JAKARTA, KOMPAS — Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat akan melanjutkan pembahasan revisi keempat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi. Masa jabatan hakim konstitusi menjadi salah satu isu yang kemungkinan akan dibahas dalam pembahasan tersebut.

Dua anggota Komisi III DPR yang juga anggota Panitia Kerja (Panja) Revisi UU MK, Taufik Basari dari Fraksi Partai Nasdem dan Johan Budi SP dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, saat dihubungi pada Minggu (26/11/2023), membenarkan tentang rencana melanjutkan pembahasan revisi UU MK. Panja RUU MK akan menggelar rapat pada Senin (26/11/2023) pukul 10.00 WIB.

Taufik Basari mengungkapkan, prahara yang terjadi di MK terkait dengan putusan usia calon presiden dan calon wakil presiden dalam perkara 90/PUU-XXI/2023 menjadi salah satu pertimbangan dalam revisi UU MK, meskipun pembahasan RUU MK dimulai sebelum peristiwa tersebut terjadi. Revisi tersebut harus digunakan sebagai momentum untuk memperbaiki lembaga tersebut.

”Saya mendorong persoalan independensi Mahkamah Konstitusi dan penegakan etik hakim konstitusi menjadi salah satu isu penting dalam pembahasan revisi UU MK,” katanya.

Seperti diketahui, putusan nomor 90 telah membuka pintu bagi pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, ke kancah kontestasi Pemilihan Presiden 2024. Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengatur usia minimal capres dan cawapres adalah 40 tahun, tetapi MK membuka alternatif bagi kepala daerah untuk mengikuti kontestasi tersebut meskipun belum memenuhi syarat usia minimal. Belakangan, Anwar Usman dicopot dari jabatan sebagai ketua MK karena terbukti melanggar etik dalam penanganan perkara tersebut.

Hakim konstiusi yang terpilih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (kanan) bersalaman dengan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra (kiri) seusai pemilihan dan pengumuman Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) baru di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (9/11/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Hakim konstiusi yang terpilih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (kanan) bersalaman dengan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra (kiri) seusai pemilihan dan pengumuman Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) baru di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (9/11/2023).

Kasus putusan 90 telah ditindaklanjuti dengan pemilihan ketua MK baru sebagai pelaksanaan dari perintah Majelis Kehormatan MK. Hakim konstitusi Suhartoyo terpilih sebagai ketua baru, tetapi saat ini Anwar Usman menggugat keterpilihan Suhartoyo itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

”Negara hukum harus diselamatkan. Prahara yang terjadi di Mahkamah Konstitusi mengancam prinsip supremasi hukum dalam bernegara. Kita harus cegah hukum menjadi alat kekuasaan, pengadilan tidak independen, dan mekanisme check and balances tidak berjalan,” kata Taufik.

Dengan semangat ini, ia menilai bahwa kekuasaan eksekutif dan legislatif harus menahan diri agar tidak mengintervensi peradilan sehingga dapat merusak negara hukum sesuai konstitusi. Tiga cabang kekuasaan yang ada, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, harus berjalan sesuai dengan jalurnya.

Masa jabatan

Hal yang signifikan lainnya, menurut dia, adalah pengaturan mengenai masa jabatan hakim konstitusi. ”Soal apakah masa jabatan hakim konstitusi didasarkan pada masa pengabdian hingga usia purnabakti seperti sekarang ini atau kembali pada periode lima tahunan seperti dahulu juga menjadi isu pembahasan becermin dari peristiwa yang terjadi terakhir ini,” ujarnya.

Taufik Basari ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/6/2023).

KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU

Taufik Basari ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/6/2023).

Taufik berharap, fraksi-fraksi lain di Komisi III DPR memiliki semangat yang sama untuk menegakkan marwah dan martabat MK serta menjaganya dari intervensi kekuasaan politik ataupun kepentingan lainnya selain kepentingan hukum. Ia pun berharap semua pihak untuk mengawal proses revisi UU MK ini.

UU MK terakhir (UU No 7/2020) mengatur, hakim konstitusi menjabat hingga memasuki usia pensiun pada umur 70 tahun dengan masa jabatan maksimal 15 tahun. Artinya, hakim konstitusi akan berhenti di usia 70 tahun atau jika sudah menjabat selama 15 tahun. Sebelumnya, hakim konstitusi menjabat selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk periode kedua masa jabatan sehingga tiap hakim maksimal menduduki kursi hakim MK selama 10 tahun.

