JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan seksual bukan kejahatan terhadap etika, melainkan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sudah banyak perempuan dan anak-anak menjadi korban. Oleh karena itu, sudah saatnya para wakil rakyat menjawab teriakan dan pertanyaan para korban kekerasan seksual, yang selama ini tidak mendapat keadilan, dengan melahirkan produk reformasi hukum.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diminta sensitif, membuka ruang nurani dan mendengarkan suara-suara para korban, dengan segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang.
Kekerasan seksual harus dihentikan karena selama ini Kitab Undang-undang Hukum Pidana menempatkan kekerasan seksual sebagai kejahatan kesusilaan saja, padahal kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan.
Sulistyowati menegaskan, sudah terlalu banyak bukti yang menunjukkan korban kekerasan seksual bisa kehilangan nyawa, bukan hanya bisa, sudah terjadi, mengalami trauma sepanjang hidup, disabilitas sepanjang hidup, dan kehilangan masa depan. ”Kurang data apa lagi, sih, untuk menunjukkan bahwa kita sudah darurat kemanusiaan, karena kejahatan-kejahatan memalukan yang dilakukan pelaku yang seharusnya melindungi para korban. Dosen, tokoh agama (apa pun) melakukan ini,” ujarnya.
Karena itu, sebagai akademisi, Sulistyowati menegaskan, apabila ingin memperdebatkan RUU ini, mari diperdebatkan di dalam ruang-ruang akademik. ”Berilah kami ruang akademik untuk menyampaikan apakah RUU ini memenuhi syarat hukum atau tidak,” ucapnya.
RUU TPKS memenuhi tiga syarat hukum yang harus dipenuhi sebagai instrumen hukum UU TPKS, yakni landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Perdebatan seharusnya dibawa pada tiga landasan tersebut, bukan pada perdebatan yang sifatnya membangunkan sentimen politik identitas, karena hal itu justru akan membuat Indonesia tidak bisa menjadi bangsa maju.
Selain Sulisyowati, beberapa pembicara menyampaikan paparan tentang kondisi korban kekerasan seksual yang terjadi di berbagai daerah, yakni Ditta Wisnu (Kalimantan), Lusi Peilow (Ambon), Lely Zailani (Sumatera), Arnita Ernauli Marbun (Jawa), Nur Aida (Papua), dan Nur Hasanah (Sulawesi).
Lusi Peilow mengatakan, RUU TPKS mendesak disahkan karena sudah banyak korban kekerasan seksual yang menanti keadilan, seperti di daerah kepulauan dan terpencil. Dia mencontohkan, seorang perempuan lanjut usia mengalami kekerasan seksual dari tokoh masyarakat di sebuah desa di kepulauan.
Kasus itu kemudian dilaporkan kepada kepolisian. Namun, pihak kepolisian mengatakan tidak ada landasan hukum. Belakangan diketahui ada banyak perempuan yang menjadi korban dari pelaku.
”Ini bisa diketahui, bagaimana dengan perempuan-perempuan korban di kepulauan yang jauh, yang hanya bisa menangisi penderitaan yang dialami. Impunitas di Maluku sangat tinggi. Ada banyak kasus diselesaikan dengan kekeluargaan. Kita benar-benar menunggu RUU TPKS jadi undang-undang,” tutur Lusi.
Hal yang sama diungkapkan Nur Hasanah dari Suara Parangpuan Sulawesi Utara bahwa ada begitu banyak kasus kekerasan seksual yang tidak diproses kepolisian, dengan alasan tidak cukup bukti. Dia menyampaikan, ada korban kekerasan seksual disabilitas intelektual dengan pelaku pimpinan panti. Bahkan, ada dua korban diperkosa selama 14 kali, tetapi tidak diproses hukum dengan alasan tidak cukup bukti.
TANGGAPAN LAYAR MEDIA SOSIAL
Ketua Panitia Kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Willy Aditya memimpin rapat Badan Legislasi DPR, Senin (30/8/2021), di Jakarta.
Segera sahkan RUU TPKS
Pada akhir acara tersebut, JMS RUU TPKS menyampaikan sikap yang dibacakan Suharti dari Rifka Annisa Women Crisis Center tentang urgensi perlindungan bagi korban kekerasan seksual melalui pengesahan RUU TPKS menjadi UU. Keberadaan UU TPKS dibutuhkan mengingat jumlah kasus kekerasan seksual semakin meningkat dan bentuk kekerasan seksual semakin beragam yang menyasar tanpa membedakan jenis kelamin.
Berbagai kebijakan dan aturan hukum yang ada saat ini masih sangat terbatas dan belum mengatur berbagai bentuk kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat. Korban kekerasan seksual sampai saat ini masih sulit mendapatkan akses keadilan karena berbagai kendala dalam sistem hukum di Indonesia.
Kasus kekerasan seksual tidak hanya terjadi di lingkungan kampus, tetapi terjadi di mana saja, baik di ruang privat maupun publik. Oleh karena itu, kehadiran sebuah kebijakan yang kuat di tingkat nasional, yaitu UU TPKS, tetap diperlukan untuk menindak pelaku kekerasan seksual, sebagai upaya nyata mencegah, menangani, dan melindungi korban kekerasan seksual.
Karena itu, JMS meminta komitmen politik semua fraksi untuk mendukung draf RUU TPKS yang dihasilkan Badan Legislasi DPR agar dibahas lebih lanjut demi terwujudnya pencegahan, keadilan, dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual.
”Kepentingan korban haruslah diutamakan daripada kepentingan politik sebagai upaya konkret menyelamatkan generasi penerus dan mewujudkan Indonesia maju tanpa kekerasan seksual. Kami mendukung Baleg untuk menetapkan RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR dan menyelesaikan pembahasannya paling lambat pada masa sidang I tahun persidangan 2021-2022,” ujar Suharti.