Islam sebagai ideologi PPP masih menjadi daya tarik partai untuk memenangi hati pemilih.

Mengangkat isu ekonomi hijau dengan tagline, ”Harga Murah, Kerja Mudah, dan Hidup Berkah” menjadi strategi Partai Persatuan Pembangunan atau PPP yang mencoba bangkit untuk memenangi hati rakyat pada kontestasi Pemilu 2024. Tak dapat dimungkiri, pertarungan politik untuk mendudukkan wakil rakyat dalam parlemen dan dalam mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu 2024 menjadi tantangan bagi PPP. Pasalnya, dalam lima kali pemilu sejak era reformasi, PPP mengalami tren penurunan elektoral.

Pada Pemilu 2019, posisi PPP berada di urutan paling bawah dari sembilan partai politik yang lolos ke Senayan. Persentase perolehan suara yang hanya berjarak tipis dari ambang batas parlemen menjadi ”cambuk” bagi PPP untuk melakukan strategi jitu yang bisa mengangkat elektabilitasnya. Sejarah mencatat, perjalanan panjang partai Islam tertua sejak era Orde Baru ini penuh jalan terjal. Dideklarasikan 5 Januari 1973, PPP lahir dari fusi atau penggabungan empat partai politik Islam pada awal Orde Baru, yakni Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah.

 

Selama Orde Baru, PPP hanya berhadapan dengan Partai Demokrasi Indonesia dan Golongan Karya (Golkar). PPP mampu bertahan di posisi kedua setelah Golkar dalam menduduki kursi parlemen dengan persentase 15-30 persen. Namun, NU menyatakan kembali ke Khitah 1926 pada Muktamar NU 1984 yang berdampak pada elektabilitas partai. Dengan kembali ke khitah, NU tak lagi terlibat politik praktis di kepartaian dan kembali ke organisasi yang bergerak di bidang keagamaan, sosial-kemasyarakatan, kebangsaan, kepemimpinan ulama, serta keindonesiaan.

Keputusan NU itu membuat perolehan kursi PPP di Pemilu 1987 merosot jadi 61 kursi. Adapun di Pemilu 1982, PPP mendapat 94 kursi. Hingga pemilu terakhir masa Orde Baru tahun 1997, PPP berhasil memperbaiki elektabilitas dengan meraih 89 kursi (20 persen) dari 425 kursi DPR. Saat itu partai ini masih memiliki kantong massa yang kuat di sejumlah provinsi, seperti Aceh, DKI Jakarta, dan Jawa Timur.

Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan HJ Naro dengan gaya oratornya menghangatkan para pendukung PPP di Jakarta tahun 1987 untuk ingat pada tanda gambar nomor satu.

KOMPAS/HASANUDDIN ASSEGAFF

Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan HJ Naro dengan gaya oratornya menghangatkan para pendukung PPP di Jakarta tahun 1987 untuk ingat pada tanda gambar nomor satu.

Tantangan elektabilitas

Tantangan elektabilitas semakin menghadang PPP pascareformasi ketika mulai bermunculan partai politik baru bercorak Islam yang tentu saja akan beririsan dalam merebut ceruk suara basis pemilih Islam. Ditambah lagi dengan adanya problem dualisme kepemimpinan yang sempat mewarnai perjalanan politik PPP. Krisis ketokohan juga jadi problem tersendiri yang dihadapi partai ini dalam mencapai visi-misinya. Sejak berdiri 50 tahun lalu, sudah delapan kali PPP berganti ketua umum dengan berbagai dinamika internal.

Baca juga: Tetapkan Pengurus Baru, PPP Optimistis Lolos Ambang Batas Parlemen pada 2024

Pada pemilu pertama pascareformasi pada 1999, perolehan suara dan kursi PPP mulai tergerus dengan hadirnya partai-partai berbasis pemilih Islam, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan (PK) sebelum menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Bulan Bintang (PBB) yang juga mendapat kursi di DPR. Pada Pemilu 1999, PKB bahkan mendapat 51 kursi, mendekati kursi yang diperoleh PPP (58 kursi).

Namun, sejarah mencatat, PPP berhasil mengantar ketua umumnya, Hamzah Haz, menjadi wakil presiden (2001-2004) mendampingi Presiden Megawati Soekarnoputri. Bahkan, pada Pemilu 2004, PPP mengusung sendiri Hamzah Haz sebagai capres berpasangan dengan Agum Gumelar sebagai cawapres yang bersaing dengan empat pasang kandidat lain.

