Dalam 1,5 pekan ini, energi publik tersedot untuk menyaksikan perseteruan antara pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam hal ini Firli Bahuri, dengan bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Bermula dari penggeledahan rumah dan kantor Syahrul pada 4 Oktober lalu, kasus dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh Syahrul untuk mengumpulkan uang demi kepentingan pribadi tersebut diikuti dengan beredarnya surat pemeriksaan dugaan pemerasan oleh pimpinan KPK.
Firli diduga menerima uang senilai 1 miliar dollar Singapura dari Syahrul melalui keponakannya, Kepala Poltabes Semarang Komisaris Besar Irwan Anwar. Irwan sendiri sudah diperiksa Polda Metro Jaya pada Rabu (12/10/2023). Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Karyoto menegaskan bakal menyelesaikan kasus yang saat ini sudah berjalan. Firli sendiri sudah membantah penerimaan uang tersebut.
Sementara itu, KPK akhirnya merilis penetapan Syahrul sebagai tersangka kasus dugaan penyalahgunaan kekuasaan dengan cara menarik uang dari pejabat eselon I dan II dari realisasi anggaran di Kementan yang sebelumnya digelembungkan. Selain Syahrul, KPK juga menetapkan Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono (langsung ditahan) dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian pada Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Muhammad Hatta.
Pertanyaannya, benarkah ada upaya pemerasan dari pimpinan KPK kepada Syahrul ataukah hal tersebut merupakan upaya untuk mengaburkan pengungkapan kasus dugaan korupsi yang melibatkan Syahrul? Apakah pelaporan dugaan pemerasan tersebut merupakan sebuah serangan balik terhadap KPK? Hal tersebut dibahas dalam Satu Meja The Forum dengan tema ”Kasak-kusuk Dugaan Korupsi Mantan Mentan” yang dipandu oleh Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, yang disiarkan di Kompas TV, Rabu (11/10/2023).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Pengacara bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Febri Diansyah, saat tiba di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, menyusul kliennya setelah dijemput paksa KPK, Kamis (12/10/2023) malam.
Perbincangan tersebut menghadirkan kuasa hukum Syahrul, Febri Diansyah, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem Ahmad Sahroni, mantan Panitia Seleksi Pimpinan KPK periode 2019-2023 Al Araf, dan pakar hukum pidana Universitas Pelita Harapan Jamin Ginting.
Febri mengapresiasi langkah KPK yang mengumumkan secara resmi penetapan tersangka SYL. Sebab, kejelasan status SYL dalam kasus dugaan korupsi di tubuh Kementan sempat menjadi polemik.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD sudah terlebih dahulu menyebut status SYL sebagai tersangka bahkan sebelum KPK membuka informasi tersebut secara resmi kepada publik.
”Saya pikir ketika sudah disampaikan secara terang, ini sudah terang-benderang siapa saja tersangkanya dan apa saja indikasi-indikasi tipikornya yang terkait para tersangka, ini jauh lebih baik dibandingkan ruang abu-abu, kasak-kusuk, Tarik-menarik. Meski secara hukum tidak ada persoalan, tapi isu seperti ini bisa menimbulkan distrust ke penegak hukum,” ungkap Febri.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni saat memimpin rapat dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD di Ruang Rapat Komisi III Gedung DPR, Jakarta, Rabu (29/3/2023).
Partai Nasdem pun, seperti diungkap Sahroni, mengapresiasi langkah tersebut. Pihaknya juga menghormati proses penegakan hukum yang berjalan terhadap SYL. ”Harusnya dari kemarin-kemarin saja,” ungkapnya.
Jamin Ginting mencoba menjelaskan hal tersebut dengan melihat prosedur yang beberapa waktu belakangan ini dilakukan KPK saat mengumumkan tersangka. Menurut Jamin, KPK baru akan menjelaskan secara resmi kepada publik status tersangka seseorang berbarengan dengan dilakukannya penahanan.
Dalam kasus Syahrul, pengumuman status tersangka dilakukan bersamaan dengan KPK menahan Sekjen Kementan Kasdi Subagyono. Jamin Ginting pun memahami mengapa pengumuman status tersangka Syahrul terkesan agak lambat.
Meskipun demikian, Al Araf mencoba mengaitkan kasak-kusuk status Syahrul tersebut dengan situasi politik yang berkembang saat ini, jelang kontestasi akbar dalam Pemilu 2024.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel KPK) Yenti Ganarsih (tiga dari kiri) didampingi anggota Pansel KPK (dari kiri ke kanan) Al Araf, Mualimin Abdi, Harkristuti Harkrisnowo, Marcus Priyo Gunarto, dan Hendardi memberikan keterangan kepada para jurnalis di Kementerian Sekretariat Negara, Kamis (11/7/2019).
Menurut dia, kemungkinan intervensi politik ke dalam KPK sangat tinggi. Ini sebenarnya sudah terjadi sejak dilakukannya revisi UU KPK pada tahun 2019. Revisi tersebut Pegawai KPK masuk ke dalam rumpun eksekutif.
