Sekitar 18 tahun yang lalu (tahun 2003) saat menjadi mahasiswa semester akhir di sebuah universitas swasta di Jakarta, TD (40) mengalami pengalaman pahit dalam hidupnya saat bimbingan skripsi.  Setiap kali bertemu sang dosen pembimbing, dia diminta memakai rok mini atau rok dengan belahan panjang, serta membuka satu atau dua kancing kemeja, sampai terlihat belahan dada.

“Malam hari pasti telepon dan meminta bimbingan skripsi dilakukan di rumahnya karena enggak ada istrinya, atau di hotel. Tapi saya selalu datang dengan teman atau bapak saya. Akhirnya saya berhasil bicara dengan istrinya tapi hasilnya semua skripsi saya dicoret ulang dari bab satu lagi," ujar TD.

Atas kejadian tersebut TD kemudian melaporkan kepada ketua jurusan, dekan, dan rektor. Akhirnya TD mendapat dosen pembimbing yang baru. Namun, temannya yang mendapat dosen pembimbing si pelaku, karena takut kemudian melayani permintaan sang dosen di hotel.

“Tapi karena saya lapor ke pimpinan kampus akhirnya kejadian itu belum sempat berulang dan digerebek. Namun dosennya  cuma diskors beberapa bulan tapi sampai sekarang masih mengajar.  Sementara teman saya mengalami trauma panjang, sering menangis tanpa alasan, dan lulus kuliah dalam waktu lama,” ujar TD.

Pengalaman diperlakukan dosen seperti itu masih membekas di hati TD. Apalagi ketika dia menjadi pegiat antikekerasan dan mengadvokasi sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan, dia pun menemukan sejumlah mahasiswi yang menjadi korban kekerasan seksual di kampus.

Cerita TD hanyalah satu dari sekian banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Bukan rahasia lagi, jika kampus menjadi salah satu pintu terjadinya kekerasan seksual. Korban umumnya adalah perempuan atau mahasiswi, dan pelakunya dosen, atau staf, atau teman mahasiswanya.

Umumnya kasus tersebut tertutup rapat, karena jangan ada korban yang mau ‘speak up’ apalagi mau mengadu atau melapor pada pihak pimpinan kampus. Relasi kuasa antara pelaku dan korban, membuat korban tak berdaya. Trauma dibawa sampai lulus kuliah, bahkan hingga bekerja dan berkeluarga.

Kekerasan seksual di kampus merupakan fenomena gunung es. Karena itu, ketika akhir Agustus 2021 lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim, menerbitkan Peraturan Nomor 30 Tahun 2021  tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, apresiasi dan harapan muncul dari publik. Permendikbud itu dinilai sebagai langkah maju, untuk mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus.

Kekerasan seksual di kampus menjadi bagian dari potret kekerasan seksual di satuan pendidikan dan ranah publik. Kekerasan seksual juga terjadi di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Bahkan, hingga kini ketika ada siswa yang menjadi korban, bukannya mendapat perlindungan, malah dikeluarkan dari sekolah.

Di ranah keluarga dan komunitas, korban sering mengalami stigma, dan tidak mendapat keadilan ketika kasusnya dibawa ke ranah hukum. Bahkan ada perempuan korban pemerkosaan dipaksa menikah dengan pelaku.

https://cdn-assetd.kompas.id/wwaUMQhz9Pw-tuhGCt756XSHY0E=/1024x684/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F03%2F94dc675e-5aa7-43c7-8fc6-4d69a19684ad_JPG.jpg

KOMPAS/YOLA SASTRA

Aktivis perempuan yang tergabung dalam Jaringan Peduli Perempuan menggelar aksi diam dalam peringatan Hari Perempuan Internasional di jalan depan kantor DPRD Sumatera Barat, Padang, Sumbar, Senin (8/3/2021). Melalu tulisan di kertas karton mereka menuntut pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena angka kekerasan seksual masih relatif tinggi, termasuk di Sumbar.

Berbagai bentuk kekerasan

Kekerasan seksual adalah salah satu bentuk kekerasan yang dialami para perempuan di Tanah Air. Ada berbagai kekerasan yang juga dialami perempuan mulai dari psikis, fisik, dan penelantaran ekonomi. Bahkan, catatan dari Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memperlihatkan bahwa selama 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat 792 persen  (8 kali lipat).

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi momok bagi perempuan di Indonesia. Hal ini tergambar dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020, yakni jenis kekerasan terhadap perempuan paling menonjol terjadi di ranah pribadi yaitu KDRT dan relasi personal, yaitu sebanyak 79 persen (6.480 kasus).

Di antara KDRT, yang terbesar adalah kekerasan terhadap istri (KTI) yakni 3.221 kasus (49 persen), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20 persen), dan kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (14 persen), sisanya adalah kekerasan oleh mantan suami, mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Kekerasan di ranah pribadi ini mengalami pola yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

Adapun kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas/publik sebesar 21 persen (1.731 kasus) dengan kasus paling menonjol kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55 persen) yang terdiri dari dari pencabulan (166 kasus), perkosaan (229 kasus), pelecehan seksual (181 kasus), persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya adalah percobaan perkosaan dan kekerasan seksual lain.

Mari bersama-sama kita mengambil peran, menyatukan tujuan, dan bergandengan tangan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan.

Catahu tersebut menggambarkan beragam spektrum kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2020 dan terdapat kasus-kasus tertinggi dalam pola baru yang ekstrem, di antaranya, meningkatnya angka dispensasi pernikahan (perkawinan anak) sebesar tiga  kali lipat dari 23.126 kasus (2019) menjadi 64.211 kasus (2020). Selama masa pandemi Covid-19,  angka kasus kekerasan berbasis jender siber (daring) juga meningkat dari 241 kasus (2019) menjadi 940 kasus (2020).

https://cdn-assetd.kompas.id/7tZhNp0P7vFIu4hqL0XFFnDe54o=/1024x586/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F11%2F7d26cc85-bb7d-442d-a622-327058f7a185_jpg.jpg

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Para pegiat hak-hak perempuan mengikuti aksi 500 Langkah Awal Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (25/11/2020). Aksi tersebut merupakan bagian dari Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan untuk mendorong upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.

Kesetaraan

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengungkapkan akar masalah dari kekerasan adalah pola pikir masyarakat yang belum menjunjung kesetaraan. Bintang pun mengajak semua pihak menghentikan praktik kekerasan terhadap perempuan.

“Mari bersama-sama kita mengambil peran, menyatukan tujuan, dan bergandengan tangan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan,” kata Bintang, Kamis pekan lalu.

Direktur KAPAL Perempuan Misiyah menegaskan kampanye 18 HAKTP 2021 semakin menunjukkan urgensi perlindungan perempuan dari ancaman kekerasan seksual. Setiap saat perempuan berjatuhan menjadi korban kekerasan terutama kekerasan seksual.

“Komitmen Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia periode 2021-2025 yang memprioritaskan perempuan, anak, disabilitas dan masyarakat adat hendaknya benar-benar diimplementasikan,” kata Misiyah.

Anggota DPR pun digugah agar segera kembali menyadari mandatnya dengan mempercepat pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS),  termasuk pengesahan RUU Perlindungan PRT. Momen HAKTP 2021 seharusnya menjadi kampanye bersama memutuskan rantai kekerasan pada perempuan.

 
 
Editor:
evyrachmawati