Ketaatan masyarakat terhadap aturan hukum yang hanya sebatas keterpaksaan dapat runtuh ketika keteladanan tidak lagi ditemukan. Kondisi rapuh itu berpotensi menimbulkan pembangkangan hukum.

Dalam tata kehidupan modern, ketaatan pada hukum merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan oleh warga masyarakat. Ketaatan pada hukum harus ada untuk memastikan aktivitas sosial masyarakat terus berjalan dengan tertib. Tanpa itu, aktivitas sosial tersebut akan berlangsung tidak stabil dan struktur hukum (Friedman, 1975), dalam hal ini aparat penegak hukum, akan bekerja dengan intensitas tinggi.

Untuk mengklasifikasikan ketaatan hukum, Leopold Pospisil (1971) membaginya menjadi tiga. Pertama, ketaatan compliance, yaitu taat karena adanya sanksi jika melakukan pelanggaran.

Kedua, ketaatan identification, yaitu taat karena adanya kepentingan dengan pihak lain. Ketiga, ketaatan internalisasi (internalization), yaitu ketaatan karena memang aturan yang dijalankan itu sesuai dengan keyakinan yang dianutnya.

Dalam indeks ketaatan hukum, ketaatan internalisasi merupakan cita ideal yang diharapkan. Keberadaannya akan menciptakan kultur hukum yang di idam-idamkan masyarakat.

Dalam tata kehidupan modern, ketaatan pada hukum merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan oleh warga masyarakat.

Masyarakat mengagungkan sebuah tatanan sosial yang berjalan dengan kultur hukum ideal. Hal itu memengaruhi aktivitas kehidupan, baik pada aktivitas keagamaan, usaha perekonomian, maupun aktivitas sosial dan budaya.

Dalam kultur hukum ideal, tiap-tiap anggota masyarakat dapat dengan tulus mewujudkan sebuah peradaban sosial yang menjunjung tinggi ketaatan pada hukum. Friedman menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri dari struktur, kultur, dan substansi hukum. Aspek kultur inilah yang terbangun dengan sadar pada ranah masyarakat.

Pada tataran ini, masyarakat memiliki tingkat ketaatan yang tinggi pada pemerintah. Aparat penegak hukum tidak banyak bekerja menangani pelanggaran hukum. Pada saat yang sama, masyarakat dapat hidup sejahtera, sebagaimana tujuan negara didirikan.

Adapun cita paling minimal adalah ketaatan compliance. Pada kondisi ini, masyarakat tertib, menjunjung tinggi ketaatan hukum, meskipun ketaatan tersebut penuh dengan keterpaksaan.

Keterpaksaan itu bisa jadi dikarenakan tidak adanya keyakinan warga terhadap aturan yang ada. Bisa juga dikarenakan substansi hukum ”tidak satu frekuensi”. Lebih dari itu, juga bisa dikarenakan tidak selarasnya das sollen (apa yang seharusnya ada) dengan das sein (apa yang senyatanya ada).

https://cdn-assetd.kompas.id/uKp2bejhWAcn7_dLPYBEyIwdviM=/1024x575/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F01%2F30%2F8e68f1fa-67dd-441e-8b40-69382ee1b738_jpg.jpg

Derajat ketaatan yang paling bawah ini terancam roboh bila masyarakat sudah tidak menemukan keteladanan hukum. Bahkan, bisa terjadi pembangkangan hukum (John Rawls, 1971).

Lebih jauh, filsuf moral aliran liberal yang mendapat medali kemanusiaan pada 1999 itu menjelaskan, pembangkangan hukum merupakan gerakan yang dilakukan secara hati-hati. Tujuannya, untuk membuat perubahan dalam hukum atau kebijakan pemerintah.

Pembangkangan hukum bisa diartikan sebagai gerakan atas ketidakpuasan masyarakat melihat kebijakan pemerintah atau fenomena hukum yang dirasa keluar dari cita ideal. Fenomena ini terjadi karena ketidakselarasan antara das sollen dan das sein tadi.

Potensi pembangkangan

Jika dilihat beberapa bulan ini di Indonesia, perjalanan dinamika hukum diwarnai ketidakselarasan tersebut. Struktur hukum (oknum aparat penegak hukum) seharusnya melakukan penertiban hukum, tetapi justru tidak menunjukkan ketaatan hukum.

Hal ini tidak hanya menambah volume kerja aparat dengan intensitas makin tinggi. Lebih dari itu, aparat bisa jadi tak kuasa membendung reaksi masyarakat atas fenomena adanya ketidaktaatan hukum yang dilakukan dalam lingkaran struktur hukum.

Jika dilihat beberapa bulan ini di Indonesia, perjalanan dinamika hukum diwarnai ketidakselarasan tersebut.

Sebut saja soal dugaan pemerasan yang dilakukan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, atau status tersangka yang disandang oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiariej. Kasus lain, kesalahan etik yang dilakukan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman. Tiga kasus itu mengindikasikan struktur hukum yang saat ini nihil dari ketaatan hukum.

