JAKARTA, KOMPAS — Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit di dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi mengungkapkan, rumusan alternatif syarat batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden adalah pernah menduduki jabatan gubernur. Namun, MK menyerahkan pengaturan alternatif usia minimal capres-cawapres itu kepada pembentuk undang-undang melalui revisi Undang-Undang Pemilu.
Akan tetapi, apabila pembentuk undang-undang akan mengatur pengalternatifan atau penyepadanan syarat usia minimal 40 tahun dengan jabatan yang berasal dari hasil pemilihan umum dan pejabat negara, perlu ditegaskan bahwa perubahan UU Pemilu itu diberlakukan untuk Pemilu 2029 dan seterusnya.
MK menolak
Meski demikian, MK menyatakan menolak permohonan Brahma Aryana, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), pemohon perkara nomor 141/PUU-XXI/2023 itu. Brahma meminta MK menyatakan putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tak sah karena mengandung cacat formil dan menimbulkan ketidakpastian hukum karena diputus dengan membuka ruang intervensi dan ada benturan kepentingan.
MK dalam putusan perkara nomor 90 menyatakan usia minimal capres dan cawapres paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Putusan ini dinilai membuka jalan bagi Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka yang berusia 36 tahun berkontestasi di Pilpres 2024.
Pascaputusan perkara nomor 90 itu terdapat pemeriksaan etik terhadap para hakim konstitusi oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK). Dalam putusannya, MKMK menyatakan, ada pelanggaran etik berat dalam penanganan perkara 90, dan memutuskan pemberhentian terhadap Anwar Usman, paman Gibran, dari jabatannya sebagai Ketua MK.
Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi Enny Nurbaningsih mengungkapkan, putusan 90 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sejalan dengan pendirian Majelis Kehormatan MK dalam putusan 2/2023. MK tidak dapat membenarkan dalil pemohon bahwa putusan 90 cacat hukum, menimbulkan ketidakpastian hukum, serta mengandung pelanggaran prinsip negara hukum dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
KOMPAS/SUSANA RITA KUMALASANTI
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih
Dalam kaitannya dengan pengujian syarat usia minimal capres dan cawapres, MK mengurai adanya tiga isu pokok. Tiga isu itu adalah ada keinginan untuk menurunkan batas usia menjadi lebih rendah dari 40 tahun; batas usia 40 tahun disepadankan atau dialternatifkan dengan jabatan publik yang pernah dijabat calon; dan batas usia paling rendah 40 tahun disepadankan dengan jabatan yang pernah/sedang diduduki yang dipilih melalui pemilu (elected official).
MK memang tidak dapat dan tidak mungkin menentukan batas usia itu karena perubahan batasan usia minimal/maksimal calon adalah open legal policy.
Dalam pertimbangannya, Daniel Yusmic mengungkapkan bahwa MK bisa memahami ada keinginan untuk menurunkan batas usia minimal capres-cawapres. Namun, MK memang tidak dapat dan tidak mungkin menentukan batas usia itu karena perubahan batasan usia minimal/maksimal calon adalah open legal policy.
Berkenaan dengan pengalternatifan atau penyepadanan usia 40 tahun dengan jabatan publik atau penyelenggara negara, Daniel mengungkapkan bahwa hal itu tidak dapat dikabulkan mengingat luasnya pengertian pejabat negara atau penyelenggara negara yang dimuat di dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
Terkait varian ketiga, yaitu mengalternatifkan syarat usia minimal capres dan cawapres dengan elected official, hal itu telah diterima di dalam putusan 90. Dalam putusan itu, MK telah memberikan pemaknaan baru terhadap Pasal 169 Huruf q UU Pemilu dengan menyepadankan syarat tersebut dengan seseorang yang sedang/pernah menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk kepala daerah.
”Sekalipun telah terdapat pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 Huruf q UU No 7/2017, jika diperlukan, pembentuk undang-undang tetap memiliki wewenang untuk merevisi atau menyesuaikan lebih lanjut terkait dengan elected official tersebut untuk kemudian disejajarkan atau dialternatifkan dengan batas usia minimal untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Penyesuaian tersebut menjadi wajar agar posisi atau jabatan presiden dan wakil presiden memiliki kesepadanan yang tidak begitu jauh dengan elected official yang disejajarkan dengan jabatan presiden dan wakil presiden,” kata Daniel.