Apabila wacana mengembalikan masa jabatan hakim konstitusi selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan tersebut disepakati, ada dua hakim konstitusi yang statusnya menggantung. Sebab, kedua orang tersebut sudah menjabat selama lebih dari 10 tahun. Mereka adalah Anwar Usman yang dilantik pertama kali menjadi hakim konstitusi pada 6 April 2011 atau hingga saat ini sudah menjabat 12 tahun 7 bulan dan Arief Hidayat yang dilantik pada 1 April 2013 atau sudah menjabat 10 tahun 7 bulan.

Sementara itu, masa jabatan hakim-hakim konstitusi yang lain belum mencapai 10 tahun. Ketua MK Suhartoyo baru menjabat selama 7 tahun 11 bulan, Wakil Ketua MK Saldi Isra 6 tahun 7 bulan, Enny Nurbaningsih 5 tahun 3 bulan, Daniel Yusmic P Foekh 3 tahun 9 bulan, dan Guntur Hamzah selama 1 tahun. Sementara itu, hakim konstitusi Manahan MP Sitompul akan mengakhiri masa jabatannya pada Desember 2023 dan akan digantikan oleh Ridwan Mansyur, saat ini Panitera Mahkamah Agung. Adapun Wahiddudin Adams yang pensiun pada Januari 2024 dan akan digantikan oleh politisi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani.

Ketua Mahkamah Konstitusi yang baru Suhartoyo (tengah) berfoto bersama delapan hakim konstitusi lainnya saat pengumuman ketua Mahkamah Konstitusi baru di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (9/11/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Ketua Mahkamah Konstitusi yang baru Suhartoyo (tengah) berfoto bersama delapan hakim konstitusi lainnya saat pengumuman ketua Mahkamah Konstitusi baru di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (9/11/2023).

Informasi mengenai revisi UU MK untuk mengubah masa jabatan atau batas usia pensiun, termasuk juga revisi syarat minimal menjadi hakim MK, juga beredar di kalangan akademisi dan organisasi-organisasi profesi pengajar hukum tata negara dan hukum administrasi negara.

Pelaku revisi itu, kan, anggota partai politik. Sebagian besar mereka akan bertarung di MK.

Salah satu yang menjadi topik pembahasan adalah menaikkan syarat minimal usia hakim MK menjadi 60 tahun dari sebelumnya 55 tahun. Apabila kenaikan usia minimal hakim MK tersebut disetujui, kedudukan hakim konstitusi Saldi Isra, Guntur Hamzah, dan Daniel Yusmic P Foekh menjadi terancam.

Ditolak

Pendiri sekaligus Managing Partner Themis Indonesia, Feri Amsari menolak gagasan revisi dilakukan di tengah tahapan pemilu yang masih berlangsung. Apalagi, menurut Feri, revisi dilakukan kurang dari dua bulan menjelang pemungutan suara pada 14 Februari 2024.

”Pelaku revisi itu, kan, anggota partai politik. Sebagian besar mereka akan bertarung di MK (saat sengketa hasil pemilu). Jadi, tentu ini menimbulkan kesan situasi sepenting ini—di luar problematika MK—akan dikaitkan dengan posisi tawar peserta pemilu ke aparat penegak hukum seperti MK,” kata Feri.

https://cdn-assetd.kompas.id/xG24wwJ-m0LFyQutcPmJOLRsons=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F08%2F09%2FScreen-Shot-2021-08-09-at-17.14.55_1628519666_png.jpg

Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari

Oleh karena itu, apa pun cerita di balik revisi ini, pihaknya menolak upaya DPR melanjutkan pembahasan RUU MK. ”Ini berbahaya. Kalau hakim yang mau menyidangkan perkara mereka, kemudian diotak-atik dengan undang-undang yang mereka buat, tentu ini akan ada konflik kepentingan serta melanggar asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,” tambahnya.

Senada dengan Feri, pengajar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII), Allan FG Wardhana, juga meminta agar perubahan keempat UU MK tidak dilakukan saat ini alias ditunda usai pemilu. Revisi UU MK untuk situasi saat ini belum tepat karena otak-atik masa jabatan hakim di tahun politik dan menjelang pemilu dapat dipastikan sarat dengan kepentingan politik.

Ia mengakui, UU No 7/2020 memiliki banyak kekurangan dan sudah digugat ke MK. Namun, untuk mengubahnya perlu dilakukan dengan persiapan yang matang, komprehensif, dan tidak dilakukan seperti kejar tayang atau kejar target.

Khusus mengenai syarat usia minimal 60 tahun, ia juga tidak sepakat karena bisa menimbulkan kerugian konstitusional warga yang belum mencapai usia tersebut meskipun memenuhi syarat menjadi hakim MK (berintegritas dan negarawan). Dengan demikian, hal tersebut akan menutup hak konstitusional warga untuk menjadi hakim konstitusi, padahal hak itu dijamin oleh konstitusi.

 
 
Editor:
ANTONIUS PONCO ANGGORO