JAKARTA, KOMPAS — Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK membacakan putusan dugaan pelanggaran etik Ketua MK Anwar Usman dan para hakim konstitusi pada Selasa (7/11/2023). Kepada tiga begawan hukum itulah, publik berharap putusan mereka mampu menyelamatkan Mahkamah Konstitusi dari keterpurukan dan meneguhkan kembali negara hukum Indonesia.
Setelah melalui persidangan sepekan penuh, MKMK berencana memutus dugaan pelanggaran etik Anwar dan para hakim yang lain pada Selasa (8/11/2023). Dalam beberapa kesempatan, Jimly mengungkapkan, putusan akan diberikan untuk setiap hakim bukan berdasarkan laporan yang masuk. Seperti diketahui, MKMK menerima 21 laporan dugaan pelanggaran kode etik untuk seluruh hakim konstitusi. Hanya saja, Anwar Usman paling banyak diadukan.
Menurut Denny, MKMK perlu menancapkan tonggak sejarah menjadi penyelamat kehormatan dan kewibawaan MK. Kapasitas dan integritas tiga anggota MKMK tidak diragukan lagi. “Keahliannya tidak diragukan lagi. Keilmuannya lebih dari cukup untuk membuat keputusan yang adil dan bersejarah,” kata Denny.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Tiga anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) (dari kiri ke kanan) Wahiduddin Adams, Jimly Asshiddiqie dan Bintan R Saragih saat Sidang Etik Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) di Ruang Sidang MKMK, Gedung 2 Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (31/10/2023).
Sementara itu, pemohon lain, yakni Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), kemarin, menyampaikan keprihatinannya kepada MKMK. Sebab, pihaknya mulai mendengar suara-suara sumbang dan ragu terkait apakah MKMK bisa memberikan putusan yang memuaskan para pelapor.
Oleh karena itu, para advokat tersebut mendesak agar MKMK tetap obyektif dan mampu memutus kasus dugaan pelanggaran etik itu dengan semangat untuk menjaga marwah konstitusi. ”Dan, sekaligus putusannya bisa menetralisasi situasi sekarang, di mana di masyarakat terjadi pembelahan. Ada yang pro, ada yang kontra,” kata Petrus Selestinus dari TPDI.
Kasus ini bermula dari terbitnya putusan 90/PUU-XXI/2023 yang pada intinya memberi makna baru terhadap syarat usia minimal capres dan cawapres di dalam Pasal 169 Huruf q UU No 7/2017 tentang Pemilu. MK membuka peluang bagi warga yang berusia di bawah 40 tahun untuk maju dalam Pemilihan Presiden 2024 asalkan pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Putusan itu menjadi kontroversi karena seakan memberi karpet merah kepada Gibran untuk maju dalam pencalonan. Apalagi, dua hakim konstitusi, yaitu Saldi Isra dan Arief Hidayat, mengajukan dissenting opinion atau pendapat berbeda yang justru menguak dinamika di dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) keluar ruangan sidang saat hakim MK Saldi Isra (kiri) membacakan dissenting opinion (pendapat berbeda) atas putusan uji materi aturan syarat usia capres-cawapres, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023).
Saldi menyoroti perubahan sikap para hakim yang terjadi secara sekelebat, berubah dari putusan 29-51-55/2023 yang menyerahkan masalah usia kepada pembentuk undang-undang untuk menentukannya menjadi putusan 90 yang membuka pintu bagi kepala daerah, termasuk wali kota, untuk menjadi capres dan cawapres. Perubahan itu terjadi setelah Anwar Usman yang semula tidak ikut memutus di perkara 29-51-55 kemudian terlibat di perkara 90.
Para pelapor dugaan etik Anwar Usman mempersoalkan keterlibatan Anwar dalam menangani perkara 90. Padahal, jelas-jelas ia memiliki hubungan kekerabatan dengan Presiden Joko Widodo dan pemohon 90 (Almas Tsaqibbirru Re A) merupakan pengagum Gibran yang menginginkan Wali Kota Solo itu ikut kontestasi di 2024. Para pelapor mempersoalkan tidak mundurnya Anwar dari penanganan perkara tersebut.
Mayoritas pelapor Anwar meminta MKMK menjatuhkan hukuman berupa pemberhentian tidak dengan hormat kepada Ketua MK itu. Selain itu, para pelapor mendesak MKMK mengambil sikap terhadap putusan 90 yang dinilai banyak mengandung masalah. Sebagian pelapor meminta MKMK menyatakan putusan 90 tidak sah dan memerintahkan MK memeriksa ulang perkara tersebut. Ada pula pelapor yang meminta MK membatalkan putusan 90 dan memerintahkan Komisi Pemilihan Umum membatalkan pencalonan Gibran.
Selain Anwar, Saldi Isra dan Arief Hidayat juga diadukan kepada MKMK atas dissenting opinion yang mereka buat. Dissenting opinion itu dipersoalkan karena tidak membahas substansi perkara tetapi membahas hal lain, termasuk dinamika RPH.
KOMPAS
Almas Tsaqibbirru, pemohon uji materi syarat usia capres-cawapres.
Banding
Perekat Nusantara dan TPDI juga mempertanyakan belum dibentuknya majelis kehormatan MK banding yang nantinya akan menjadi saluran bagi pelapor ataupun hakim terlapor yang tidak puas dengan putusan MKMK untuk mengajukan keberatan. Namun, hingga kini MKMK banding tersebut belum ada. Bahkan, peraturan MK (PMK) mengenai itu juga belum ada.
”Kami temukan PMK No 1/2023 tentang MKMK memiliki banyak kekurangan. Besok (laporan dugaan pelanggaran etik) diputus, tapi majelis bandingnya belum dibentuk. Besok ini putusannya kabul atau tidak Kabul, salah satu pihak pasti mau banding,” kata Petrus.
Ia mengungkapkan, apabila Anwar Usman dijatuhi sanksi etik dan akan mengajukan keberatan sementara MKMK banding belum terbentuk, sulit bagi MK membentuk MKMK banding karena dasar yuridisnya belum ada.
Mekanisme banding pun belum diatur. Mengacu pada putusan pengadilan umum, terdakwa ataupun jaksa memiliki waktu untuk pikir-pikir apakah akan mengajukan upaya hukum atau tidak selama tujuh hari. ”Di MKMK banding ini juga masih perdebatan karena tidak ada mekanisme di dalam aturan yang dia buat ini setelah diputus berapa hari untuk berpikir untuk menentukan banding. Tidak ada. Hanya dibilang putusan dapat dibanding,” katanya.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (30/11/2022).
Juru bicara MK Enny Nurbaningsih mengakui PMK tentang MKMK banding memang belum ada. Para hakim sebenarnya sudah membuat draf PMK terkait, tetapi pembahasannya terhenti.
”Draf PMK banding sudah pernah dibahas dan hampir final, hanya belum bisa difinalkan karena terhenti untuk menentukan dasar yuridis yang kuat terkait mekanisme banding tersebut berdasarkan Pasal 27A UU MK. Termasuk dalam kaitannya dalam Pasal 23 UU MK,” kata Enny.