Hanya dalam beberapa bulan, satu profesor tetap dipecat oleh menteri dan tiga profesor kehormatan menjadi terdakwa.

 
Oleh:
SUPRIADI RUSTAD

Ilustrasi

HERYUNANTO

Ilustrasi

Mendung gelap menggelayuti jagat keprofesoran Indonesia. Hanya dalam beberapa bulan, satu profesor tetap dipecat oleh menteri dan tiga profesor kehormatan menjadi terdakwa.

Tak dimungkiri bahwa beberapa tahun belakangan ini regulasi dan praktik keprofesoran di Tanah Air menjadi sorotan para akademisi.

Kasus pertama menimpa TI yang dikukuhkan sebagai guru besar tetap di bidang farmakologi oleh sebuah perguruan tinggi swasta (PTS) di Palembang, dengan berbekal Surat Keputusan (SK) Mendikbudristek pada akhir 2022. Jalur yang digunakan adalah penyetaraan ilmuwan yang berkarier di luar negeri, tetapi prosesnya sangat ceroboh sehingga keprofesorannya dibatalkan oleh menteri.

Kecerobohan terletak pada hal yang sangat mendasar, yaitu lemahnya sistem validasi berkas usulan. Sebelumnya, setelah dinilai memenuhi syarat administratif dan akademik, usulan diperiksa tim validasi, untuk memastikan ia tak mengandung dokumen atau data palsu. Kabarnya, sejak dua tahun silam tim validasi telah dibubarkan.

Yang juga menarik dari kasus ini adalah kenyataan bahwa seminggu sebelum dipecat menteri, sebagaimana dilansir beberapa media, TI juga diangkat menjadi adjunct professor di perguruan tinggi negeri (PTN) dan resmi dikukuhkan pada 12 Oktober. Artinya, yang bersangkutan dikukuhkan sebagai profesor oleh perguruan tinggi justru setelah dipecat menteri.

Hanya dalam beberapa bulan, satu profesor tetap dipecat oleh menteri dan tiga profesor kehormatan menjadi terdakwa.

Sungguh aneh, seseorang yang telah dipecat sebagai profesor tetap di perguruan tinggi (PT) swasta, tetapi justru kemudian dikukuhkan menjadi adjunct professor di PT milik pemerintah. Padahal, pemecatan itu terkait dengan masalah fraud sebagaimana penjelasan Pelaksana Tugas Dirjen Dikti.

Istilah adjunct professor tidak dikenal di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sehingga pengangkatan seseorang di dalam jabatan itu perlu ditinjau kembali. Selain itu, sesuai dengan regulasi, pengangkatan dalam jabatan profesor menjadi kewenangan menteri, dan perguruan tinggi tak memiliki kewenangan itu kecuali diberi mandat oleh menteri sebagaimana pada pengangkatan profesor kehormatan.

Perlu ditinjau ulang

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 38 Tahun 2021 tentang pengangkatan profesor kehormatan mengatur pendelegasian kewenangan dari menteri kepada perguruan tinggi.

Namun, pendelegasian ini pun tampaknya perlu ditinjau ulang mengingat ada kekhawatiran pimpinan perguruan tinggi menyalahgunakan kewenangan tersebut untuk kepentingan transaksi pribadi, bukan institusi.

https://cdn-assetd.kompas.id/gnp2PRwZmU46Zs8fuyXDMTloHk0=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F04%2F07%2Fc6bfa4d6-e6d9-4a56-8c5b-4f362c0e6cf2_jpg.jpg

Ilustrasi

Kekhawatiran ini pernah disuarakan oleh kalangan internal kampus. Awal tahun ini ratusan dosen Universitas Gadjah Mada ramai-ramai menolak pemberian gelar profesor kehormatan kepada pejabat publik.

Di beberapa kampus lain, baik negeri maupun swasta, pengangkatan profesor kehormatan tetap melenggang, tetapi data terkini menunjukkan bahwa keberadaan profesor kehormatan ini harus ditinjau ulang.

Secara rata-rata, perguruan tinggi di Indonesia belum mampu menjaga nama baik dan martabatnya. Mereka belum mampu membedakan dan sangat mudah salah memilih seseorang dengan perilaku tercela sebagai yang memiliki kompetensi luar biasa.

