JAKARTA, KOMPAS – Kekerasan terhadap perempuan di Indonesia berada pada situasi amat genting. Hal itu ditandai dengan tingginya angka kekerasan pada perempuan di sejumlah daerah. Untuk itu media didorong agar terlibat aktif mencegah kekerasan melalui produksi konten sensitif dan transformatif jender.

" Peran rekan-rekan media amat penting, terutama dalam membentuk nilai-nilai kehidupan bermasyarakat,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, saat memulai Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) 2021, di Jakarta, Kamis (25/11/2021), secara daring.

Bintang menegaskan, akar masalah ekerasan adalah pola pikir masyarakat yang belum menjunjung kesetaraan. Untuk itu,  media perlu turut serta dalam upaya promotif dan preventif, salah satunya melalui produksi konten yang sensitif jender dan transformatif jender.

Pihaknya mengapresiasi pemberitaan media terkait kekerasan pada perempuan dan anak. “Namun kami memohon agar berpihak pada penyintas dengan tidak menyebarluaskan foto ataupun identitas diri lainnya serta tidak menggiring opini tak ramah penyintas, misalnya pakaian yang dikenakannya,” kata Bintang.

Semua pihak dan pemangku kepentingan untuk turut serta dalam kampanye itu. Para pemangku kepentingan itu meliputi pemerintah pusat hingga desa, aparat penegak hukum, sumber daya layanan, akademisi dan profesional, dunia usaha, masyarakat, termasuk media masa.

Kami memohon agar berpihak pada penyintas dengan tidak menyebarluaskan foto ataupun identitas diri lain serta tak menggiring opini tak ramah penyintas, misalnya pakaian yang dikenakannya.

Kegentingan kekerasan terhadap perempuan tergambar dalam sejumlah data. Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) berdasarkan tahun penginputan, yang diolah pada 18 November 2021, menunjukkan ada 7.818 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa periode Januari-Oktober 2021.

Adapun jumlah kasus kekerasan pada anak 11.109 orang, dan 71 persen korbannya adalah anak perempuan. Laporan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2021 mencatat kekerasan berbasis jender daring, naik empat kali dari tahun 2019 ke tahun 2020.

“Perlu menjadi perhatian kita bahwa fenomena kekerasan seperti gunung es di mana jumlah sebenarnya lebih besar lagi. Sebagai gambaran, atas dasar ketimpangan relasi kuasa, penyintas sangat takut melaporkan kekerasan yang dialaminya,” tegas Bintang.

Menghadapi situasi genting tersebut, maka penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi salah satu dari lima prioritas kerja yang diamanatkan oleh Presiden kepada Kementerian PPPA pada 2024.

https://cdn-assetd.kompas.id/e9fr5_OSzCvH-SWK8orcgMo6blw=/1024x681/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2F82266184-b4e2-4c40-8cee-7b10f6b5e9ba_jpg.jpgKOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Para demonstran yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil (GEMAS) berdemonstrasi menuntut pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (17/9). Mereka meminta DPR segera membentuk Tim Perumus RUU PKS dengan melibatkan masyarakat selama proses pembahasan RUU PKS.Kompas/Wawan H Prabowo

Lima aksi

Untuk menyerukan kekerasan, Kementerian PPPA melakukan lima aksi. Sejumlah aksi itu meliputi pencegahan kekerasan melibatkan keluarga, sekolah, dan masyarakat; memperbaiki sistem pelaporan dan layanan pengaduan; reformasi manajemen penanganan kasus;  melaksanakan penegakan hukum yang memberi efek jera dan pendampingan hukum; serta memberi layanan rehabilitasi sosial dan reintegrasi sosial.

Kementerian PPPA, melalui Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2020 juga bertugas sebagai penyedia layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan dan anak yang butuh perlindungan khusus, koordinasi tingkat nasional, lintas provinsi dan internasional.

“ Kementerian PPPA berupaya menghapus praktik kekerasan yang menimpa perempuan melalui berbagai program dan aksi, khususnya dalam menguatkan koordinasi, mendorong sinergi dan memperluas jejaring dalam pencegahan hingga penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan,” kata Bintang.

Selain itu, pemerintah mendukung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. “Kami terus berdialog dan mengumpulkan dukungan agar RUU TPKS dapat segera disahkan,” tambahnya.

Nahar, Deputi Perlindungan Khusus Anak dan Ratna Susianawati Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA menyatakan dari sisi manajemen kasus, saat ini dipastikan semua kasus di seluruh daerah di Indonesia terkoneksi dengan sistem SAPA 129.

Jika tidak terkoneksi dengan SAPA 129, Kementerian PPPA akan hubungkan dengan layanan di daerah. Beberapa kasus yang menarik perhatian publik langsung ditangani kementerian.

“Untuk beberapa kasus, kami bisa mengisi kekosongan daerah sehingga bisa intervensi, khususnya kasus lintas provinsi dan lintas negara. Ada sekitar 18.000 panggilan yang masuk, kasus yang bisa dipilah sekitar 406 anak kasus anak, dengan korban 720. Ini sejalan dengan laporan yang masuk ke Simfoni PPA,” kata Nahar.

https://cdn-assetd.kompas.id/eSlkZADUSPvDY6Eh20J4xFwp-_s=/1024x616/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F07%2F20210715-H09-ADI-mumed_1626360660.png

Perempuan pekerja migran

Secara terpisah, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengapresiasi keberhasilan Pemerintah Indonesia meloloskan resolusi “Violence Against Women Migrant Workers" di PBB. Hal ini dinilai langkah maju sebagai bentuk komitmen Indonesia di kancah internasional untuk melindungi buruh migran perempuan di masa pandemi Covid-19.

Meski demikian, SBMI melihat komitmen tersebut belum dibarengi dengan peran perlindungan yang nyata dari pemerintah sebagai penyelenggara negara, khususnya Perwakilan RI dalam melindungi Buruh Migran Indonesia (BMI) dari dampak Covid-19.

“Secara umum respons perwakilan Pemerintah RI belum memadai dan belum sesuai kebutuhan BMI (buruh migran Indonesia) yang terdampak pandemi Covid-19. Pemerintah belum maksimal melindungi buruh migran perempuan dari berbagai pelanggaran dan kekerasan yang kasusnya meningkat selama pandemi Covid-19,” kata Ketua Umum SBMI Hariyanto.

Untuk memberikan perlindungan terhadap buruh migran yang terdampak pandemi Covid-19, pemerintah, khususnya Perwakilan RI di negara tujuan BMI belum menjalankan kewajibannya sebagaimana dimandatkan sejumlah undang-undang.

“Akibatnya buruh migran Indonesia khususnya perempuan rentan mengalami kekerasan, terlanggar haknya, termasuk terkait ketenagakerjaan, sosial, keterbatasan informasi, serta kesulitan akses kesehatan,“ tegas Hariyanto.

Peringatan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, yang jatuh pada tanggal 25 November ini harus menjadi momentum refleksi Pemerintah Indonesia untuk segera melakukan langkah konkret untuk meningkatkan pelindungan BMI, yang mayoritas perempuan, dari dampak pandemi Covid 19.

 
 
Editor:
evyrachmawati