Berbagai video tingkah lucu ataupun aktivitas calon presiden dan calon wakil presiden kini memasuki ruang privat.

Mulai dari membuka mata di pagi hari hingga jelang tidur kembali, Rizky Andi (25) selalu menemukan video-video kegiatan calon presiden atau calon wakil presiden setiap membuka aplikasi media sosial, baik di Tiktok, Instagram, maupun Twitter. Video-video itu muncul begitu saja di halaman yang direkomendasikan setiap media sosial tersebut atau dikenal dengan FYP (for your page).

Video-video itu meliputi ”joget gemoy” khas Prabowo Subianto hingga video berisi kegiatan capres lain, yakni Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan, yang tengah berkeliling ke daerah-daerah. Di sisi lain, ada video-video yang menyinggung capres-cawapres tertentu, misalnya video narasi putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi terkait pelanggaran kode etik berat mantan Ketua MK Anwar Usman, paman dari cawapres Gibran Rakabuming Raka, terkait putusan batas usia capres-cawapres.

Selain itu, ada pula video narasi soal penurunan elektabilitas capres-cawapres lain yang sumber lembaga surveinya juga tidak jelas atau tidak masuk Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi). Video-video tersebut diunggah akun media sosial yang tak ia kenali. ”Jadi, banyak sekali video berbau politik. Video itu tidak dicari, tetapi memang muncul. Mungkin karena algoritma,” ujar Rizky yang bermukim di Jakarta, Minggu (26/11/2023).

Wulan Apriliani (23), mahasiswa semester akhir di Yogyakarta, juga mengalami hal serupa. Di halaman FYP media sosialnya, selain berisi video lowongan kerja, banyak juga berseliweran meme capres-cawapres. Kadang ia jengkel juga karena video-video itu kerap muncul tanpa diinginkan. Apalagi, berbagai video yang muncul di FYP ”receh-receh” dan hanya mengunggulkan pasangan pilihan masing-masing. Jarang sekali ia melihat ada narasi terkait visi-misi atau keunggulan program dari calon.

”Kalau video atau narasi hanya menyudutkan dan mendukung calon tertentu, biasanya langsung aku skip (lewati). Sebab, kalau sudah menjelek-jelekkan kandidat lain, itu mengganggu banget,” tutur Apriliani.

https://cdn-assetd.kompas.id/1j9XBvZOrWvOZB4NSrT8Y6u3qSI=/1024x1634/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F26%2Ffeae96b5-5414-4762-bf41-5488707b552d_jpg.jpg

Hasil jajak pendapat Litbang Kompas periode 20-23 November 2023 menunjukkan, ada 44,2 persen responden mengikuti informasi terkait kampanye pemilu melalui media sosial. Hasil jajak pendapat ini mengikutsertakan 506 responden dari 34 provinsi.

Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta Arya Fernandes mengatakan, pola kampanye oleh aktor politik kini telah bergeser dari ruang publik ke ranah yang lebih privat. Dari baliho, spanduk, dan banner menjadi konten serta iklan lewat media sosial. ”Sebenarnya media sosial ini sudah dimanfaatkan sejak lama. Tetapi, dengan mendominasinya pemilih muda, media sosial perannya semakin krusial. Apalagi, kehidupan masyarakat Indonesia tak terlepas dari media sosial,” ujarnya.

Media sosial membuka ruang luas untuk personalisasi dan menjangkau ranah yang lebih privat dari pemilih. Aktor politik bisa mengatur konten yang ingin ditampilkan sesuai target dan minat pemilih secara spesifik untuk usia hingga jender tertentu. Dengan demikian, mereka bisa memosisikan diri lebih dekat dengan calon konstituen, setidaknya meningkatkan popularitas.

Selain personalisasi, media sosial jadi opsi yang lebih murah dan mampu menjangkau audiens lebih luas. Dalam pertemuan di ruang terbuka, para calon hanya menjangkau maksimal ribuan pendukungnya. Baliho yang dipajang di tepi jalan juga hanya dilihat pelintas. Sementara konten di media sosial bisa melampaui batas-batas itu. Hanya dengan satu konten relevan dengan situasi terkini, para calon mampu menjangkau puluhan ribu, bahkan jutaan calon pemilih.

Meskipun demikian, konten yang muncul masih jauh dari mendidik publik berpolitik. Aktor politik, kata dia, hanya menampilkan sesuatu yang menyenangkan publik dan menggugah perasaan. Ini seperti konten joget-joget, keramahan, adab, dan puja-puji.

”Kandidat pasti berpikir pragmatis. Publik tak suka kampanye hal-hal berat. Jadi, ngapain ditampilkan, toh publik suka dengan hal-hal yang nonsubstansial,” kata Arya.