”Karena KPK menjadi bagian dari lembaga eksekutif, tentu potensi intervensi eksekutif tinggi terhadap KPK. Ini beda dengan (masa) sebelum revisi UU KPK. Problem kita adalah Presiden juga diduga ikut dalam pertarungan 2024,” kata dia.
Hal tersebutlah yang menimbulkan kegaduhan. Problem lainnya, yang menurut Al Araf, harus dibongkar adalah proses seleksi pimpinan KPK yang harus dilakukan secara independen. Selama ini, proses seleksi tersebut sangat kental dengan kepentingan politik baik dalam Pembentukan Panitia Seleksi oleh Presiden maupun ketika uji kelayakan dan kepatutan di DPR untuk memilih 5 nama dari 10 calon yang diusulkan pemerintah.
”Jadi, pimpinan KPK tersandera secara politik sebenarnya karena ada politik transaksional dalam pertarungan pemilihan pimpinan KPK sejak awal. Ini yang harus dibongkar. Maka, tema kasak-kusuk (tema Satu Meja The Forum) itu menjadi relevan, karena ini tahun politik. Peta politik berubah dan kekuasaan punya peranan besar dalam proses politik,” kata dia.
FAKHRI FADLURROHMAN
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri (kedua dari kanan) berbincang-bincang dengan anggota Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (7/6/2023).
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Ahmad Sahroni, menyatakan, pihaknya akan memanggil pimpinan KPK dan kepolisian untuk menanyakan isu-isu aktual yang mencuat di publik, termasuk sial penanganan dugaan korupsi di Kementerian Pertanian oleh KPK dan dugaan pemerasan yang dilakukan pimpinan KPK oleh Polda Metro Jaya. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari kerja pengawasan DPR.
”Karena ini masih masa reses, kita jadwalkan untuk memanggil kedua belah pihak sekalian. Bukan hanya untuk ngurusin kasus SYL saja, tetapi perkara-perkara yang terkait isu publik yang menjadi panas sekarang ini,” kata Ahmad Sahroni.
Namun, rencana tersebut dinilai oleh pakar hukum pidana Universitas Pelita Harapan, Jakarta, Jamin Ginting, tidak elok. DPR dapat dituding melakukan intervensi politik terhadap dua kasus hukum yang saat ini Tengah berjalan. Meskipun pemanggilan dilakukan dengan dalih pengawasan, hal tersebut sebaiknya tidak dilakukan oleh Komisi III.
”Ini kasus sedang berjalan. Saya kira biarkan dulu berjalan. Jangan terlalu cepat untuk dipanggil. Nanti seakan-akan ada intervensi politik terhadap kasus yang sedang berjalan,” ujar Jamin.
DPR dapat saja melakukan pengawasan terhadap dua institusi penegak hukum tersebut. Namun, sifat pengawasan tersebut adalah pengawasan terhadap kinerja KPK dan Polri.
HENDRA AGUS SETYAWAN
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri (tengah) didampingi komisioner (kiri ke kanan) Nawawi Pomolango, Johanis Tanak, Nurul Gufron, dan Alexander Marwata mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (9/2) 2023).
Namun, Ahmad Sahroni mengungkapkan, pertanyaan terhadap isu-isu besar tersebut merupakan bagian dari pengawasan yang dilakukan DPR. Ini dilakukan untuk membuka hal-hal yang menjadi perkara tersebut secara transparan.
”Saya minta kedua institusi ini, untuk kasus ini, bisa lebih transparan ke publik. Apa yang terjadi dengan perkara KPK dengan tersangka SYL dengan kejadian yang sedang berperkara di Polda Metro Jaya. Supaya apa? Kalau bisa setransparan mungkin, kita bisa tahu, bisa menilai, mana yang politisasi mana yang dipolitisasi,” ujarnya.
Hampir seluruh narasumber dalam bincang-bincang tersebut sepakat agar kasus dugaan korupsi Syahrul dan dugaan pemerasan oleh pimpinan KPK harus berlanjut. Masing-masing pihak harus melaksanakan kewenangan penyidikannya secara profesional, terlepas apakah hal tersebut merupakan upaya serangan balik dari pihak Syahrul Yasin Limpo atas penetapan tersangka oleh KPK ataukah betul-betul ada pemerasan.
”Dalam kasus yang diusut polda, tentu kita hormati prosesnya dong. Terhadap pimpinan KPK. Silakan proses itu berjalan penyidikannya. Di sisi lain, KPK dalam kasus SYL (Syahrul Yasin Limpo) yang sudah dijadikan tersangka, ya silakan itu berjalan. Itu ranah hukum,” kata Al Araf.
Berkaitan dengan proses hukum yang berjalan di KPK, Febri Diansyah mengungkapkan bahwa kliennya akan menghadapi proses hukum tersebut secara kooperatif.