Peningkatan kesejahteraan guru harus berbanding lurus dengan peningkatan kompetensi guru, yaitu melalui sertifikasi guru.
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Sertifikasi guru pertama kali digagas pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai amanat Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) Nomor 14 Tahun 2005. Alasannya, semula lebih karena pemerintah ingin meningkatkan kesejahteraan guru sambil dibarengi peningkatan kompetensi secara profesional.
Berdasarkan UUGD Pasal 2 Ayat (1), seorang guru profesional dibuktikan melalui kepemilikan sertifikat pendidik. Pada Pasal 11 Ayat (2), sertifikasi diselenggarakan melalui model pendidikan profesi oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan guru, terakreditasi, dan ditetapkan pemerintah.
Hingga kini, masih ada 1.630.061 guru dalam jabatan yang belum tersertifikasi, dengan perincian mereka yang diangkat sebagai guru terhitung mulai tanggal (TMT) sebelum 2015 berjumlah 944.168 guru dan TMT setelah 2015 berjumlah 685.893 guru.
Pertanyaannya, bagaimana kita menyikapi fenomena 3,37 juta guru Indonesia yang mengajar di sekolah, di mana hampir setengahnya dinyatakan tidak profesional karena belum tersertifikasi?
Baca juga: Jalan Panjang Kesejahteraan Guru
Menjadi guru profesional merupakan harapan agar guru dapat hidup lebih sejahtera. Kesejahteraan hadir sebagai penghargaan dari profesionalisme yang melekat pada profesi guru. Berdasarkan Pasal 14-20 UUGD, guru profesional berhak memperoleh penghasilan di atas minimum (meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan jaminan kesejahteraan sosial). Guru juga berhak mendapatkan maslahat tambahan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, pelayanan kesehatan, kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra-putri guru, atau bentuk kesejahteraan lainnya.
Bagi guru aparatur sipil negara (ASN), besaran sertifikasi yang diberikan disesuaikan dengan golongan. Misalnya, tunjangan sertifikasi guru PNS golongan III-a sebesar Rp 2.579.400, golongan III-b sebesar Rp 2.688.500, dan seterusnya. Sementara bagi guru swasta yang baru pertama mendapatkan sertifikasi, maka besarannya dihitung sama, yaitu Rp 1.500.000. Nominal-nominal yang tersebutkan ini bisa bertambah seiring kenaikan golongan bagi guru PNS, sedangkan untuk guru swasta dibuka skema penyetaraan golongan (inpassing).
Dari hasil dialog dengan banyak guru, keberadaan sertifikasi mutlak dipertahankan oleh pemerintah karena diyakini mampu meningkatkan kesejahteraan guru, terutama yang digunakan untuk menambah pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan membiayai anak-anak guru agar bisa melanjutkan sekolah sampai ke perguruan tinggi.
DOKUMENTASI KEMENDIKBUDRISTEK
Jumlah guru dalam jabatan yang belum disertifikasi masih banyak, padahal sertifikasi pendidik sebagai bukti guru profesional dan juga berdampak pada kesejahteraan guru.
Pengakuan guru sebagai profesi semata-mata diberikan untuk mengangkat harkat dan martabat serta peran guru sebagai agen pembelajaran dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional. Guru profesional wajib memiliki kualifikasi akademik (minimal sarjana) sesuai bidang yang diampunya, sehat jasmani dan rohani, menguasai kompetensi guru yang meliputi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional, memegang teguh kode etik, menjadi anggota organisasi profesi, serta mengikuti sertifikasi untuk memperoleh sertifikat pendidik.
Sertifikasi merupakan bentuk pengakuan formal terhadap guru yang dianggap sudah memenuhi standar profesional. Seorang guru profesional yang sudah memperoleh sertifikasi dianggap mampu mengelola tunjangan profesi untuk memenuhi kebutuhan profesional yang dapat menunjang profesinya. Misalkan saja untuk menempuh pendidikan S-1, S-2, hingga S-3, mengikuti diklat, lokakarya (workshop), studi banding, membayar iuran organisasi profesi, serta membeli laptop dan buku bacaan.
Guru profesional juga harus siap mengikuti uji kompetensi yang diadakan secara berkala untuk mengukur dan memperbarui capaian kompetensinya. Harapannya, keberadaan guru profesional dapat berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional.
Sertifikasi merupakan bentuk pengakuan formal terhadap guru yang dianggap sudah memenuhi standar profesional.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, sebagaimana disebutkan pada Pasal 12 Ayat (1-6), juga memberikan opsi pemberian sertifikat pendidik bagi guru dalam jabatan dapat dilakukan melalui uji kompetensi berupa penilaian portofolio yang mendeskripsikan: (1) kualifikasi akademik; (2) pendidikan dan pelatihan; (3) pengalaman mengajar; (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran; (5) penilaian dari atasan dan pengawas; (6) prestasi akademik; (7) karya pengembangan profesi; (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah; (9) pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial; (10) penghargaan lain yang relevan dengan bidang pendidikan.