Arya Fernandes

ARSIP CSIS

Arya Fernandes

Menampilkan konten dengan hal berat, seperti visi, misi, dan program, memang membutuhkan kerja ekstra. Secara perlahan, semua kandidat diharapkan bisa mengemas hal ”berat” untuk dicerna publik demi mewujudkan kampanye berkualitas

Strategi ampuh

Tim sukses capres-cawapres merasa sosialisasi yang telah dilakukan selama ini merupakan strategi ampuh mendekati anak muda. Anggota Tim Komandan Pemilih Muda, Tim Kampanye Nasional Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Zita Anjani, menuturkan, pendekatan yang dilakukan sesuai gaya anak muda dengan konten-konten santai, tetapi berdampak. Saat ini, anak muda mengidamkan gaya berpolitik yang santai dan santun. Ia mencontohkan ”joget gemoy” yang tengah viral. Joget tersebut diinisiasi PAN dan tanpa instruksi apa pun.

Namun, justru ia melihat jogetan itu banyak diikuti warganet dan berdampak positif. Karena itu, ”joget gemoy” akan terus menjadi bahan kampanye. ”Tidak bisa dimungkiri, anak muda zaman sekarang maunya politik yang santai dan santun. Drama, perundungan, saling sindir, sudah tidak laku lagi saat ini,” katanya.

Anggota Dewan Pertimbangan Tim Nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Syaiful Huda, juga menyadari, video aksi Muhaimin ”nyelepet” Anies sempat viral dan menjadi ”konsumsi renyah” bagi anak muda. Namun, peristiwa itu memiliki konteks, yakni Hari Santri. ”Sempat viral memang, tetapi kami tidak glorifikasi dan terus menggaungkan. Kami letakkan dan kembali fokus pada substansi,” tuturnya.

Baca juga: Gagasan Ekonomi Para Kandidat Paling Ditunggu Calon Pemilih

Huda menolak terjadinya eksploitasi terhadap ruang privat masyarakat. Konten-konten yang disajikan setiap kandidat seharusnya mendidik dan membuka ruang diskusi, bukan sekadar konten ”receh” dan menghibur.

”Memang ada pasangan calon yang skenario dan strategi komunikasi publiknya meyakini konten ’receh’ bisa diterima publik. Tetapi, kami menghindari itu. Kami utamakan edukasi dan politik yang substantif,” katanya.

Suasana saat Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari memimpin pembacaan Deklarasi Kampanye Pemilu Damai Tahun 2024 di halaman Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Senin (27/11/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Suasana saat Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari memimpin pembacaan Deklarasi Kampanye Pemilu Damai Tahun 2024 di halaman Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Senin (27/11/2023).

Begitu pula Sekretaris Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Hasto Kristiyanto, menilai, seharusnya yang ditampilkan ke publik adalah karakter pemimpin, bukan gimik-gimik politik semata. Jika ingin menyasar anak muda, lanjutnya, sosialisasi harus mengedepankan narasi-narasi yang konkret, mulai dari penciptaan lapangan kerja, pemberantasan korupsi, hingga komitmen menciptakan sistem pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

Menurut dia, daripada memperbanyak gimik politik, lebih baik para kader dan sukarelawan memperbanyak gerak akar rumput dan turun bersama rakyat. Seiring dengan itu, mereka juga diinstruksikan untuk senantiasa menyosialisasikan kelebihan Ganjar-Mahfud. ”Kami ingin menampilkan the real politics daripada gimik politik,” ucapnya.

Basis emosi vs rasional

Pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, kampanye media sosial memang menawarkan harga murah dan target tepat. Walakin, risiko yang muncul adalah pemilih hanya disediakan informasi seragam, cenderung eksklusif, dan menjauhkan mereka dari diskursus gagasan.

”Propaganda komputasional bisa makin menjauhkan pemilih dari politik gagasan dan menguatkan pemilih yang berbasis emosi ketimbang mengandalkan data-fakta,” katanya.

Visi, misi, dan program kampanye tidak lagi menjadi pertimbangan memilih karena ruang diskursus gagasan di antara para pendukung calon menyempit. Pada akhirnya, ucap Titi, bisa mengakibatkan polarisasi disintegratif di tengah pemilih. Oleh karena itu, para elite perlu menempatkan kampanye sebagai bagian dari pendidikan politik yang bertanggung jawab, termasuk lewat media sosial.

Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)

Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem.

Setiap pasangan calon harus mengedukasi pendukungnya agar mampu memilah informasi dan tidak sekadar terpaku pada hal yang bersifat interaktif serta menghibur. ”Sebab, pemilu adalah momen memilih pemimpin terbaik, bukan sekadar bermodal gimik atau teatrikal semata. Akan sangat berbahaya kalau pemimpin terpilih (nanti) tidak jelas kapasitas dan kompetensinya dalam memimpin bangsa besar seperti Indonesia,” tuturnya.

Selain itu, para pemilih juga perlu meningkatkan literasi digital masing-masing, khususnya dalam pengaturan keamanan pribadi. Dengan demikian, mereka tidak mudah dieksploitasi oleh pihak tertentu jika terdapat penyalahgunaan iklan kampanye tertarget.

”Yang terakhir, biasakan mengecek rekam jejak dan visi misi calon guna mengukur kualitas berdasarkan fakta-fakta valid,” tutupnya.