Mereka, selain sebagai penyelenggara negara yang seharusnya memahami peraturan, juga dianggap sebagai orang- orang yang berkompeten di bidang hukum. Bahkan, dua di antaranya adalah guru besar bidang ilmu hukum. Mereka sejatinya diharapkan memberikan teladan tentang penegakan hukum di masyarakat.

Keteladanan inilah yang tidak didapatkan. Kondisi itu memungkinkan masyarakat mengalami keterpaksaan (ketaatan compliance) dalam menaati hukum, bahkan berpotensi melakukan pembangkangan hukum.

Pembangkangan hukum ini bukan berarti pembangkangan sipil seperti aksi mogok massal dengan disertai demonstrasi. Pembangkangan hukum mewujud dalam bentuk keengganan masyarakat untuk melaksanakan peraturan.

Sebagaimana dikatakan Howard Zinn (2014), kasus pembangkangan sipil ini adalah tanpa kekerasan. Akan tetapi, secara perlahan melakukan pemogokan sebagai bentuk protes dan pengambilan pelajaran. Lebih lanjut profesor politik dari Boston University tersebut mengisahkan bahwa masyarakat secara perlahan mampu melakukan pemogokan atau boikot terhadap kebijakan pemerintah. Akibatnya, kebijakan itu pada akhirnya batal dilakukan oleh pemerintah.

https://cdn-assetd.kompas.id/6SVch2Md4Ig8LkMuRgQLkE6F7-c=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F19%2Ffdd6cb9f-ac78-4145-9c3f-e10a3c2b942d_jpg.jpg

Ilustrasi

Jadi, pembangkangan hukum bukan seperti pembangkangan sipil (civil disobedience) yang dipenuhi gerakan protes dari masyarakat sipil secara terang-terangan. Pembangkangan hukum merupakan gerakan diam-diam yang dilakukan oleh individu-individu yang mencerminkan keengganan masyarakat mematuhi peraturan.

Pembangkangan diindikasikan pula dengan kecenderungan meniru ”patgulipat” perilaku yang dilakukan oleh para penyelenggara negara atau aparat penegak hukum yang terang-terangan melanggar hukum.

Sebagai contoh, kasus penganiayaan oleh anak pegawai pajak Rafael Trisambodo bisa jadi berpengaruh pada tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak ataupun melaporkan harta kepemilikannya kepada pemerintah (Kompas, 2 Maret 2023).

Hal ini mirip seperti apa yang dilakukan oleh Henry David Thoreau pada tahun 1846. Henry menolak membayar pajak di Amerika Serikat sehingga membuka gelombang pembangkangan sipil. Dengan kata lain, robohnya keteladanan dari petugas pajak menyebabkan masyarakat melakukan pembangkangan.

Dalam bidang hukum juga demikian. Teladan menjadi sesuatu yang langka karena penegak hukum di negeri ini seolah satu per satu mulai terlihat ”belangnya”. Ini mengakibatkan potensi masyarakat untuk tidak menghormati hukum pun bisa menguat.

Masyarakat cenderung dapat meniru aksi-aksi akrobat hukum yang dilakukan para penegak hukum. Meskipun akrobat hukum tersebut sudah ada dari sejak dulu, tingkat eskalasinya bisa saja meningkat seiring dengan adanya parade ketidaktaatan hukum dari para penegak hukum. Terlebih lagi, dari perangai yang ditampakkan, mereka cenderung terkesan tidak peduli atau merasa tidak bersalah.

Teladan menjadi sesuatu yang langka karena penegak hukum di negeri ini seolah satu per satu mulai terlihat ”belangnya”.

Darurat Keteladanan

Jika parade ketidaktaatan hukum ini terus menggelinding dan tidak ada upaya dari tiap-tiap penyelenggara negara, khususnya penegak hukum, untuk mengubah perilaku, tidak menutup kemungkinan eskalasi pembangkangan akan semakin meningkat. Sekali lagi, eskalasi pembangkangan ini terjadi karena ketiadaan keteladanan yang harus diambil oleh masyarakat.

Para penyelenggara negara, khususnya penegak hukum, seharusnya menjadi teladan untuk mewujudkan budaya hukum yang baik. Bagaimanapun, hukum berperan dominan dalam mengatur masyarakat, seperti ditegaskan Matthew Lippman (2020).

Dalam buku Law and Society, Lippman menggambarkan pengaruh hukum terhadap masyarakat yang begitu futuristik dengan pendekatan interdisipliner. Pendekatan ini bisa berjalan dengan baik jika penegak hukum menjalankan orkestrasi ketaatan hukum yang apik.

Pada sebuah acara di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 12 tahun lalu, wakil presiden kala itu Jusuf Kalla mengatakan, keteladanan pemimpin adalah kunci utama penegakan hukum di Tanah Air.

Saat ini, keteladanan harus segera dihadirkan kembali agar masyarakat taat pada hukum. Bukan sekadar karena keterpaksaan, melainkan taat karena internalisasi nilai-nilai dan kaidah hukum.

 

Andy R WijayaAdvokat, Anggota Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah 2010-2015 & 2015-2022

 
 
Editor:
NUR HIDAYATI, YOHANES KRISNAWAN