Keikutsertaan Hamzah Haz sebagai capres tidak serta-merta mengangkat elektabilitas PPP. Perolehan suara PPP di Pemilu 2004 turun menjadi 8,16 persen dari sebelumnya 10,71 persen. Hal itu membuat perolehan suara partai ini tersalip PKB. Bahkan, pada Pemilu 2009, kekuatan PPP turun signifikan sampai 50 persen ketimbang Pemilu 1999. Perolehan suara PPP pada Pemilu 2009 turun menjadi 5,3 persen dan menyebabkan PPP harus kehilangan 20 kursi parlemen.

Hamzah Haz dan Agum Gumelar, calon presiden dan calon wakil presiden dari PPP.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Hamzah Haz dan Agum Gumelar, calon presiden dan calon wakil presiden dari PPP.

Dalam catatan Litbang Kompas, wilayah Aceh, Bengkulu, dan Jawa Timur yang pada Pemilu 2004 menjadi lumbung suara PPP, pada Pemilu 2009 menurun drastis. Aceh yang dikenal sebagai basis utama PPP turun hingga 61 persen. Bengkulu merosot hingga 52 persen dan Jawa Timur turun menjadi 38,5 persen suara.

Pada Pemilu 2014, PPP kemudian mampu membuktikan melampaui ambang batas minimal parlemen dan mendapat 8,15 juta suara (6,53 persen). Meski elektabilitas meningkat dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, posisi PPP ada di urutan kesembilan dari 10 parpol yang lolos ke parlemen.

Capaian elektoral PPP terus menurun dan puncaknya pada Pemilu 2019 dengan hanya meraih 4,52 persen suara (6,32 juta suara sah). Perolehan suara ini hanya melebihi 0,52 persen saja dari ambang batas parlemen. Dengan perolehan suara tersebut, PPP harus rela kehilangan 20 kursi di DPR, dengan hanya menyisakan 19 kursi dan berada di titik terendah dengan menjadi juru kunci.

Optimisme

Kondisi tersebut menjadi bahan evaluasi serius bagi semua elemen partai untuk tetap optimistis bisa bertahan demi mencapai tujuannya, yaitu terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, sejahtera lahir batin, dan demokratis dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila di bawah rida Allah subhanahu wa taala. Islam sebagai ideologi PPP yang menjadi penuntun, pedoman, dan arah untuk mencapai tujuan politik diakui masih menjadi daya tarik partai untuk memenangi hati pemilih. Pada setiap kesempatan, PPP selalu menjadikan nilai-nilai Islam pegangan menentukan arah pembangunan yang ingin dicapai. Ideologi Islam inilah yang membuat pemilih loyal dan tradisional yang berada di perdesaan masih bertahan.

Kekuatan ini menjadi modal yang akan terus diperjuangkan dan dipertahankan PPP. Apalagi di Pemilu 2024, PPP menargetkan meraih 11 juta suara dan kembali mendapat 50 kursi DPR. Menjadi tantangan berat bagi Mardiono selaku Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP untuk mencapai target tersebut. Dengan fokus pada kerja-kerja elektoral, Mardiono optimistis dapat merebut kursi dan mengembalikan kejayaan partai lewat kerja keras bersama seluruh jajarannya.

Apalagi dengan bergabungnya Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, yang sekaligus ditunjuk menjadi Ketua Badan Pemenangan Pemilu PPP, menjadi kekuatan baru dan juga diharapkan menjadi ”angin segar” bagi PPP. Langkah mencapai target kemenangan tersebut difokuskan pada perolehan suara kalangan anak muda dan perempuan.

Ketua Badan Pemenangan Pemilu Nasional Partai Persatuan Pembangunan Sandiaga Uno di Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (17/6/2023).

HIDAYAT SALAM

Ketua Badan Pemenangan Pemilu Nasional Partai Persatuan Pembangunan Sandiaga Uno di Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (17/6/2023).

Hal itu dilakukan dengan mengusung ekonomi hijau. Selain memastikan harga bahan pangan stabil dan terjangkau, dilakukan pula pemberdayaan UMKM dan penguatan ekonomi lokal. Dengan menyuarakan isu-isu keberpihakan kepada rakyat yang notabene gambaran massa pemilih PPP dari golongan menengah bawah diyakini akan memberikan dukungan penuh pada PPP.

Upaya lain juga dilakukan PPP untuk bertahan di tengah potensi ujian ambang batas parlemen, salah satunya dengan bergabung bersama PDI-P yang mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD sebagai capres dan cawapres pada Pilpres 2024. Tentu PPP berharap dukungan tersebut akan berujung pada efek elektoral dari kontestasi pemilihan presiden.