JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan celah korupsi di industri pariwisata. Celah korupsi ini disebabkan perangkat aturan perundang-undangan yang belum memadai.

Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak seusai menerima audiensi dari pelaku usaha pariwisata. ”Kekosongan hukum dimanfaatkan oleh penyelenggara negara agar pengusaha mengeluarkan biaya ekstra. Biaya ekstra adalah korupsi,” kata Johanis di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (8/11/2023).

Ia mencontohkan, saat ini terdapat sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik melalui sistem online single submission (OSS). OSS berbasis risiko wajib digunakan oleh pelaku usaha, kementerian/lembaga, pemerintah daerah, administrator kawasan ekonomi khusus, dan badan pengusahaan kawasan perdagangan bebas pelabuhan bebas (KPBPB).

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak memberikan keterangan kepada wartawan seusai pelantikannya di Istana Negara, Jakarta, Jumat (28/10/2022).

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak memberikan keterangan kepada wartawan seusai pelantikannya di Istana Negara, Jakarta, Jumat (28/10/2022).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021, terdapat 1.702 kegiatan usaha yang terdiri atas 1.349 klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia yang sudah diimplementasikan dalam sistem OSS berbasis risiko. Sistem ini dibuat agar pelaku usaha tidak bertemu pejabat negara secara langsung dalam proses perizinan.

”(Dalam pelaksanaannya) internet rusak sehingga tidak bisa menindaklanjuti permohonan. Akhirnya, didatangi agar apa yang disampaikan bisa tercapai. Bagi pengusaha, waktu adalah uang. Kalau terlambat, pengusaha gelisah. Agar cepat, akhirnya mengeluarkan uang,” ujarnya.

Untuk itulah, menurut Johanis, pihaknya akan melakukan sejumlah upaya pencegahan. ”Kami sudah menerima masukan dari pengusaha, itu yang akan kami lakukan,” katanya.

Kejaksaan Negeri Buleleng menggelar konferensi pers tentang perkembangan penyidikan kasus dugaan korupsi dana hibah pariwisata di Kabupaten Buleleng, Rabu (17/2/2021).

COKORDA YUDISTIRA M PUTRA

Kejaksaan Negeri Buleleng menggelar konferensi pers tentang perkembangan penyidikan kasus dugaan korupsi dana hibah pariwisata di Kabupaten Buleleng, Rabu (17/2/2021).

Berdasarkan penelusuran Kompas, kasus korupsi di dunia pariwisata sudah beberapa kali terjadi. Misalnya, pada 2021 Kejaksaan Negeri Buleleng mendalami kasus dugaan korupsi dana hibah pariwisata yang dikelola Kabupaten Buleleng. Kejari Buleleng menetapkan delapan aparatur sipil negara di Dinas Pariwisata Kabupaten Buleleng sebagai tersangka dan telah menahan para tersangka itu.

Juni lalu, Kejaksaan Negeri Sleman memeriksa 70 saksi terkait korupsi dana hibah pariwisata yang dikucurkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk Kabupaten Sleman pada 2020. Pagu anggaran dana hibah pariwisata dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk Kabupaten Sleman Rp 68,5 miliar (Kompas.com, 6/6/2023).

Ketua Gabungan Industri Pariwisata Hariyadi Sukamdani mengatakan, potensi korupsi di industri pariwisata besar karena ada regulasi yang bisa disalahartikan atau tidak lengkap. Regulasi itu dimanfaatkan dan membuka potensi suap dan gratifikasi.

”Masalahnya, banyak oknum yang berkolaborasi antar-instansi untuk melakukan upaya pemerasan, sementara untuk melaporkan kejadian ini masih tumpul karena pihak yang seharusnya menegakkan hukum malah bekerja sama di lapangan,” ujarnya.

Hariyadi Sukamdani

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Hariyadi Sukamdani

Hariyadi mengatakan, sektor pariwisata dan hiburan berbiaya tinggi. Besar tarif pajak hiburan, misalnya, berkisar 40-70 persen. Pajak yang tinggi ini membuka peluang suap dan pemerasan.

Menurut Haryadi, untuk mencegah korupsi, perlu ada penegakan aturan dan pengawasan di lapangan. Sejauh ini, Gabungan Industri Pariwisata bekerja sama dengan KPK apabila ditemukan masalah suap di lapangan.

”Sejauh ini KPK membantu mediasi antara pelaku usaha dan pihak-pihak yang bermasalah di lapangan. Namun, tindak lanjut setelah pertemuan itu yang masih tidak jelas harus diapakan,” ujarnya.

 
 
Editor:
ANTONIUS PONCO ANGGORO