Memang di suatu perguruan tinggi ada unsur senat akademik yang bertugas menetapkan norma, termasuk kelayakan dan kepantasan seseorang untuk diangkat di dalam jabatan guru besar, tetapi unsur ini bisa ditundukkan dengan mudah oleh birokrasi rektorat yang kekuasaannya terlalu kuat.

Awal tahun lalu beredar di media sosial surat senat akademik sebuah PTN di Makassar yang menolak usulan profesor kehormatan SYL di bidang hukum. Namun, faktanya, meski ditolak senat, usulan itu akhirnya tetap direstui oleh kementerian dan pengukuhan pun berlangsung di kampus pada 17 Maret 2022. Tata kelola yang baik di tingkat PT tidak teramati di tingkat menteri.

Mantan menteri itu kini mendekam di tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), justru setelah mendapat penghargaan dari kampus dengan supervisi menteri. Jelas, surat senat akademik mewakili institusi pendidikan tinggi, sedangkan rektorat dan menteri entah mewakili siapa.

Secara rata-rata, perguruan tinggi di Indonesia belum mampu menjaga nama baik dan martabatnya.

Beberapa minggu sebelumnya, sebuah PTN terbesar di Surabaya mengukuhkan AQ, yang notabene seorang pejabat pemeriksa keuangan, sebagai profesor kehormatan di bidang ekonomi. Proses pengangkatannya berjalan mulus, tidak semulus kariernya yang kini berakhir menjadi tahanan Kejaksaan Agung.

Ia yang seharusnya menampilkan prestasi luar biasa sebagaimana harapan sang PTN justru kini menjadi sosok yang sangat tercela karena diduga menerima suap Rp 40 miliar dalam bancakan korupsi proyek base transceiver station (BTS).

Lebih banyak mudarat

Pengangkatan profesor kehormatan tidak hanya terjadi di perguruan tinggi negeri, tetapi juga marak di swasta.

Dalam rentang waktu antara pengukuhan SYL dan AQ terjadi pengukuhan profesor kehormatan atas nama AU di kampus swasta. AU yang akhir-akhir ini terkenal luas dengan sebutan ”paman” ini mengaku menerima banyak tawaran menjadi profesor dari berbagai kampus, tetapi hatinya tergerak dan pilihannya jatuh pada PT di kota Semarang itu.

Ia yang diberi penghargaan profesor kehormatan di bidang hukum itu sempat diduga merudapaksa hukum dan keadilan, dan akhirnya terbukti melakukan pelanggaran etik, dimusuhi publik, serta dijatuhi sanksi non-palu dari Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Sudah saatnya kementerian dan PT melakukan refleksi dan evaluasi terhadap pengangkatan profesor kehormatan ini. Faktanya, jabatan ini tidak memberikan manfaat apa pun, sebaliknya justru menghasilkan mudarat mendegradasi kualitas dan martabat perguruan tinggi.

https://cdn-assetd.kompas.id/TFp094cZMY7TXu_NCpGR9ez8xwQ=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F30%2Fc2759bfb-7c92-4cfd-a2ba-5c03c751ace2_jpg.jpg

Ilustrasi

Pemendikbudristek Nomor 38 Tahun 2021 Pasal 8 mengatur evaluasi pengangkatan profesor kehormatan, yaitu bahwa menteri melakukan evaluasi profesor kehormatan secara berkala dan dapat mencabut jabatan tersebut berdasarkan hasil evaluasi.

Meski pasal tersebut mengatur kriteria evaluasi secara tidak jelas, Pasal 9(1)c justru mengatur pemberhentiannya dengan tegas. Profesor kehormatan diberhentikan karena mendapatkan sanksi etik sedang atau berat, sanksi pelanggaran integritas akademik, dan/atau sanksi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Jelas bahwa ketiga profesor kehormatan tersebut memenuhi persyaratan pemberhentian sebagai profesor kehormatan sebagaimana bunyi Pasal 9. Akankah Mendikbudristek berani mencabut jabatan profesornya?

Baca juga : Mendikbudristek Cabut Gelar Profesor Taruna Ikrar

Supriadi RustadGuru Besar Universitas Dian Nuswantoro, Semarang

Editor: SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN