Publikasi boleh melimpah, tetapi mesti diiringi peningkatan kualitas kematangan intelektual dan iklim akademik rasional.

 
 
Oleh:
BAHRUL AMSAL
 

Ilustrasi

SUPRIYANTO

Ilustrasi

Opini Kompas bertarikh 28 September 2023 dengan judul ”Publikasi Ilmiah dan Pematangan Intelektual” menarik dicermati. Esai itu menjelaskan paradoks tuntutan publikasi ilmiah dengan orientasi intelektual sivitas akademika.

Mengutip Science and Technology Index (Sinta) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), 15 tahun terakhir (2008-2022), publikasi ilmiah yang dicapai Indonesia tidak lebih dari 10.000 artikel.

Yang mengagetkan, peningkatan drastis terjadi pada kurun 2019-2021 hingga mencapai 50.000 artikel, dan membuat Indonesia menjadi negara teratas se-ASEAN dalam hal kuantitas publikasi ilmiah.

Bagaimana dengan kualitasnya? Atau target kualitatif Kemendikbudristek yang disebut sebagai pematangan intelektual? Hal ini adalah satu masalah besar yang mesti segera dijawab oleh sivitas akademika.

Jangan sampai selama ini telah terjadi surplus publikasi ilmiah yang tidak membumi, instan, dan administratif sehingga tujuan ideal Tri Dharma Perguruan Tinggi tak berimplikasi kepada proses ideal pendidikan.

Publikasi boleh melimpah, tetapi mesti juga diiringi dengan peningkatan kualitas kematangan intelektual yang ditandai dengan iklim akademik rasional, kritis, dan dialogis.

Penjaga gerbang moral dan hukum

Publikasi boleh melimpah, tetapi mesti juga diiringi dengan peningkatan kualitas kematangan intelektual yang ditandai dengan iklim akademik rasional, kritis, dan dialogis.

Oleh karena itu, agak ganjil jika selama ini Kemendikbudristek senantiasa menggaungkan tiga dosa besar pendidikan (pelecehan seksual, intoleransi, dan bullying), tanpa melihat dosa besar lain yang selama ini terjadi di perguruan tinggi.

Harian Kompas pada Februari lalu melalui liputan investigatifnya menemukan adanya praktik perjokian karya ilmiah dilakukan oleh calon guru besar. Praktik ini di beberapa kampus bahkan melibatkan kerja sama dosen, mahasiswa, dan pejabat struktural.

Atau masalah lainnya, seperti kebiasaan kampus-kampus yang memberikan gelar kehormatan kepada tokoh politik dibandingkan tokoh kemanusiaan, dan ini dicurigai dimanfaatkan untuk alat kekuasaan, negosiasi politik, atau diplomasi kepentingan. Atau yang paling anyar, diberitakan seorang rektor diduga melakukan korupsi.

Mengapa ini perlu menjadi perhatian serius? Jawabannya jelas, yakni karena kampus adalah gate keeper yang memiliki tugas besar dalam rangka menegakkan prinsip ilmu pengetahuan, salah satunya adalah moral dan hukum.

Moral dan hukum merupakan kualitas prinsipiil yang mesti dijunjung tinggi dalam semua upaya pencarian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Barang siapa mengabaikan dua hal penting ini, berarti ia sedang meruntuhkan integritas ilmu pengetahuan yang diperjuangkannya sendiri.

https://cdn-assetd.kompas.id/EoHzrtDZt93uzr9DuHqP20oh0-g=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F23%2F81931d0d-872c-43ed-8639-5b5daceb099d_jpg.jpg

-

Akan tetapi, jika Kemendikbudristek telah banyak mengerahkan program agar dapat menghalau tiga dosa besar di atas, maka jangan juga melupakan kritik Neil Postman, kritikus pendidikan tentang tiga ”tuhan” yang banyak disembah di sekolah-sekolah, terutama di perguruan tinggi. Ketiga ”tuhan” itu adalah iklan, konsumerisme, dan teknologi.

Melalui bukunya, The End of Education, Postman menyadarkan kita bahwa sekolah (perguruan tinggi) merupakan institusi publik yang rentan menjadi tempat ketiga setan itu bersemayam. Iklan merupakan representasi dari budaya pop (pop culture) yang menghilangkan makna-makna sakral dari budaya dan tradisi sehingga menyebabkan nihilisme.

