait pemeriksaan perkara 90/PUU-XXI/2023 yang menguji konstitusionalitas syarat minimal usia capres dan cawapres.

 

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman akan mengumumkan proses pembentukan Majelis Kehormatan MK pada Senin (23/10/2023).

Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa meskipun belum menginjak usia 40 tahun, seseorang dapat mengajukan diri dalam kontestasi pemilihan presiden asalkan pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah. Putusan itu dijatuhkan tidak bulat. Sebanyak dua hakim konstitusi mengajukan concurring opinion atau pertimbangan berbeda, sedangkan empat hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion.

Denny Indrayana sudah melaporkan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Anwar Usman sejak 27 Agustus 2023 atau jauh-jauh hari dari putusan 90/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada 16 Oktober lalu. Ia mendorong agar MK segera membentuk Majelis Kehormatan MK dan segera memeriksa hakim-hakim teradu.

”Putusan Majelis Kehormatan MK yang memutus pelanggaran etika bisa menjadi dasar pemberhentian hakim yang melanggar,” ujar Denny.

Hakim Konstitusi Anwar Usman (kanan) dan Saldi Isra menyimak sidang pengujian materiil Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (1/8/2023).

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Hakim Konstitusi Anwar Usman (kanan) dan Saldi Isra menyimak sidang pengujian materiil Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (1/8/2023).

Menurut rencana, berdasarkan siaran pers yang diterbitkan MK, pengumuman proses pembentukan Majelis Kehormatan MK pada Senin (23/10/2023) akan disampaikan oleh MK dalam jumpa pers.

”Dalam konferensi pers tersebut, Ketua MK Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih akan menyampaikan kepada publik berkenaan dengan sejumlah laporan/pengaduan dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi dan perkembangan terkini proses pembentukan Majelis Kehormatan MK,” demikian siaran pers MK.

Telah menunjuk ketua majelis

Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, MK sudah menunjuk mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie sebagai Ketua Majelis Kehormatan dan Bintan R Saragih yang merupakan mantan anggota Dewan Etik periode 2017-2020 sebagai anggota Majelis Kehormatan. Mengacu pada UU MK, keanggotaan Majelis Kehormatan terdiri atas tiga unsur, yakni seorang hakim konstitusi aktif, seorang tokoh masyarakat, dan seorang akademisi hukum.

Hingga Sabtu, MK sudah menerima empat laporan/pengaduan dugaan pelangaran etik terkait dengan putusan 90/PUU-XXI/2023 yang disampaikan oleh elemen-elemen masyarakat. Pengaduan tersebut, antara lain, disampaikan oleh Denny Indrayana, Pergerakan Advokat Nusantara dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), serta Komunitas Advokat Lingkar Nusantara (Lisan) dan Dewan Pimpinan Pusat Advokasi Rakyat untuk Nusantara (ARUN).

Adapun hakim konstitusi yang diadukan, antara lain, Anwar Usman yang diadukan oleh Denny Indrayana, Pergerakan Advokat Nusantara, serta PBHI. Ada pula Hakim Konstitusi Saldi Isra diadukan oleh Lisan dan ARUN. Selain kedua hakim tersebut, PBHI juga mengadukan Manahan MP Sitompul, Guntur Hamzah, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic P Foekh.

Dalam siaran persnya, MK memandang pengaduan tersebut sebagai bentuk perhatian publik kepada institusi tersebut. Lembaga tersebut juga komit untuk mendukung seluruh proses penanganan yang akan dilakukan oleh Majelis Kehormatan secara transparan.

https://cdn-assetd.kompas.id/Ma4EpRVV_ORLhxfC6XrP3yqwvXI=/1024x1388/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F16%2F7d36382d-f862-4c8f-8877-9d8fd64e1e2f_jpg.jpg

Peran krusial

Menurut Denny, Majelis Kehormatan MK saat ini memiliki peran yang sangat kritikal dan krusial. Ibarat sedang sakit parah, MK dalam pandangan mantan Menteri Hukum dan HAM ini sudah masuk level ”ICU” yang disebabkan oleh persoalan etika moralitas yang cenderung dilanggar dalam penanganan perkara 90. Oleh karena itu, Majelis Kehormatan MK harus mengerahkan semua integritas moral dan kapasitas keilmuannya untuk bekerja sepenuh hati demi menyelamatkan MK dan negara hukum Indonesia.

Apabila nantinya terbukti ada pelanggaran etika hakim konstitusi saat menangani putusan 90/PUU-XXI/2023, Denny mengungkapkan bahwa putusan tersebut menjadi tidak sah. Hal itu didasarkan Pasal 17 Ayat (5) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

Menurut Denny, Majelis Kehormatan MK saat ini memiliki peran yang sangat kritikal dan krusial.

Hal ini terkait dengan dugaan bahwa perkara 90/PUU-XXI/2023 memiliki kepentingan untuk memperjuangkan Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo, dalam pemilihan capres-cawapres 2024. Gibran yang saat ini menjabat sebagai Wali Kota Surakarta merupakan kemenakan dari istri Hakim Konstitusi Anwar Usman.

Disebutkan pada Pasal 17 Ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman, seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang beperkara. Pada ayat selanjutnya diatur, apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan itu, maka putusannya dinyatakan tidak sah. Terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan, dikenai sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Denny mengatakan, hakim yang melanggar ketentuan tersebut juga bisa dipidana.

Dalam kaitannya dengan ketentuan tersebut, Denny mengusulkan agar MKMK mengeluarkan putusan provisi yang menyatakan bahwa Putusan 90/PUU-XXI/2023 belum bisa dijadikan dasar untuk pendaftaran Pilpres 2024. Sebab, masih menjadi bahan pemeriksaan Majelis Kehormatan MK.

 
 
Editor:
MADINA NUSRAT