Penyepadanan yang tidak terlalu jauh itu penting mengingat jabatan presiden merupakan jabatan tertinggi kekuasaan pemerintahan negara, penting, dan strategis dalam suatu negara demokrasi konstitusional dengan sistem presidensial. Selain itu, Presiden juga sebagai kepala negara yang juga kepala pemerintahan. Presiden memiliki kewenangan yang sangat luas.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Mural bergambar wajah Presiden pertama RI Soekarno hingga Presiden Joko Widodo menghiasi tembok rumah warga di kawasan Petukangan Selatan, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Sabtu (14/1/2023). Suhu politik Tanah Air mulai menghangat menjelang Pemilu 2024.
Jabatan wakil presiden pun menjadi jabatan pokok, penting, dan strategis dalam suatu negara demokrasi konstitusional sebab jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya, digantikan oleh wapres. ”Mengingat sebegitu pokok, penting, dan strategisnya jabatan presiden dan wakil presiden, syarat untuk menjadi calon presiden atau calon wakil presiden haruslah benar-benar sesuai dengan bobot jabatannya. Meskipun tidak ada jabatan yang sepadan dengan jabatan presiden, setidaknya mesti dicari jabatan yang levelnya tidak jauh jaraknya dengan jabatan presiden yang berasal dari hasil pemilu (elected official),” kata Daniel.
MK secara spesifik memberi contoh jabatan gubernur sebagai alternatif untuk disepadankan dengan syarat usia batas minimal capres-cawapres. Apalagi, provinsi ibarat sebuah miniatur negara dalam skala yang lebih rendah. MK juga mempertimbangkan penjenjangan syarat usia dalam pencalonan kepala daerah. Misalnya, syarat capres-cawapres minimal berusia 40 tahun, syarat usia minimal gubernur 30 tahun, sedangkan syarat calon bupati/wali kota 25 tahun. Desain politik hukum penjenjangan syarat usia yang dibuat pembentuk undang-undang dimaksudkan untuk mengakomodasi apabila seseorang menjalani jenjang karier sebagai kepala daerah dimulai dari tingkatan paling bawah.
”Jenjang dan tahapan karier seperti ini penting untuk dibangun agar memberikan pengalaman dan pengetahuan dalam memimpin suatu daerah dengan beragam permasalahannya, sehingga diharapkan tatkala seorang kepala daerah menaikkan level status kepemimpinannya di tingkat yang lebih tinggi, ia sudah sangat siap dan matang. Misal, seseorang yang semula menjabat gubernur kemudian mencalonkan diri menjadi calon presiden atau calon wakil presiden,” ujar Daniel.
Timbulkan dualisme
Kuasa hukum pemohon, Viktor Santoso Tandiasa, mengaku kecewa dengan putusan 141. Sebab, putusan 141 justru menimbulkan dualisme pertimbangan hukum antara putusan 90 dan putusan 141. Dalam putusan 90, MK menyatakan setiap warga negara yang pernah menjabat/sedang menjabat sebagai kepala daerah, termasuk wali kota, bisa mencalonkan diri sebagai presiden-wakil presiden. Namun, dalam putusan 141, MK menyatakan, setelah mempelajari lebih cermat, yang lebih pas adalah jenjang yang tidak terlalu jauh dari jabatan presiden, yaitu gubernur. MK juga menyilakan pembentuk undang-undang untuk mengubah itu.
Ia tidak melihat putusan 141 sebagai koreksi atas putusan 90, sebab MK tidak menyatakannya dalam amar putusan. ”Ada asas hukum perundang-undangan yang baru mengesampingkan yang lama. Demikian pula putusan yang baru mengesampingkan yang lama. Putusan dikesampingkan kalau amarnya mengoreksi amar yang lama. Kalau tidak, itu menimbulkan dualisme,” katanya.
Viktor juga mempertanyakan alasan MK menolak permohonannya sebab dalam pertimbangannya pun MK menyatakan bahwa berdasarkan penalaran yang wajar, jabatan gubernurlah yang paling layak untuk dialternatifkan sebagai syarat batas usia minimal capres-cawapres. Ini sama dengan inti permohonan yang diajukan oleh kliennya, Brahma Aryana.
Berbeda dengan Viktor, praktisi hukum Andi M Asrun menilai putusan 141 secara implisit mengoreksi putusan 90. Hal itu terlihat dari terlihat dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan oleh MK.