Konsumsi berlebihan melalui iklan menyebabkan sivitas akademika rentan mengalami krisis identitas. Mereka akan kehilangan kedaulatan diri dan berakhir menjadi pribadi tanggung yang menginginkan pencitraan berlebihan.

Tuntutan publikasi di perguruan tinggi rentan dimanipulasi semangat pencitraan akademik yang mengedepankan kuantitas daripada kualitas publikasi. Representasi dari berburu pencitraan akademik melalui publikasi ilmiah ini sudah pasti dapat tergelincir menjadi bagian dari tradisi budaya pencitraan.

Sementara konsumerisme merupakan moral baru yang lahir dari jantung kapitalisme pasar dan mengubah proses belajar menjadi objek komersial. Pendidikan lebih rentan dikapitalisasi jika sivitas akademika dilucuti dari peran sertanya sebagai subyek pendidikan.

Kehilangan peran sebagai pelaku berarti menciptakan pasar baru bagi konsumen pendidikan; jurnal, buku diktat, pemberian nilai, study tour, atau aktivitas akademik lainnya berpotensi menjadi ajang bisnis.

Tentu kedua tuhan yang disembah ini tidak akan dapat masif tanpa kehadiran teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi yang mempercepat sirkulasi informasi sebagai prasyarat dari akumulasi modal.

Tuntutan publikasi di perguruan tinggi rentan dimanipulasi semangat pencitraan akademik yang mengedepankan kuantitas daripada kualitas publikasi.

Jadi coba dibayangkan jika lingkungan pendidikan menghadapi masalah dalam dosa-dosa besar seperti dijelaskan itu, dan saat bersamaan menghamba kepada tiga tuhan yang sebenarnya lebih pantas disebut sebagai ideologi dominan yang mengubah pendidikan menjadi arena industri perdagangan.

Pedagogi hitam

Orientasi pendidikan, jika sudah melenceng dari tujuan mengembangkan akal budi, menanamkan keadaban, dan menumbuhkan jiwa merdeka, akan melahirkan praktik pendidikan yang menyebabkan ketakutan, pengerdilan, dan kegelisahan. Itulah pedagogi hitam.

Pedagogi hitam merupakan istilah yang dicetuskan Kurt Singer, ahli pendidikan Jerman, yang melihat bahaya lingkungan pendidikan apabila diselenggarakan dengan pendekatan otoriter.

Sesuatu yang masih kerap terjadi di hampir tingkatan pendidikan saat ini. Misalnya, masih ada tenaga pendidik bagai pemimpin tangan besi yang menolak keterbukaan pendapat, suasana kelas yang menyerupai kondisi penjara.

Atau kekangan kepada kebebasan berpikir sehingga peserta didik kehilangan keberanian, kreativitas, dan inisiasi untuk menyatakan pandangan dan kemauannya sendiri.

Syahdan, esensi setiap pencarian ilmu pengetahuan adalah kebahagiaan. Itulah sebabnya, setiap ilmuwan rela menukar tenaga dan harta bendanya demi temuan ilmu pengetahuan.

https://cdn-assetd.kompas.id/onZAW29KcKYmYv6GHJyVE39gfRQ=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F27%2F1fd16b91-eb51-4427-bcaa-954da4833479_jpg.jpg

Ilustrasi

Kebahagiaan karena dapat memecahkan pertanyaan riset, menjawab rumus-rumus kompleks, atau dapat menyusun keping-keping informasi penting untuk sebuah jawaban pasti; adalah bagian-bagian dari kebahagiaan yang dicari oleh setiap pencari ilmu.

Lalu, apabila lingkungan sivitas akademika mulai dari event, proses, dan komponen pendidikan tidak membuat pembelajar merasakan kerasan —dalam arti membuatnya takut, patuh, dan gelisah—maka berarti ada yang mesti direvisi dalam proses penyelenggaraan pendidikan tersebut.

Baca juga : Publikasi Ilmiah dan Pematangan Intelektual

Bahrul Amsal Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Makassar

 
Editor: SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN