JAKARTA, KOMPAS — Setelah hampir dua tahun memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, implementasi regulasi tersebut dalam pencegahan, penanganan, dan pemulihan hak-hak korban di daerah masih menghadapi tantangan. Karena itu, pemerintah diminta segera mengesahkan aturan pelaksanaan undang-undang tersebut.
Pengesahan aturan pelaksana Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) berupa peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (perpres) sangat dinantikan untuk mendukung penanganan kasus kekerasan seksual di sejumlah daerah di Indonesia. Selain itu, untuk memastikan mekanisme perlindungan, penanganan, dan pemulihan bagi korban juga dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien.
Harapan pada pemerintah ini diutarakan Jaringan Masyarakat Sipil Kawal UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Senin (27/11/2023), bertepatan dengan Rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) tahun 2023 yang diperingati secara global setiap 25 November hingga 10 Desember 2023.
Melalui pernyataan sikap yang mengusung tema ”Percepatan Pengesahan Aturan Pelaksana dan Implementasi UU TPKS; Untuk Percepatan Pencegahan, Penanganan, Perlindungan dan Pemulihan Hak-hak Korban”, para aktivis organisasi perempuan yang mendampingi korban kekerasan seksual, mempertanyakan aturan turunan dari UU TPKS yang tak kunjung disahkan.
”Sampai saat ini aturan turunan UU TPKS belum diketok pemerintah dan ini menjadi salah satu hambatan penanganan kasus KS di sejumlah wilayah. Aparat penegak hukum menjadikan ini sebagai alasan untuk tidak menerapkan UU TPKS,” ujar Rena Herdiyani, mewakili Jaringan Masyarakat Sipil Kawal UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Hampir tuntas
Menanggapi soal penyusunan aturan turunan UU TPKS, Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Ratna Susianawati serta Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar menegaskan penyusunan perpres dan PP yang akan mengatur implementasi UU TPKS hampir selesai.
Sampai saat ini aturan turunan UU TPKS belum diketok pemerintah dan ini menjadi salah satu hambatan penanganan kasus KS di sejumlah wilayah.
”Rapat Panitia Antar Kementerian atau PAK dan harmonisasi sebagian besar sudah selesai, tinggal proses selanjutnya untuk diajukan pengesahannya. Saat ini UU TPKS dipakai dan menjadi rujukan dalam proses hukum kasus-kasus TPKS,” kata Nahar.
Ratna menambahkan bahwa pemerintah sudah bergerak cepat untuk menyelesaikan aturan turunan UU TPKS. Saat ini sedang dalam proses. ”Harapannya tahun ini sudah disahkan aturan turunannya,” kata Ratna.
ADITYA DIVERANTA
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar.
Selain itu, Jaringan Masyarakat Sipil Kawal UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberi catatan sejumlah hambatan penerapan UU TPKS. Contohnya, belum ada koordinasi antara kementerian/lembaga, institusi penegak hukum, Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak, pemerintah daerah, dan institusi lain lintas sektor di tingkat pusat maupun daerah terkait implementasi UU TPKS.
Tak hanya itu, pemahaman substansi UU TPKS, perspektif jender, disabilitas dan inklusi sosial, serta kesiapan aparat penegak hukum (APH), pemerintah daerah, dan unit pelayanan terpadu (UPT) amat rendah. “Karena itu kami melakukan sosialisasi kepada media agar menginformasikan soal UU TPKS. Sebab, banyak korban belum akses informasi dan keadilan, suarakan korban KS yang sampai saat ini belum mendapat keadilan," tuturnya.
Di sejumlah daerah seperti di Aceh, Sulawesi Utara, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, dan Papua, implementasi UU TPKS terkendala, terutama di kepolisian yang belum paham substansi UU TPKS. Di Sulawesi Utara dan NTT, misalnya, APH belum memahami substansi UU TPKS, dalam menangani kasus kekerasan seksual, dan lebih fokus memberi sanksi pada pelaku, seperti kasus anak memakai UU Perlindungan Anak karena sanksi lebih tinggi daripada UU TPKS.
Aparat penegak hukum belum memakai aturan turunan UU TPKS karena khawatir ada penolakan dari kejaksaan karena belum satu pemahaman. Hal ini diperparah dengan budaya patriarki dan stigma masyarakat terkait kasus kekerasan seksual, yang menyebabkan kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum dan kesadaran warga melindungi dan memulihkan korban.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Koalisi perempuan yang tergabung dalam "Save Our Sister" berunjuk rasa di depan Kejaksaan Tinggi Jambi, Kamis (26/7/2018). Mereka menuntut dibebaskannya WA (15), korban pemerkosaan yang divonis penjara 6 bulan karena menggugurkan kandungannya.
”Hampir dua tahun UU TPKS disahkan, tetapi di Papua belum diimplementasikan. APH ragu menggunakan UU TPKS. Kita juga menyayangkan perspektif APH masih bias jender dan tidak sensitif dengan korban,” ujar Novita Opki dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jayapura.
Hingga kini, menurut Novita, situasi perempuan korban kekerasan seksual, terutama di daerah terpencil, sulit mengakses keadilan karena banyak APH belum memahami UU TPKS. Para perempuan di daerah terpencil hidup tidak aman, terutama di daerah konflik. ”Situasi di Papua darurat kekerasan seksual,” ujarnya.
Maria Un dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulawesi Selatan mengungkapkan, hampir semua perempuan dan anak perempuan disabilitas menjadi korban kekerasan seksual, terutama perempuan disabilitas intelektual dan mental. ”Sebagian besar pelaku adalah orang dekat dan dikenal korban,” ujarnya.
Selain Novita dan Maria, ikut bersuara Katrin Wokanubun (Suara Milinial Maluku), Rosmiyati Sain (LBH APIK Sulsel), Luh Putu Anggraeni (LBH APIK Bali), Irene Natalia (Jaringan Perempuan Borneo), Riswati dan Fatimah (Flower Aceh), dan Nurul Kurniati (Jaringan Perempuan Yogyakarta).