JAKARTA, KOMPAS — Suasana sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Selasa (31/10/2023), terasa seperti tempat untuk melampiaskan emosi para pengadu yang kesal dengan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan itu dinilai memberi jalan bagi Wali Kota Surakarta, Jawa Tengah, Gibran Rakabuming Raka yang juga putra sulung Presiden Joko Widodo menjadi bakal calon wakil presiden dalam Pemilu 2024.

Para pelapor etik ataupun kuasa hukumnya tampak berapi-api sembari menahan amarah meminta Majelis Kehormatan MK (MKMK) menganulir putusan 90 serta memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mencoret Gibran dari daftar cawapres.

”Kami meminta MKMK agar membatalkan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 tertanggal 16 Oktober apabila terbukti ada conflict of interest dalam putusan tersebut. Meminta MKMK menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat apabila terbukti adanya conflict of interest yang dilakukan Anwar Usman dan hakim konstitusi lainnya,” ujar Mirza Zulkarnaen, Direktur LBH Yusuf, saat membacakan petitum pengaduannya dalam sidang terbuka MKMK, Selasa (31/10/2023).

Sidang dipimpin Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dengan anggota Bintan R Saragih dan Wahiduddin Adams. Empat pengaduan etik diperiksa untuk sidang kali ini, yaitu pengaduan Denny Indrayana, 15 guru besar, dan pengajar hukum tata negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS), LBH Yusuf, dan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak.

Dalam permohonannya, LBH Yusuf juga meminta MKMK agar memerintahkan KPU selaku penyelenggara pemilu untuk menolak dan membatalkan pendaftaran Gibran sebagai cawapres. Mereka juga meminta MKMK memerintahkan KPU agar tidak menetapkan Gibran sebagai cawapres dalam Pemilu 2024.

Mendengar petitum tersebut, Jimly mengungkapkan, ”Laporan ini kayak melampiaskan kemarahan juga. Tapi, enggak apa-apa. Ini (dilakukan) di dalam sidang. Jangan bakar ban di luar.”

Suasana ruangan saat digelar Sidang Etik Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan Mendengarkan Keterangan Pelapor dan/atau Memeriksa Alat Bukti terkait dugaan pelanggaran etik Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman di Ruang Sidang MKMK, Gedung 2 Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (31/10/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Suasana ruangan saat digelar Sidang Etik Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan Mendengarkan Keterangan Pelapor dan/atau Memeriksa Alat Bukti terkait dugaan pelanggaran etik Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman di Ruang Sidang MKMK, Gedung 2 Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (31/10/2023).

Dalam pengaduannya, LBH Yusuf menyebut pelanggaran kode etik yang dilakukan Anwar Usman dalam penanganan perkara 90 sudah terang benderang. Mereka mendalilkan, putusan 90 cacat formil. Ini karena perkara tersebut sebenarnya sudah dicabut pada 29 September 2023 pukul 14.32, tetapi memang pada 30 September atau sehari kemudian dibatalkan pencabutan/penarikan perkara itu. Seharusnya, menurut Mirza, perkara tersebut tidak dilanjutkan karena sudah dicabut.

Selain itu, mereka juga sepakat dengan pendapat berbeda atau dissenting opinion yang dikemukakan oleh hakim konstitusi Suhartoyo yang menyatakan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk mempersoalkan pasal yang mengatur syarat usia capres-cawapres. Pasalnya, tidak ada hubungan sebab akibat yang secara langsung ataupun tidak langsung yang menjadikan adanya kerugian konstitusional baik aktual maupun potensial yang dialami oleh pemohon.

Hal yang paling utama, Mirza juga menyebut adanya konflik kepentingan Anwar Usman mengingat yang bersangkutan memiliki hubungan kemenakan dengan Gibran. Padahal, UU Kekuasaan Kehakiman dan kode etik hakim MK secara tegas melarang hakim untuk mengadili perkara yang terkait dengan dirinya sendiri baik langsung maupun tidak langsung.

