JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian ulang syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden diperkirakan tidak akan berpengaruh pada proses Pemilu 2024. Sebab, putusan MK berlaku ke depan atau tidak berlaku surut.
Dua pengajar hukum tata negara yang dihubungi secara terpisah mengungkapkan hal ini, Senin (20/11/2023). Pengajar HTN Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Andi Sandi, mengatakan, pengujian syarat usia capres dan cawapres yang saat ini digelar persidangannya dalam perkara 141./PUU-XXI/2023 merupakan upaya untuk mengoreksi putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Meskipun demikian, putusan 141 mendatang diperkirakan tidak bisa membatalkan pencalonan kandidat yang sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum.
”Kalau diterapkan pada proses pemilu yang tengah berlangsung, putusan MK akan bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 karena memberlakukan sesuatu yang mundur,” kata Andi.
Putusan 90 mengubah Pasal 169 huruf q UU Pemilu dari semula mengatur usia minimal capres dan cawapres 40 tahun menjadi ”berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Putusan ini telah memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung presiden Joko Widodo, menjadi cawapres Prabowo Subianto.
Menurut Andi, apabila MK mengoreksi putusan 90, hal itu akan merusak kredibilitas dan eksistensi lembaga tersebut dalam sistem ketatanegaraan. Ini juga akan berpengaruh pada legitimasi putusan MK saat mengadili sengketa pemilu mendatang
Pengajar HTN Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Allan FG Wardhana, mengungkapkan, MK perlu memperjelas isi putusan 90 yang oleh banyak kalangan dinilai tidak jelas. Seperti diketahui, putusan tersebut terbelah dengan rincian 4 hakim tidak mengabulkan, 3 mengabulkan dengan amar sesuai putusan saat ini, 2 lainnya concurring dan membatasi kepala daerah hanya tingkat gubernur.
ANTARA FOTO/RIVAN AWAL LINGGA
Ketua majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (kiri) bersama hakim MK I Dewa Gede Palguna (kanan) memimpin sidang gugatan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 di ruang sidang Gedung MK, Jakarta, Kamis (11/1/2017).
”Maka itu dianggap tidak clear. Perlu diperjelas di putusan (141) ini. Apakah syarat usia capres dan cawapres kembali ke UU Pemilu awal atau menegaskan kalau memang syarat pernah menjadi kepala daerah itu berlaku untuk semua atau hanya tingkat provinsi saja. Ini sesuai dengan sikap masing-masing hakim dengan catatan Anwar Usman tidak ikut memutus,” kata Allan.
Mau dipercepat atau tidak putusannya, saya menduga hakim MK tidak akan berani untuk mengatakan bahwa putusan yang lama (90) batal. Tapi, MK akan mengatakan bahwa putusan ini berlaku untuk ke depan. Belum ada sejarahnya putusan MK dianulir dengan putusan MK sendiri. Tidak ada.
Ia juga sepakat, apa pun putusan MK nantinya tidak akan berpengaruh pada Pemilu 2024. ”Mau dipercepat atau tidak putusannya, saya menduga hakim MK tidak akan berani untuk mengatakan bahwa putusan yang lama (90) batal. Tapi, MK akan mengatakan bahwa putusan ini berlaku untuk ke depan. Belum ada sejarahnya putusan MK dianulir dengan putusan MK sendiri. Tidak ada,” ujarnya.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Para jurnalis menyambut hakim konstitusi Saldi Isra setelah memenuhi pemanggilan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) di Gedung 2 Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (1/11/2023).
Pada Senin sore, MK menggelar sidang kedua pemeriksaan perkara 141 yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Brahma Aryana. Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo yang menjadi ketua panel, kuasa hukum pemohon Viktor Santoso Tandiasa meminta MK untuk memberikan rumusan yang konstitusional terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu tanpa didasari adanya konflik kepentingan atau intervensi dari pihak luar yang memiliki kepentingan terhadap ketentuan tersebut.
Ia mendasarkan argumennya tersebut pada putusan Majelis Kehormatan MK yang menyatakan adanya pelanggaran etik berat dalam penanganan perkara 90 di mana ada benturan kepentingan saat Ketua MK saat itu, Anwar Usman, tidak mundur dari pemeriksaan perkara terkait. Anwar Usman telah dijatuhi sanksi etik berupa pemberhentian dari jabatannya sebagai Ketua MK.
Kita tidak dapat membayangkan bagaimana nasib penegakan konstitusi ke depan jika terhadap suatu putusan yang dikeluarkan oleh sang penjaga konstitusi yang di dalamnya terkandung pelanggaran etik berat.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka sewaktu diwawancarai awak media, di Balai Kota Surakarta, Jawa Tengah, Senin (23/10/2023).
”Kita tidak dapat membayangkan bagaimana nasib penegakan konstitusi ke depan jika terhadap suatu putusan yang dikeluarkan oleh sang penjaga konstitusi yang di dalamnya terkandung pelanggaran etik secara berat di mana terhadap pelanggaran konflik kepentingan, intervensi terhadap kekuasaan kehakiman, juga terdapat tindakan saling memengaruhi, tetapi putusannya tetap dipertahankan dan dijadikan sebagai landasan Pemilu 2024,” kata Viktor.
Untuk itu, ia meminta MK mengoreksi putusan 90. Hal itu juga untuk menyelamatkan MK agar tidak diletakkan ke dalam posisi sebagai lembaga yang menyebabkan cacatnya legitimasi penyelenggaraan Pemilu 2024. Ia meminta agar MK memaknai Pasal 169 huruf q UU MK dengan membatasi pada ”Berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah pada tingkat provinsi yakni Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.”
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo yang menjadi ketua majelis panel perkara 141 mengatakan, pihaknya akan melaporkan permohonan tersebut ke rapat permusyawaratan hakim. ”Ini nanti kami bawa ke rapat permusyawaratan hakim besok supaya dalam waktu yang tidak terlalu lama,” ujar Suhartoyo.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Anggota Brimob Polri bersiaga di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (25/6/2019).
Sementara itu, hakim konstitusi Guntur Hamzah mempertanyakan tudingan pemohon yang menyatakan bahwa putusan MK Nomor 90 dikeluarkan dengan adanya intervensi dari luar kekuasaan kehakiman. Ia minta supaya pemohon hati-hati dalam membuat tudingan terhadap MK dan meminta pemohon untuk mengecek kembali apakah MKMK menyatakan dugaan intervensi itu terbukti atau tidak.
Viktor pun menanggapi Guntur dengan mengatakan bahwa pihaknya hanya mendasarkan hal tersebut pada putusan MKMK. Dalam putusan terhadap Anwar Usman, MKMK menyimpulkan bahwa yang bersangkutan telah membuka pintu bagi intervensi pihak luar.