Belum pulih dari turbulensi yang ditimbulkan setelah memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengakibatkan Anwar Usman dicopot dari jabatan ketua, Mahkamah Konstitusi kini harus menghadapi guncangan berikutnya. Kali ini, masalah muncul ketika para politisi di Senayan ingin mencoba mengutak-atik komposisi hakim konstitusi melalui revisi keempat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Dibandingkan dengan undang-undang lain, UU MK bisa dibilang terlalu sering direvisi. Sejak revisi terakhir tahun 2020, perubahan UU MK yang kini tengah diproses di DPR hanya berselang tiga tahun.

Pembahasan revisi keempat UU MK yang dikebut setelah polemik putusan uji materi batas usia calon presiden dan calon wakil presiden ini menimbulkan banyak spekulasi. Apalagi, pembahasan oleh Panitia Kerja (Panja) Komisi III DPR dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Pembahasan Komisi III bersama perwakilan pemerintah lebih banyak digelar di luar gedung DPR.

”Niat mengubah kembali UU MK, bagi saya, itu cuma akal bulusnya para politikus saja. Tidak ada sama sekali kepentingannya untuk publik, apalagi buat MK. Revisi itu adalah upaya untuk melemahkan MK,” kata mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Minggu (3/12/2023).

Mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengisahkan proses amandeman konstitusi dan peran MK yang penting dalam menjaga demokrasi konstitusional di Indonesia dalam peringatan hari konstitusi di gedung MK, Kamis (18/8/2022)

SUSANA RITA KUMALASANTI

Mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengisahkan proses amandeman konstitusi dan peran MK yang penting dalam menjaga demokrasi konstitusional di Indonesia dalam peringatan hari konstitusi di gedung MK, Kamis (18/8/2022)

Palguna dan para akademisi hukum yang lain menduga bahwa revisi kali ini adalah untuk menyingkirkan satu-dua hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat.

Dalam pembahasan bersama itu, Panja Komisi III DPR dan pemerintah sepakat untuk mengubah masa jabatan hakim konstitusi dari semula maksimal 15 tahun atau hingga memasuki usia pensiun 70 tahun menjadi 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali masa jabatan. Artinya, masa jabatan dikembalikan kepada aturan lama saat UU MK pertama kali dibuat tahun 2003.

Persoalan kemudian muncul ketika aturan baru ini hendak diberlakukan untuk hakim yang sedang menjabat. Pasal 87 huruf a dan b Rancangan UU Perubahan atas UU MK (RUU MK) mengatur, hakim konstitusi yang telah menjabat 5-10 tahun melanjutkan jabatannya sampai dengan 10 tahun jika disetujui lembaga pengusul. Adapun masa jabatan hakim konstitusi yang sudah menjabat lebih dari 10 tahun berakhir mengikuti usia pensiun 70 tahun selama masa jabatannya tidak melebihi 15 tahun.

Niat mengubah kembali UU MK, bagi saya, itu cuma akal bulusnya para politikus saja. Tidak ada sama sekali kepentingannya untuk publik, apalagi buat MK. Revisi itu adalah upaya untuk melemahkan MK

Ketentuan peralihan ini diduga menyasar pada hakim konstitusi, yaitu Suhartoyo yang diusulkan oleh Mahkamah Agung (MA) serta Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih yang diusulkan pemerintah. Sebab, masa jabatan ketiga hakim konstitusi itu sudah di atas 5 tahun, tetapi belum mencapai 10 tahun. Jika mengacu pada ketentuan peralihan dalam draf RUU MK itu, baik Suhartoyo, Saldi, maupun Enny dapat melanjutkan jabatannya sampai 10 tahun dengan syarat disetujui lembaga pengusul masing-masing.

Secara spesifik, Palguna menduga bahwa pemerintah dan DPR hendak menyingkirkan Saldi Isra. ”Karena dia terlalu independen,” katanya.

Dalam beberapa putusan, ketiga hakim konstitusi tersebut berada dalam satu pandangan. Misalnya saja, putusan perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian UU Cipta Kerja, 25 November 2021. Ketiga hakim tersebut bersama-sama dengan Wahiduddin Adams dan Aswanto menyatakan, pembentukan UU Cipta Kerja cacat formil sehingga harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat. MK memerintahkan pembentuk undang-undang memperbaikinya dalam waktu dua tahun.

