JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi, Rabu (29/11/2023), akan memutus perkara pengujian kembali Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang diajukan mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Brahma Aryana. Putusan itu diharapkan memberi kepastian hukum pelaksanaan Pemilihan Presiden 2024, apa pun isinya.

Kuasa hukum Brahma Aryana, Viktor Santoso Tandiasa, dihubungi Selasa (28/11/2023) mengaku optimistis MK akan mengabulkan permohonannya. Sebab, ini jadi kesempatan MK mengoreksi putusan sebelumnya (90/PUU-XXI/2023).

Dalam permohonannya, Brahma Aryana meminta MK menafsir ulang Pasal 169 huruf q UU Pemilu pascaputusan 90/PUU-XXI/2023. Adapun, putusan 90 telah memperbolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun maju dalam kontestasi pilpres dengan catatan ”pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah”. Putusan ini membuka peluang bagi Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden.

Brahma meminta MK memberi tafsir baru terhadap putusan itu dengan cara mempersempit orang yang bisa mencalonkan diri sebagai capres/cawapres, yaitu berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan kepala daerah, yakni gubernur dan wakil gubernur.

Ia mengaku sulit memprediksi amar putusan yang akan dijatuhkan MK. Namun, apabila amar putusan 141 mengubah amar putusan 90 sehingga menjadi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, hal itu tidak berdampak pada Pemilu 2024. Sebab, berdasarkan presumption of constitutionality yang didasarkan pada Pasal 58 UU MK, putusan 90 tetap sah sampai adanya putusan 141.

Kemarin, MK juga menyidangkan uji formil terhadap pasal yang sama yang dimohonkan Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar. Mereka mempersoalkan pembentukan putusan 90 yang dinilai bertentangan dengan konstitusi.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kiri) menyampaikan keterangan pers di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/11/2023). Anwar Usman membantah adanya konflik kepentingan saat ia menangani perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kiri) menyampaikan keterangan pers di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/11/2023). Anwar Usman membantah adanya konflik kepentingan saat ia menangani perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

UU MK

Pada Rabu, MK juga akan memutus pengujian Pasal 15 Ayat (2) UU MK yang mengatur tentang syarat usia minimal hakim konstitusi 55 tahun. Pengujian tersebut diajukan pengajar Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Makassar, Fahri Bachmid.

Viktor yang juga menjadi kuasa hukum Fahri mengungkapkan, kliennya menguji pasal itu mengingat ketentuan syarat usia minimal calon hakim konstitusi terlalu sering diubah. Pembuat undang-undang terlalu sering mempermainkan syarat usia minimal dan maksimal hakim MK.

”Semangat untuk mengubah usia minimal hakim MK itu kelihatan sekali untuk kepentingan politik. Apalagi, menjelang penyelenggaraan sidang perselisihan hasil pemilu. Usia minimal menjadi bargaining, permainan politik,” katanya.

Apabila usia minimal hakim MK dinaikkan jadi 60 tahun, tiga hakim konstitusi, yakni Guntur Hamzah, Saldi Isra, dan Daniel Yusmic P Foekh, terdampak. Hal ini bisa diselesaikan dengan dua cara, ketentuan baru itu tak diberlakukan untuk hakim yang sedang menjabat atau dimintakan konfirmasi ke lembaga pengusul.

Masih terkait usia hakim dan masa jabatan hakim konstitusi, pemerintah dan Panitia Kerja RUU MK Komisi III DPR pada Rabu ini direncanakan menggelar rapat lanjutan pembahasan revisi keempat UU MK. Rapat sedianya dilakukan pada Senin lalu, tetapi tertunda. ”Besok pembahasannya,” kata anggota Panja RUU MK dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, saat dikonfirmasi Selasa.

Violla Reininda

DOKUMENTASI PRIBADI

Violla Reininda

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Violla Reininda meminta pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan RUU MK yang tengah berlangsung. Sebab, kata dia, pembahasan RUU MK ini merupakan upaya menaklukkan MK dalam hegemoni kekuasaan elite politik. Apalagi, revisi dilakukan di masa transisi tahun politik dan RUU MK tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) lima tahunan ataupun prolegnas prioritas.

 
 
Editor:
ANTONY LEE