Revisi terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi berlangsung senyap. Alih-alih digelar di ruang Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, revisi itu dibahas di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, pada Selasa-Rabu (28-29/11/2023). Bahkan, pembahasannya ditargetkan tuntas pada masa sidang ini yang akan berakhir pada 5 Desember 2023. Padahal, revisi undang-undang ini tak pernah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023.

Meski Komisi III DPR dan pemerintah sudah sepakat untuk membahas perubahan keempat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada Februari 2023, kabar pembahasan rancangan undang-undang tersebut tak pernah terdengar. Sekitar sembilan bulan, hampir tidak ada informasi mengenai agenda yang dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang terkait revisi undang-undang tersebut.

 

Hingga pada Minggu (26/11/2023), Kompas memperoleh informasi tentang adanya rapat lanjutan antara panitia kerja RUU MK dari Komisi III DPR dan pemerintah sehari setelahnya. Saat itu, dua anggota Komisi III DPR, yakni Taufik Basari dari Fraksi Partai Nasdem dan Johan Budi SP dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), membenarkan, rapat dimaksud akan digelar pada Senin (27/11/2023) pukul 10.00.

 

Bungkam

Namun, pada waktu yang dijadwalkan, ruangan Komisi III DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, masih sepi. Hanya tampak wakil pemerintah yang duduk di ruangan, sedangkan anggota DPR belum ada yang muncul.

Berdasarkan jadwal yang ada di Sekretariat Komisi III, Panitia Kerja (Panja) RUU MK mengagendakan rapat lanjutan pembahasan revisi keempat UU MK pada pukul 10.00. Lalu dilanjutkan rapat tim perumus/tim sinkronisasi dengan tim pemerintah pada pukul 14.00.

Sekitar pukul 11.00, tim pemerintah keluar dari ruang rapat. Saat ditanyakan kepada salah satu anggota tim pemerintah, ia menyebutkan ”rapat internal”. Namun, tak sampai setengah jam kemudian, tim pemerintah kembali ke ruang rapat tanpa memberi keterangan apa yang sebenarnya terjadi.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, Supriansa.

ARSIP PRIBADI

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, Supriansa.

Anggota Komisi III DPR yang berlalu lalang di sekitar ruang rapat pun enggan menjawab pertanyaan yang sama. Kompas meminta keterangan melalui pesan singkat kepada anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, Supriansa. Saat itu, Supriansa membenarkan adanya penundaan rapat, tetapi tak menjelaskan alasannya. ”Iya, tadi ada pemberitahuan pimpinan ditunda,” katanya.

Hanya dari anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, diperoleh keterangan bahwa rapat pembahasan revisi UU MK itu akan dilaksanakan dua hari setelahnya.

Namun, sepanjang Rabu (29/11/2023) tidak ada pula kegiatan di ruang Komisi III DPR. Tidak ada satu pun anggota Komisi III dan tim pemerintah yang datang ke sana. Sejumlah anggota Komisi III tidak menjawab pertanyaan yang Kompas kirimkan melalui pesan singkat mengenai rapat yang dijadwalkan hari itu. Hanya Benny K Harman yang menjawab, pun mengaku tidak tahu. ”Tanya ke sekretariat, saya tidak tahu. Saya tidak lagi sebagai chief di Komisi III,” ujarnya.

Evaluasi hakim konstitusi yang bisa dilakukan oleh lembaga pengusul hakim konstitusi, yakni Presiden, Mahkamah Agung, dan DPR.

Di tengah bungkamnya sejumlah anggota Komisi III DPR, justru muncul keterangan tertulis dari Bambang Wuryanto yang diunggah di situs www.dpr.go.id pada Rabu malam menjelang dini hari. Pada keterangan itu, politisi PDI-P yang akrab disapa Bambang Pacul itu menyampaikan, revisi UU MK ditargetkan tuntas pada masa sidang ini. Adapun masa sidang saat ini akan ditutup pada 5 Desember 2023.

Substansi perubahan terdiri atas empat poin yang diusulkan DPR, yakni mengubah syarat batas usia minimal hakim konstitusi dari 40 tahun menjadi 50 tahun; evaluasi hakim konstitusi yang bisa dilakukan oleh lembaga pengusul hakim konstitusi, yakni Presiden, Mahkamah Agung, dan DPR.

Pada Kamis (30/11/2023), saat Kompas mencari konfirmasi terkait penjelasan Bambang Pacul tersebut, hampir tak ada anggota Komisi III DPR yang bersedia memberikan keterangan. Sebab, saat itu Kompas memperoleh informasi bahwa Komisi III dan pemerintah mengadakan rapat secara tertutup untuk membahas RUU MK di luar Kompleks Parlemen.

Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman

KOMPAS/YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA

Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman

Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman pun menutup sambungan telepon seusai Kompas menyelesaikan pertanyaan apakah rapat diselenggarakan pada Rabu malam. Tak berbeda jauh, Benny K Harman saat dihubungi juga meminta agar hal tersebut ditanyakan kepada pimpinan Komisi III DPR. Meski mengangkat telepon, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil, pun enggan menjawab karena mengaku bukan anggota Panja RUU MK.

Baru pada Kamis sore, Bambang Pacul membenarkan bahwa Komisi III DPR dan pemerintah telah mengadakan rapat konsinyering terkait RUU MK di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, pada Selasa-Rabu (28-29/11/2023). Rapat tersebut berakhir pada Rabu pukul 21.10. Namun, ia tak menjelaskan isi rapat tersebut. ”Ini hanya konsinyering. Sebelumnya, kan, sudah rapat di DPR,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.

 

Revisi keanggotaan

Dari keterangan Bambang Pacul yang diunggah di situs DPR diketahui, selain hakim konstitusi bisa dievaluasi, ada pula revisi keanggotaan Majelis Kehormatan yang diisi oleh hakim aktif MK. Terakhir, mengenai peralihan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK dengan latar belakang putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020.

”Revisi UU MKRI sudah dilaksanakan. Semoga selesai pada masa sidang ini,” ujar Bambang Pacul.

Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto

HENDRA AGUS SETYAWAN

Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto

Revisi UU MK sudah disepakati sebagai usul inisiatif DPR sejak Februari lalu. Namun, RUU MK tidak ada dalam daftar Prolegnas Prioritas 2023.

Usulan revisi pada 2023 pertama kali muncul setelah pencopotan hakim konstitusi yang diusulkan DPR, yakni Aswanto. Saat itu, Bambang mengakui bahwa revisi UU MK ada hubungannya dengan pemberhentian Aswanto, hakim yang diusulkan DPR, tetapi kerap membatalkan UU inisiatif DPR melalui putusan-putusannya (Kompas.id, 15/2/2023).

Bambang Pacul membantah bahwa revisi UU MK terkait dengan putusan MK tentang batas usia capres dan cawapres.

Kini, revisi UU MK kembali bergulir di tengah polemik putusan MK tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan tersebut kontroversial karena dianggap memuluskan pencalonan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi wakil presiden.

Putusan yang dianggap menguntungkan putra Presiden Joko Widodo itu diputuskan oleh hakim konstitusi yang diketuai Anwar Usman, adik ipar Joko Widodo yang juga paman Gibran. Melalui sidang Majelis Kehormatan MK, Anwar pun dinyatakan melanggar etik berat dan dicopot dari jabatannya.

Kendati demikian, Bambang Pacul membantah bahwa revisi UU MK terkait dengan putusan MK tentang batas usia capres dan cawapres. Menurut dia, proses revisi UU MK telah dilaksanakan jauh sebelum putusan tersebut dibacakan. Alih-alih mengkhawatirkan hal tersebut, ia meminta publik untuk khawatir terhadap pihak-pihak yang dapat mengangkat hakim konstitusi, yakni Presiden, Mahkamah Agung, dan DPR. ”Yang perlu dikhawatirkan adalah evaluasi tiap lima tahun oleh para pengusul hakim MK,” ujarnya.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman mengangkat tangan seusai konferensi pers di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/11/2023).

KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman mengangkat tangan seusai konferensi pers di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/11/2023).

Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menilai, revisi keempat UU MK yang dilakukan DPR dan pemerintah problematik, baik dari aspek prosedural maupun substansinya. Sebab, revisi UU MK tidak masuk ke dalam 37 RUU Prolegnas Prioritas 2023 dan RUU daftar kumulatif terbuka.

Proses pembahasan RUU MK, kata Bayu, juga tidak memenuhi asas keterbukaan. Sejak awal, publik tidak bisa mendapatkan naskah akademik dan draf RUU MK untuk memberikan masukan. ”Jadi, terkesan sangat tertutup sekali. Bagaimana naskah akademik yang menjadi dasar dari justifikasi perlunya revisi tersebut. Kedua, pasal-pasal mana yang akan diubah,” kata Bayu.

Tak memenuhi keterbukaan

Kalaupun ada informasi, hal itu sebatas didapatkan dari keterangan lisan kepada media. Padahal, asas keterbukaan mensyaratkan mudahnya akses terhadap naskah akademik dan draf RUU yang paling akhir. ”Bukan draf yang pertama, tetapi draf yang sedang dibahas itu seharusnya dapat diakses dengan mudah. Itu bisa dilihat dalam Pasal 96 UU Nomor 13/2022 (tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan),” ujar Bayu.

