JAKARTA, KOMPAS — Pengembalian uang sebesar Rp 40 miliar oleh anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Achsanul Qosasi, memperkuat bukti adanya bagi-bagi uang dalam proyek pembangunan menara base transceiver station (BTS) 4G. Penyidik diharapkan mengusut tuntas aliran dana yang bersumber dari proyek di Kementerian Komunikasi dan Informatika tersebut serta mengungkap semua pihak penerima.

Achsanul Qosasi ditetapkan sebagai tersangka perkara korupsi terkait proyek pembangunan menara BTS 4G pada 3 November lalu. Semenjak ditahan Kejaksaan Agung, Achsanul sudah dua kali mengembalikan uang. Pada 16 November, Achsanul mengembalikan uang sebesar 2,01 juta dollar AS dan kemudian pada 21 November sebanyak 619.999 dollar AS. Jika dihitung dengan kurs saat ini, total uang yang telah dikembalikan Achsanul senilai lebih dari Rp 40 miliar.

 

Achsanul disebut telah menerima uang sebesar Rp 40 miliar terkait proyek itu dalam sebuah persidangan. Uang diberikan oleh Irwan Hermawan, Komisaris PT Solitech Media Sinergy, atas perintah Direktur Utama Bakti Anang Achmad Latif dengan perantaraan seseorang bernama Sadikin Rusli yang kini juga sudah menjadi tersangka.

Achsanul bersama Sadikin bukan orang pertama yang menyerahkan uang ke Kejaksaan Agung terkait dengan perkara korupsi pembangunan menara BTS 4G. Sebelumnya, Kejaksaan juga menerima pengembalian uang sebesar Rp 27 miliar dari Maqdir Ismail, kuasa hukum Irwan Hermawan yang kini sudah divonis 12 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman.

DOKUMENTASI PRIBADI ZAENUR ROHMAN

Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, berpandangan, pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghilangkan unsur pidana. Namun, uang yang dikembalikan itu akan diperhitungkan sebagai pengurang jumlah uang pengganti yang akan dituntut oleh jaksa untuk dibayar.

”Pengembalian uang suap itu menjadi wujud dari sikap kooperatif dari tersangka. Kalau kooperatif, perkaranya dapat segera disidangkan dan dapat menjadi pertimbangan jaksa dalam menentukan tuntutannya,” kata Zaenur ketika dihubungi, Kamis (23/11/2023).

Di sisi lain, kata Zaenur, pengembalian uang itu merupakan konfirmasi dari Achsanul bahwa dia menerima uang Rp 40 miliar sebagaimana terungkap di persidangan. Sementara, nama yang disebut di persidangan telah menerima uang tidak hanya Achsanul, tetapi ada nama lain.

Pengembalian uang itu merupakan konfirmasi dari Achsanul bahwa dia menerima uang Rp 40 miliar sebagaimana terungkap di persidangan.

Dari beberapa nama itu, yang telah ditetapkan sebagai tersangka selain Achsanul dan Sadikin adalah Edward Hutahaean. Edward diduga menerima uang Rp 15 miliar. Nama lain yang juga disebut adalah Nistra yang menerima uang Rp 70 miliar untuk Komisi I DPR, Windu Aji dan Setyo yang disebut menerima Rp 66 miliar, serta Dito Ariotedjo yang disebut menerima Rp 27 miliar.

Menurut Zaenur, nama-nama yang belum tersentuh mestinya diupayakan untuk segera dipanggil dan diperiksa oleh penyidik. Jika pun telah mengembalikan uang yang diterimanya kepada penyidik, bukan berarti tindak pidananya hilang.

”Karena tujuannya adalah asas keadilan, yaitu persamaan di hadapan hukum, dan pemulihan aset. Misalnya, uang Rp 70 miliar itu sangat besar. Jangan sampai dibiarkan dan tidak diproses secara hukum,” tutur Zaenur.

Uang 619.000 dollar AS yang telah diserahkan tersangka Achsanul Qosasi kepada penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung.

PUSPENKUM KEJAKSAAN AGUNG

Uang 619.000 dollar AS yang telah diserahkan tersangka Achsanul Qosasi kepada penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung.

Oleh karena itu, Zaenur berharap agar penyidik Kejaksaan Agung tidak tebang pilih dalam menangani kasus ini. Penyidik diharapkan tetap berani untuk melaksanakan proses hukum meskipun saat ini tengah terjadi ketegangan politik menjelang Pemilu 2024.

Secara terpisah, Wakil Ketua Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) Kurniawan Adi Nugroho berpandangan, pengembalian uang Rp 40 miliar dari Achsanul telah meringankan tugas penyidik karena hal itu menunjukkan bahwa dia benar telah menerima uang tersebut. Kini, tugas penyidik adalah menggali motifnya dan menentukan pasal yang tepat, apakah gratifikasi atau penyuapan.

Jika pemberian uang itu terkait dengan pekerjaan Achsanul sebagai auditor negara, itu berarti dia sudah mengetahui adanya permasalahan dalam proyek pembangunan menara BTS 4G. Sebagai auditor negara, seharusnya dia merekomendasikan proyek dihentikan atau setidaknya tidak ada pembayaran agar kerugian negara tidak semakin besar.

”Dengan tidak adanya rekomendasi tersebut, seharusnya Achsanul Qosasi dapat dikenakan pasal penyuapan,” kata Kurniawan.

Sadikin Rusli ditetapkan sebagai tersangka.

PUSPENKUM KEJAKSAAN AGUNG

Sadikin Rusli ditetapkan sebagai tersangka.

Selain itu, penyidik diharapkan juga menerapkan pasal pencucian uang terkait kemungkinan uang Rp 40 miliar itu dijalankan untuk hal lain sehingga menghasilkan keuntungan. Jika uang tersebut telah bercampur dengan uang lain atau menghasilkan keuntungan, keuntungan itu adalah hak negara sehingga harus disita.

Senada dengan Zaenur, kata Kurniawan, tugas penyidik belum tuntas sebelum semua nama yang disebut di persidangan diperiksa dan dihadapkan ke pengadilan. Menurut dia, proses hukum yang hanya dikenakan kepada beberapa pihak justru memancing kecurigaan publik. Sementara, nama-nama seperti Dito Ariotedjo, Nistra, serta Windu dan Setyo belum tersentuh.

Padahal, menurut Kurniawan, di persidangan telah terungkap secara jelas dan utuh bagaimana uang tersebut diberikan ke beberapa pihak. Oleh karena itu, selama seluruh pihak yang disebut menerima uang di persidangan tidak dibawa ke pengadilan, maka penyidik dianggap melakukan tebang pilih dalam menangani kasus ini.

Maqdir Ismail (berjas), kuasa hukum terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan BTS Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika 2020-2022, Irwan Hermawan, membawa uang sebesar Rp 27 miliar ke Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (13/7/2023).

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Maqdir Ismail (berjas), kuasa hukum terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan BTS Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika 2020-2022, Irwan Hermawan, membawa uang sebesar Rp 27 miliar ke Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (13/7/2023).

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana menyampaikan, penyidik masih terus mendalami kasus tersebut, khususnya terhadap pihak-pihak yang kini masih berstatus tersangka, khususnya Achsanul. Untuk itu, hari ini penyidik memeriksa tiga pegawai BPK berinisial CMS, DJBM, dan ZAA. Namun, Ketut tidak mengungkap jabatan dari ketiga saksi yang diperiksa tersebut.

”Ketiga saksi diperiksa terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang atas nama tersangka AQ,” kata Ketut.

 
 
Editor:
ANITA YOSSIHARA