Terhadap permohonan-permohonan yang disampaikan tersebut, Jimly dan anggota MKMK lainnya belum memberikan jawaban. Persidangan yang digelar pada Selasa pagi ini dimaksudkan untuk mendengarkan uraian pengaduan sekaligus mengatur keterangan saksi atau ahli yang kemungkinan bakal dihadirkan di hadapan MKMK.

Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti yang menjadi bagian dari 15 Guru Besar Hukum Tata Negara memaparkan pelaporan pada Sidang Etik Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan Mendengarkan Keterangan Pelapor dan/atau Memeriksa Alat Bukti terkait dugaan pelanggaran etik Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman di Ruang Sidang MKMK, Gedung 2 Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (31/10/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti yang menjadi bagian dari 15 Guru Besar Hukum Tata Negara memaparkan pelaporan pada Sidang Etik Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan Mendengarkan Keterangan Pelapor dan/atau Memeriksa Alat Bukti terkait dugaan pelanggaran etik Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman di Ruang Sidang MKMK, Gedung 2 Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (31/10/2023).

Namun, Jimly membatasi banyaknya ahli ataupun saksi yang diajukan mengingat persidangan dilakukan secara cepat. MKMK menargetkan keterangan pelapor beserta pembuktian yang dilakukan rampung Jumat. Putusan akan dibacakan pekan depan, tepatnya Selasa (7/11/2023).

Selain ke MKMK, LBH Yusuf juga berencana untuk lapor ke Bawaslu. Sebab, KPU dinilai terlalu prematur menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres. ”Dalam satu minggu ini, sebelum putusan MKMK keluar, kami juga akan menggugat ke Bawaslu,” kata Mirza saat ditemui di luar persidangan.

Tanggung jawab akademik

Dalam kesempatan yang sama, sejumlah pengajar hukum tata negara juga mengungkapkan kegalauannya dengan putusan 90 tersebut. Pengajar STHI Jentera, Bivitri Susanti, misalnya, melaporkan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Anwar Usman tersebut karena sudah sulit untuk memberikan jawaban kepada mahasiswa.

”Kami ini berlima belas harus mengajar ke mahasiswa, menceritakan masalah hukum, menceritakan MK sebagai the guardian of constitution. Tapi, ada mahasiswa yang bertanya, tapi kenyataannya kok seperti ini,” kata Bivitri.

Ia mengaku sebenarnya sudah melihat MK mengalami kondisi yang tidak ideal dalam beberapa tahun terakhir. Namun, pada persoalan yang terakhir, pihaknya merasa sudah harus mengambil suatu langkah, di antaranya adalah mengadu ke MKMK.

Hal serupa diungkapkan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti. Baginya, langkah pengaduan ke MKMK tersebut merupakan bagian dari tanggung jawabnya sebagai kaum intelektual ketika penyelenggaraan negara sudah tak sejalan dengan asas dan prinsip hukum tata negara. Baginya, MK sudah tidak dapat menjalankan fungsi-fungsi utamanya karena politisasi MK yang ditopang hakim-hakimnya yang lebih berperan sebagai aktor politik daripada pemutus yang netral.

Para hakim Mahkamah Konstitusi meninggalkan ruangan sidang saat skorsing sidang putusan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Para hakim Mahkamah Konstitusi meninggalkan ruangan sidang saat skorsing sidang putusan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023).

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Surabaya Hesti Armiwulan meminta MKMK mempertimbangkan rasa keadilan dari masyarakat yang karena konflik kepentingan Anwar Usman telah membawa dampak kegaduhan di dalam pelaksanaan demokrasi. Menurut dia, pencalonan Gibran merupakan dampak dari conflict of interest di dalam pemeriksaan perkara 90.

”Oleh karena itu, kami meminta MKMK mempertimbangkan setidak-tidaknya berani mengukir sejarah karena ada apa yang dilakukan oleh ketua MK itu sehingga menghasilkan sebuah putusan yang sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi dan ketatanegaraan serta negara hukum yang demokratis,” kata Hesti saat diwawancarai seusai persidangan.

 
 
Editor:
ANTONY LEE