Syarat lain yang seharusnya dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang adalah melibatkan atau mendengarkan tanggapan dari pihak yang terdampak atau terkait langsung. MK adalah lembaga milik publik, bukan hanya milik DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung. Keberadaannya adalah untuk mencerminkan konsep negara hukum demokratis, dengan daulat rakyat dihormati setinggi-tingginya.

”Ini, kan, relatif tidak ada ruang bagi pihak terdampak atau pihak terkait seperti masyarakat sipil yang selama ini mengawal MK atau pihak kampus yang didengarkan untuk memperbincangkan ini. Padahal, meaningful participation mencakup tiga hal, yaitu hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk diberikan penjelasan jika pandangannya tidak dimuat. Proses ini tidak terjadi di ruang pembahasan DPR hari-hari ini saat merevisi UU MK,” katanya.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono

KOMPAS/RINI KUSTIASIH

Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono

Dari aspek substansi, materi revisi UU MK pun dinilai sangat problematik dan berpotensi mengancam kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang dijamin oleh konstitusi. Bayu pun menyoroti gagasan evaluasi hakim konstitusi setiap lima tahun sekali atau setiap saat sepanjang ada keinginan untuk mengevaluasi dari lembaga pengusul.

”Secara kasatmata ini akan bertabrakan dengan jaminan independensi kekuasaan kehakiman yang ada di UUD 1945 dan berbagai kesepakatan internasional terkait kemandirian kekuasaan kehakiman,” ujar Bayu.

Dari aspek substansi, materi revisi UU MK pun dinilai sangat problematik dan berpotensi mengancam kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang dijamin oleh konstitusi.

Demikian pula dengan ide untuk mengubah batas usia minimal hakim konstitusi yang ditentukan 55 tahun di dalam UU MK terbaru (2020). DPR berencana mengubah syarat usia minimal ini tanpa mengevaluasi efektivitas dari perubahan usia minimal yang dilakukan sebelumnya/tahun 2020. Ia tidak sepakat apabila naik turunnya syarat usia minimal hakim tersebut diotak-atik tanpa evaluasi matang.

”Jangan kemudian karena satu lain hal bukan pertimbangan hukum (yang dikedepankan), kemudian kita dengan mudah menurunkan dan menaikkan syarat usia minimal menjadi hakim konstitusi,” katanya.

Melihat sisi prosedur dan substansi revisi UU MK yang bermasalah, Bayu berharap pemerintah bersikap tegas. ”Kalau dari sisi prosedurnya sudah tidak terpenuhi, tidak ada urgensi, tidak masuk Prolegnas, tidak ada dalam RUU Kumulatif terbuka, kemudian materinya mengancam independensi kekuasaan kehakiman, apakah barang semacam itu kemudian bisa diterima. Saya pikir nalar publik menginginkan pembentuk undang-undang, termasuk pemerintah, mengedepankan kepentingan publik,” ujar Bayu yang menyarankan agar revisi tidak dilanjutkan.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Charles Simabura, Senin (24/2/2020).

DIAN DEWI PURNAMASARI

Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Charles Simabura, Senin (24/2/2020).

Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura, mengungkapkan hal senada. Ia mendorong pemerintah untuk menolak pembahasan keempat revisi UU MK. Pemerintah harus menunjukkan ketidaksetujuannya itu di dalam pengambilan putusan, baik tingkat pertama maupun kedua.

Ia juga mengimbau agar partai-partai politik bersuara terhadap upaya untuk mengintervensi MK menjelang proses persidangan perkara perselisihan hasil pemilu. Apabila revisi ini disetujui, hal itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

”Saya kira DPR sedang bermain api dengan proses demokrasi. Dari proses kemarin (saat DPR me-recall hakim konstitusi Aswanto dan secara sepihak menggantinya), Masyarakat memberikan catatan tentang sebuah pelanggaran. Dengan revisi ini, mereka mau melegalkan bentuk-bentuk pelanggaran itu (recall),” kata Charles.

Di tengah waktu pembahasan legislasi yang terbatas karena terbagi dengan kampanye anggota DPR, baik dalam pemilihan legislatif maupun Pemilihan Presiden 2024, sejumlah RUU yang lebih dibutuhkan publik, misalnya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Masyarakat Hukum adat, yang belum terselesaikan. Tentu menjadi anomali pembahasan RUU MK yang materi perubahannya belum terlalu dibutuhkan publik justru diprioritaskan.

 
 
Editor:
MADINA NUSRAT