Warga menyaksikan sidang virtual uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (24/11/2020).

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)

Warga menyaksikan sidang virtual uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (24/11/2020).

Tak sampai setahun kemudian, Aswanto di-recall oleh DPR. Pada 29 September 2022, Komisi III DPR menyetujui Guntur Hamzah sebagai pengganti Aswanto. Guntur dilantik pada 23 November 2022. Sementara itu, Wahiduddin Adams akan memasuki usia pensiun pada Januari 2024 dan DPR sudah menyiapkan Arsul Sani, anggota dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, sebagai penggantinya.

Selain putusan No 91/2020, nama Saldi Isra juga mencuat ketika melontarkan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan No 90/2023 terkait syarat usia capres dan cawapres. Ia mengungkap apa yang terjadi di balik ruang sakral di lantai 16 Gedung MK tempat rapat permusyawaratan hakim digelar. Dalam pendapatnya, tergambar bagaimana sikap hakim mengenai syarat usia minimal capres/cawapres berubah ”sekelebat” dengan hadirnya Anwar Usman dalam permusyawaratan yang digelar.

Putusan tersebut telah memberi karpet merah bagi pencalonan putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, menjadi cawapres. Gibran merupakan kemenakan Anwar dari istrinya, Idayati, yang juga adik kandung Jokowi.

Putusan itu memicu pelaporan etik terhadap Anwar. Sidang etik oleh Majelis Kehormatan MK berujung pada pencopotan Anwar dan naiknya Suhartoyo menjadi nakhoda MK yang baru. Pada kepemimpinan Suhartoyo tersebut, putusan No 90/2023 secara implisit dikoreksi dengan mengembalikan pengaturan syarat usia capres/cawapres serta upaya menyepadankan syarat tersebut dengan pejabat yang dipilih melalui pemilu/pilkada kepada pembentuk undang-undang. Dengan catatan, MK lebih cenderung agar syarat usia minimal itu disepadankan dengan ketentuan ”pernah/sedang menjabat gubernur”.

https://cdn-assetd.kompas.id/Q9KfJv2wbuTIhtbDRCWnWC3luMc=/1024x1476/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F07%2Ff3f212a1-d4fe-475d-b6f6-edad0bcc9292_jpg.jpg

Apa yang terjadi di MK saat ini membuat Palguna lara hati. ”Bagaimana saya tidak sedih? Mohon jangan saya dianggap melankolis. Lembaga yang kami dan kita bangun mati-matian untuk jadi berwibawa ini hendak dihancurkan oleh aktor-aktor yang berpolitik tanpa prinsip macam ini,” tuturnya.

Tak dapat dilanjutkan

Delapan dari sembilan fraksi di Komisi III DPR telah menyepakati aturan peralihan masa jabatan hakim konstitusi tersebut. Adapun pemerintah belum menyetujui. ”Ada poin yang harus dibahas ulang,” kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, pekan lalu.

Taufik Basari, anggota Panja RUU MK Komisi III DPR, menyampaikan, tanpa persetujuan bersama pemerintah dan DPR, suatu RUU tidak dapat dilanjutkan. Politikus Partai Nasdem itu juga mengungkapkan pentingnya memastikan prosedur perundang-undangan terpenuhi, yaitu adanya keputusan tingkat pertama dalam rapat kerja Komisi III dengan pemerintah yang terbuka sebagai syarat sebuah RUU dapat dilanjutkan ke tahapan berikutnya.

Para hakim Mahkamah Konstitusi meninggalkan ruangan sidang saat skorsing sidang putusan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Para hakim Mahkamah Konstitusi meninggalkan ruangan sidang saat skorsing sidang putusan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023).

”Fraksi Nasdem memberikan catatan bahwa RUU ini harus berpedoman pada asas lex favor reo, yakni implementasinya tidak boleh merugikan pihak yang terdampak, yakni para hakim konstitusi yang sedang menjabat,” kata Taufik.

Karena itu, Taufik sepakat dengan pandangan mantan Ketua MK Hamdan Zoelva yang menyatakan, sebaiknya pembahasan RUU ini ditunda hingga pemilu selesai. Dengan begitu, revisi UU MK tidak akan menimbulkan banyak prasangka.

 
 
Editor:
ANITA YOSSIHARA