Secara obyektif, penilaian portofolio masih layak diterapkan pemerintah berbarengan dengan model Pendidikan Profesi Guru (PPG). Penilaian portofolio dengan memprioritaskan kelompok afirmasi seperti mereka yang sudah menjadi guru dengan TMT di bawah 2015, berpengalaman mengajar lebih dari 10 tahun, berusia di atas 35 tahun, dan mengabdi di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) dapat dijadikan diskresi untuk menyelesaikan antrean sertifikasi bagi guru dalam jabatan.
Penilaian portofolio harus segera dijalankan secara gotong royong dengan membentuk panitia ad hoc penuntasan sertifikasi guru dalam jabatan yang berisikan unsur Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kementerian Agama, Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK), dinas pendidikan, dan organisasi profesi guru.
Sementara bagi guru dalam jabatan dengan TMT di atas 2015, pemerintah bisa tetap menggunakan model PPG dengan mempertimbangkan kesiapan LPTK, kemudahan akses, ketersediaan kuota, penyederhanaan tahapan seleksi administrasi, transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraannya, serta penyediaan beasiswa bagi mereka yang berprestasi dan mengabdi di daerah. Kemudian untuk para calon guru setelah lulus dari LPTK, maka disediakan jalur PPG prajabatan yang terintegrasi dalam satu paket kurikulum LPTK sehingga mereka yang kuliah pendidikan setelah lulus bisa langsung mengambil pendidikan profesi di kampus yang sama.
Untuk menengahi gap kesejahteraan antarguru, pemerintah dapat mengoptimalkan minimal penggunaan 20 persen APBN dan APBD untuk kepentingan pendidikan. Selain itu, untuk menghindari ada guru digaji tidak layak sebagai guru honor atau guru swasta, maka pemerintah perlu menetapkan gaji atau upah minimum guru yang berlaku secara nasional. Misalkan saja, gaji guru di Indonesia di mana pun berada dan apa pun statusnya, berhak mendapatkan minimal Rp 5 juta. Pemerintah juga dapat menggunakan referensi Perpres Nomor 108/2007 tentang Tunjangan Tenaga Kependidikan dan Keppres Nomor 52 Tahun 2009 yang memerintahkan pemberian tambahan penghasilan bagi guru PNS yang belum bersertifikasi.
Presiden Jokowi jika ingin meninggalkan legacy di akhir kepemimpinannya bisa saja menerbitkan aturan baru ataupun merevisi perpres dan keppres yang ada. Yaitu, dengan memerintahkan pemberian remunerasi bagi semua guru dalam rangka menambah kesejahteraan sebagai bentuk apresiasi pemerintah terhadap guru (di luar sertifikasi yang sudah diberikan berdasarkan syarat-syarat tertentu dan tidak semua mendapatkan), yang bersifat melekat dalam gaji, dengan nominal tertentu berdasarkan hitungan yang diperoleh secara proporsional dan sesuai kebutuhan.
Begitu pun para capres yang sedang mengikuti kontestasi, apabila ingin mengambil hati para guru dan benar-benar serius untuk menyejahterakan guru, dibutuhkan program yang menyasar kesejahteraan guru di mana program itu bisa segera dijalankan sebagai kewenangan langsung darinya.
Baca juga: Mutu Guru, LPTK, dan ”Bologna Process”
Kepada pemerintah daerah, kewenangan untuk menghadirkan kesejahteraan guru bisa diperoleh melalui penetapan dana hibah yang bisa dibayarkan untuk membantu terutama para guru swasta dan guru honor negeri. Atau, pemberian tambahan penghasilan pegawai (TPP) bagi guru yang harus dialokasikan secara menyeluruh di semua provinsi dan kabupaten/kota, sebagai sebuah gerakan serentak pemerintah daerah.
Selain menjadi tanggung jawab pemerintah, kesejahteraan juga harus diperoleh guru berdasarkan profesionalisme yang melekat pada dirinya. Dari sisi pemerintah, perlu menyediakan kanal-kanal peningkatan kompetensi yang mampu menyasar partisipasi guru-guru secara merata dan nondiskriminatif. Sementara dari sisi guru, secara pribadi harus memiliki tanggung jawab profesional dan berkewajiban mengembangkan kapasitas dirinya secara mandiri dengan terlibat aktif dalam berbagai aktivitas peningkatan kompetensi guru.
Kita meyakini bahwa antara kesejahteraan dengan profesionalisme hendaknya dihela dalam satu tarikan napas. Peningkatan kesejahteraan harus berbanding lurus dengan peningkatan kompetensi guru. Quo vadis sertifikasi guru harus diarahkan untuk menyejahterakan dan memprofesionalkan guru. Selamat Hari Guru Nasional 2023! Dirgahayu Ke-78 PGRI!
Sumardiansyah Perdana Kusuma, Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PB PGRI; Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia; Direktur Pusat Studi Pendidikan Publik
DOK. SUMARDIANSYAH PERDANA KUSUMA
Sumardiansyah Perdana Kusuma